MOJOK.CO – Kemarahan Greta Thunberg dan demo mahasiswa merupakan wujud kemarahan “orang dewasa” yang nggak peduli. Caranya berbeda, tetapi tujuannya sama, yaitu demi masa depan.
“How dare you!”
Dada saya berdesir ketika mendengarkan pidato Greta Thunberg. “How dare you!” Kemarahannya ditransformasikan secara paripurna kepada semua pendengar yang peduli. “My message is that we will watching you,” kata Greta membuka pidatonya yang sungguh kuat menghantam itu.
Krisis iklim memang bukan isu yang seksi. Bagi banyak orang, terutama media, isu krisis iklim tidak lebih menjual ketimbang Brexit, kegoblokan Donald Trump, atau rambut konyol Boris Johnson yang tertiup angin. Bahkan isu ini dianggap sebagai propaganda saja yang mengancam eksistensi perusahaan-perusahaan besar.
Greta tidak tersenyum ketika pilihan kalimatnya dihujani tepuk tangan oleh peserta UN Climate Action Summit. “This is all wrong. I shouldn’t be up here. I should be back in school on the other side of the ocean.” Kalimat pertama dari rentetan kemarahan itu menghentak.
Bagian “This is all wrong” menggambarkan betul perubahan iklim yang belum menjadi atensi dunia. Greta sudah bergerak sejak Agustus 2018. Setiap Jumat, dari pagi sampai sore, berbekal papan tuntutan bertuliskan “Skolstrejk för klimatet” (bolos sekolah demi perubahan iklim), Greta mengungkapkan kemarahannya.
“I shouldn’t be up here.” Greta berusia 16 tahun, seorang remaja yang seharusnya sedang semangat sekolah. Masalah iklim harusnya menjadi masalah orang dewasa. Namun, justru “orang dewasa” yang dihantam oleh Greta yang tidak menganggap perubahan iklim sebagai kejadian serius. Para “orang dewasa” itu masih ngomongin soal profit di depan potensi “mass extinction” karena perubahan iklim.
Yang dilakukan Greta seperti “mengoyak sarang lebah”. Banyak orang yang tidak jenak ketika zona mereka diganggu oleh seorang remaja berusia 16 tahun. Mereka berdengung, seperti lebah yang marah dan menyerang Greta ramai-ramai.
Pertama, keberadaan Greta dianggap sebagai hasil dari proses cuci otak orang-orang Kiri. Para bebal ini menganggap tidak mungkin seorang “anak” punya pikiran secemerlang itu. Betul, narasi “masih anak-anak” dipakai untuk menyerang. Dia sudah berusia 16 tahun, usia yang sudah sepantasnya bisa berpikir sendiri.
Banyak orang yang memandang sepak terjang Greta “ditunggangi” oleh environmentalist extremist. Mirip seperti tuduhan yang dilancarkan kepada gerakan Gejayan Memanggil dan demo mahasiswa selama beberapa hari ini. Gerakan Greta dan demo mahasiswa memang punya kesamaan. Sama-sama marah melihat kenyataan. Sama-sama marah kepada “orang-orang dewasa” yang justru gagal ketika mereka punya kekuatan.
Terlepas dari benar tidaknya Greta dan demo mahasiswa sudah ditunggangi atau misinya tidak murni, gerakan mereka menginspirasi. Sambat yang mereka lakukan adalah gerakan penting demi masa depan banyak orang. Krisis iklim dan UU yang nggak masuk nalar akan menghantam anak dan cucumu.
Yang berbeda hanya caranya….
Greta turun ke jalan secara langsung mengusung narasi bolos sekolah demi perubahan iklim. Sementara itu, demo mahasiswa menggunakan banyak poster aksi yang lebih berwarna. Jika kamu cermati, poster aksi demo mahasiswa, mulai dari Gejayan Memanggil hingga demo besar di depan gedung DPR mengusung “ideologi Didi Kempot”.
Waspada dengan hate speech dan dianggap provokasi, demo mahasiswa memodifikasi poster aksi menggunakan ungkapan sambat yang dipopulerkan Didi Kempot. Cara kreatif yang justru mampu menyalurkan isi hati secara akurat.
