MOJOK.CO – Berkat pernyataan soal “ikan asin”, Galih Ginanjar dituding bermulut seperti perempuan. Eh, tunggu dulu! Enak aja nuduh-nuduh, gitu!
Kalau ngomongin Galih Ginanjar dengan topik ikan asin ajaibnya itu, saya sudah angkat tangan. Bagi saya, makhluk seperti itu cukup kita jadikan sebagai contoh untuk tidak dicontoh anak-anak dan diri kita sendiri. Catet, ya: “contoh untuk tidak dicontoh”!
Perkara Galih Ginanjar ini sama levelnya dengan Ustaz Rahmat Baequni atau Zulkarnain. Kalau kita tanggapi dengan serius, jatuhnya bisa seperti Ridwan Kamil. Kasihan dan miris lihatnya. Harusnya yang seperti itu ditertawakan ramai-ramai saja atau langsung diperkarakan ke pengadilan.
Nah, yang mau saya bahas di sini adalah soal komentar banyak orang bahwa mulut manusia seperti Galih Ginanjar itu mirip mulutnya perempuan. Saya temukan banyak sekali komentar seperti ini.
Ada yang bilang, mulut si Galih “lemes” seperti perempuan, ada juga yang prihatin dengan Mbak Fairuz karena punya laki-laki bermulut ember mirip ibu-ibu. Maksud hati ingin menjatuhkan si Galih Ginanjar, tapi yang saya lihat, kok, malah jadi keliru, ya?
Sekarang begini saja, mari kita berkontemplasi sama-sama. Mengobservasi sambil merefleksikan pengalaman kita sendiri.
Apakah mulut perempuan memang seperti mulut Galih Ginanjar? Lihat, dong, circle kawan-kawan perempuan kita sendiri, ibu kita, atau teman kerja perempuan kita. Saya pribadi, sih, jarang menemukan level “kelemesan” mulut perempuan sampai segitunya. Kalau bergosip pun, rasanya tidak bakal sampai se-jijay itu membahas organ intim. Paling mentok juga membahas menor-tidaknya makeup kawan yang disebelin, harga tas si ono, dan sejenisnya.
Saya tidak menyangkal pendapat soal perempuan suka bergosip, loh. Nyatanya, memang ada, kok, perempuan yang suka gosip dan hidupnya pun berprinsip “Gossip is life, gossip is love!” Mulutnya ember ke mana-mana, bahkan ketika membicarakan temannya sendiri. Percayalah, saya berpengalaman dengan teman perempuan yang seperti ini.
Tapi, ada juga laki-laki yang suka gosip. Bukan sekadar “ada”, tapi “banyak”!
Nah, dari pengalaman saya, obrolan jijay yang menjurus ke alat kelamin dan masalah seksual itu lebih sering dilakukan laki-laki, sebagaimana Galih Ginanjar, daripada perempuan. Dari SD, SMP, SMA, kuliah, sampai kerja begini, selalu saja saya menemukan ada satu-dua laki-laki yang omongannya cabul. Bahkan, dosen saya pun ada yang cabul ketika ngajar di kelas.
Memang sih, maksudnya mau memberikan humor segar. Tapi ya, kadang agak kelewatan dan bikin mahasiswanya malah melongo semua.
Terus, gimana dengan “pelaku” perempuan? Saya yakin, sih, ada perempuan yang juga suka bicara cabul (saya belum pernah nemu), tapi jumlahnya jauh lebih dikit dari yang laki-laki.
Saya juga punya pengalaman lucu-lucu menyebalkan soal ini. Dulu, waktu saya masih aktif di grup Facebook yang sebetulnya grup regional, ada yang tiba-tiba membuat thread soal “FR.” Wuih, luar biasa sekali thread itu. Komentarnya ramai dengan berbagai pro kontra. Ada yang marah-marah, ada yang antusias, ada pula yang gembira melihat keributan.
Di utas itu, ada gambar mbak-mbak seksi yang mukanya ditutupi, lalu caption-nya ditulisi hal-hal yang anak lugu seperti saya tidak mengerti sama sekali. Tapi setelah mengikuti utas tersebut, barulah saya paham kalau, intinya, si pembuat utas sedang bicara soal pengalaman seksual yang baru saja ia lakoni. Ia memberikan “rating” untuk tubuh, wajah, dan juga pelayanan si perempuan.
Sebelum utas itu ditutup dan si mas di-banned, saya sempat mengingat beberapa istilah yang digunakan. Naluri kepo saya menyeruak dan jadilah saya searching istilah-istilah yang dipakai itu. Yah, pokoknya sih, itu utas yang mungkin sangat disukai dan digemari oleh Mas Galih Ginanjar yang budiman.
Sekarang di usia saya yang sudah dewasa dan mulai paham soal kelakuan cowok, rasanya saya mau tidak mau merasa “lumrah” dengan tema-tema begitu. Eits, saya tidak bilang semua laki-laki suka bicara vulgar, ya. Jangan gampang ke-trigger, lalu bilang “not all men” dulu.
Tenang, saya punya banyak kawan yang tidak vulgar ketika bicara. Kalau pikiran kotor, sih, saya kira wajar. Kita kan manusia yang diciptakan dengan seperangkat hormon dan panca indera. Tapi, soal obrolan vulgar; itu kasus yang sangat berlainan.
Anyway, kalau kita mau melihat dengan lebih general, saya kira laki-laki memang punya kecenderungan membicarakan tubuh perempuan dibanding perempuan membicarakan tubuh laki-laki. Perempuan jauh lebih nrimo dengan tubuh lelaki dibanding laki-laki yang mau nrimo dengan tubuh perempuan.
Makanya, perempuan pun jadi terdorong untuk pakai makeup, baju-baju modis aneka gaya, dan lain sejenisnya. Kenapa? Ya karena laki-laki suka berisik soal body dan wajah pasangannya. Persis kayak Mas Galih Ginanjar ini.
Bahkan, perempuan pun suka pusing dengan kealamian miss V mereka karena tuntutan dari pasangannya. Ada yang sibuk ingin memutihkan miss V-nya sendiri, ada pula yang berusaha membuatnya jadi wangi.
Saya yakin, obrolan “ikan asin” yang dilontarkan Galih Ginanjar ini akan membuat banyak perempuan insecure. Bukan tidak mungkin, penjualan pewangi miss V jadi meningkat gara-gara kasus ini. Padahal, sebetulnya pasangan si perempuan pun baunya bisa jadi jauh lebih parah.
Maka dari itulah, dengan pengalaman saya di atas, baik langsung atau di dunia maya, pada akhirnya saya mau bilang kalau mulutnya Galih Ginanjar itu sama sekali tidak seperti lemesnya mulut perempuan. Beda, Mas dan Mbak Bro! Jauh sekali bedanya!
Secara sterotopikal, persamaan itu pun tidak mashook. Mulutnya Galih itu, ya, mirip mulut laki-laki yang “you know lah”, yang memang tipenya seperti itu, dan biasanya bikin risih kuping manusia normal yang denger.
Kalau si Galih Ginanjar ini ngomongin makeup, lipstik, high heels, dan sejenisnya, sih, saya kira barulah pantas dikatakan mulut orang ini ala-ala perempuan. Malah, lebih “perempuan” lagi kalau si Galih Ginanjar ini curhat soal harga cabe, anak rewel, suami cuek, sampai mertua yang judesnya minta ampun.