Tak bisa dimungkiri, gorengan adalah primadona bagi sebagian orang yang mencari nafkah pas-pasan (seperti saya) di Jakarta.
Melebihi kerupuk, sambal, atau kecap yang butuh pendamping, gorengan punya keunggulan tetap nikmat disantap dengan atawa tanpa nasi. Rasanya yang gurih menjadi warna ketika kita makan nasi, tetapi bahan dasarnya yang berupa tepung membuat kita dapat kenyang meski dimakan tanpa karbohidrat lain, apalagi di momen-momen tanggal tua.
Di Jakarta, gorengan adalah makanan semua bangsa. Bukan hal aneh melihat mbak-mbak dengan rok span dan tatanan make-up yang menawan tampak sedang berdiri di dekat jembatan penyeberangan sambil memegang kresek gorengan di tangan kiri dan bakwan di tangan kanan. Mungkin kita memang tidak menemukan gorengan di meja sajian coffee break rapat perusahaan, tetapi coba saja sajikan, kita akan lihat bahwa gorengan lebih dulu ludes dibanding browniesnya.
Betapa hebatnya kecintaan kita pada gorengan, mungkin selain nasi padang dan nasi goreng, gorengan adalah makanan yang bisa terjumpa di seantero Nusantara. Membuat saya bertanya-tanya, siapa penemu gorengan sebenarnya? Dari mana asalnya? Di mana makamnya? Saya angkat topi untuknya, siapa pun dia.
Kesuksesan gorengan menjadi primadona ini tidak terbatas pada lokasi. Mau dijual berdekatan dengan kantor, bisa. Pinggir sekolah/universitas, cocok. Seberang masjid atau gereja, masuk. Apalagi di terminal bus, paten. Sebagai komoditas yang saya bisa katakana pro-kebinekaan, kesuksesan gorengan tidak hanya terletak pada gorengan itu sendiri, tapi juga andil dari para penjualnya.
Para penjual gorengan memiliki beberapa keandalan yang sulit kita tolak kebenarannya. Pertama, mereka layak disebut orang yang memiliki time management yang baik karena mampu bekerja di bawah tekanan waktu. Maksudnya, para penjual gorengan ini harus mengatur kapan melayani pembeli, yang notabene cukup variatif. Ada yang beli borongan, ada juga yang ambil satu-satu lalu bayar di akhir. Jenis yang  terakhir ini paling potensial menimbulkan kerugian.
Mereka juga harus membagi waktu dengan tepat ketika mengaduk gorengan di kompor yang sudah ter-install pada gerobak. Dalam waktu sesingkat ini, wajar saja saya kira jika para penjual gorengan berusaha bertindak efektif. Contohnya, dengan langsung menuang minyak beserta plastiknya ke penggorengan yang sudah panas. Hal ini bisa mempersingkat waktu dibanding harus membuka plastik minyak yang tentu akan membutuhkan waktu lebih.
Belum lagi bila memperhitungkan aktivitas lain mereka seperti mengecek HP, membaca berita-berita online, menelepon pacar, dan segudang aktivitas di depan HP lainnya yang juga saya sebagai masyarakat kelas tanggung miliki.
Kedua, mereka memiliki kemampuan menakar, hal ini berhubungan dengan rawit yang disertakan sebagai pelengkap hidangan gorengan. Bayangkan jika kemampuan menakar mereka buruk, mungkin sekali jumlah rawit yang diberikan per plastik gorengan kurang. Cabai yang kurang adalah pantangan nomor satu bagi usahawan kuliner di Indonesia. Di negara ini, warung bisa laris manis hanya karena sambelnya enak dan bisa bisa bangkrut, seenak apa pun masakannya, hanya karena sambalnya tidak enak.
Tapi, cabai yang berlebihan juga tidak baik, bisa membuat penjual gulung tikar. Dapat kita pahami bersama bahwa harga cabai masih tinggi di Indonesia hingga Menteri Perdagangan menyuruh kita semua menanam cabai di pekarangan sendiri agar bisa mencukupi kebutuhan pribadi. Solusi yang efektif tapi tidak efisien memang. Tapi, kita masih beruntung harga cabai yang mahal. Bayangkan jika harga beras yang mahal, apa iya kita diminta menanam di pekarangan sendiri atas nama swasembada?
Poin ketiga perihal andalnya para penjual gorengan di Ibu Kota adalah mengenai risiko pekerjaan. Para pebisnis makanan gurih ini tiap hari bekerja di dekat api yang sistem perapiannya minim perlindungan keamanan.
Dengan mempertaruhkan keselamatan diri sendiri, penjual gorengan dan gerobaknya yang tanpa asuransi tetap sedia memberi sayuran-sayuran, tepung, tempe, tahu, singkong, ubi, dan pisang molen terbaik mereka kepada kita kaum menengah yang lapar serta butuh fast food dengan harga terjangkau karena gaji kita habis untuk mencicil iPhone keluaran terbaru. Ponsel canggih dan gorengan cukup layak dijadikan kombinasi gaya hidup yang balance.
Sesungguhnya, saya termasuk golongan orang-orang yang zalim karena terlambat menyadari betapa tinggi cita rasa yang diberikan gorengan ini. Segala puji bagi semua penjual gorengan di Jakarta, yang pakai micin banyak maupun tidak, yang pakai membungkus dengan kresek hitam maupun pakai kresek tapi dilapisi keras koran dulu.
Krauk.