Ungkapan-ungkapan “ojo mblenjani janji” (jangan ingkar janji), “rezim cidro”, patah hati, rasa rindu, ambyar, mewarnai poster-poster aksi demo mahasiswa.
tadi #GejayanMemanggil dan #MojokHadir~ pic.twitter.com/9Dw9Zm02zm
— MOJOK.co (@mojokdotco) September 23, 2019
— Ismail Al Anshori (@thedufresne) September 23, 2019
— Ismail Al Anshori (@thedufresne) September 23, 2019
Patah hati tetap aksi, rezim cidro, dan negara tidak memfasilitasi rindu #GejayanMemanggil pic.twitter.com/MDIr8rzfsp
— Penjol (@lazysvnday) September 23, 2019
Rezim cidro ~ #GejayanMemanggil pic.twitter.com/h4UlrXQ25a
— Akubaca (@akubacadotcom) September 23, 2019
Kenapa harus foto2 demo yg lucu? Krn mereka yg mau menunggangi kalian adalah jagonya Firehose of Falsehood. FoF muncul memanfaatkan ketakutan..
Lawannya Fear adalah Fun.
Tetaplah jadi dedek bandel, tetaplah lucu..#HidupMahasiswa @budimandjatmiko pic.twitter.com/damvOsqQ6Y
— hariadhi (@hariadhi01) September 24, 2019
Selain untuk menghindari hate speech, poster-poster aksi yang lucu ini juga wujud sisi “fun” sebagai lawan dari “fear”. Demo mahasiswa adalah hal yang biasa di negara demokrasi, bahkan dijamin oleh UU. Maka seyogianya, demo mahasiswa menjadi ajang penyaluran aspirasi yang menyenangkan, bukan semata unjuk kekuatan.
Idenya adalah untuk menginspirasi dan mengajak lebih banyak mahasiswa untuk turun ke jalan secara menyenangkan. Dan berhasil. Aksi yang diawali oleh Greta menulari banyak anak muda untuk berani bersuara.
Chloe Kim, snowboarder paling muda yang berhasil menjuarai olimpiade, menegaskan kalau masih ada waktu untuk berjuang menyelamatkan bumi.
‘I’m so terrified that one day, when I have a family, my kids are gonna be like, ‘Mom what’s snow?’’ — Olympic snowboarder Chloe Kim explained the importance of addressing the climate crisis and why there’s still hope in the fight to save the planet pic.twitter.com/9wZegjnPl4
— NowThis (@nowthisnews) September 24, 2019
Ribuan anak muda di New York, Amerika Serikat, turun ke jalan untuk memperjuangkan masa depan yang “lebih hijau”.
‘There’s no point of going to school unless we make a change, because there won’t be a future if we don’t do something now’ — Thousands of students took to the streets to fight for a greener future pic.twitter.com/7uFbkLjatV
— NowThis (@nowthisnews) September 24, 2019
Dilansir BBC, pertengahan Maret lalu, ada 1,6 juta siswa dari 125 negara turun ke jalan. Reuters menyebutkan, ada empat juta anak yang turut berpartisipasi berjuang demi masa depan bumi di seluruh dunia. Mereka bukan anak-anak, tetapi manusia yang peduli dengan masa depan bumi. Dan mereka bisa berpikir secara mandiri. Sebuah sengatan bagi “orang dewasa” yang hanya memikirkan profit.
“How dare you! You have stolen my dreams and my childhood with your empty words. And yet, I’m one of the lucky ones. People are suffering. People are dying. Entire ecosystems are collapsing. We are in the beginning of a mass extinction, and all you can talk about is money and fairy tales of eternal economic growth. How dare you!”
Demo mahasiswa akan selalu dianggap sebagai gerakan yang menyusahkan, bikin macet. Mahasiswa disarankan tetap di dalam kampus dan belajar dengan benar. Bayar kuliah itu mahal dan masih ditanggung orang tua. Bahkan ada yang menganggap usaha melawan UU nggak masuk nalar ini sebagai bentuk makar.
Padahal, agenda demo mahasiswa bukan menjatuhkan Jokowi, tetapi melawan UU yang bakal bikin sengsara. Termasuk bikin sengsara kamu semua yang kini mencibir dan menganggap ini gerakan makar. Makar itu sebuah kata yang mengandung beban sangat berat. Bukan sembarangan tujuan yang ingin dikejar oleh demo mahasiswa.
Demo mahasiswa akan selalu dipandang tidak murni, seperti keresahan Greta. Demo mahasiswa akan selalu dianggap menganggu, seperti kemarahan Greta. Hanya mereka yang terancam periuknya, yang merasa ini gerakan mengganggu. Mereka yang melek dengan masa depan akan memahami tujuan dari demo mahasiswa dan Greta Thunberg.
BACA JUGA Halo Buzzer Jokowi, Sori Ya, Aksi ‘Gejayan Memanggil’ Tak Sesuai Harapan Kalian atau artikel Yamadipati Seno lainnya.