MOJOK.CO – Demo UU Cipta Kerja berjalan rusuh. Banyak yang nyinyir. Mau bagaimana lagi, jika aksi massa yang damai saja tidak pernah didengar aspirasinya.
Demo protes pengesahan UU Cipta Kerja berjalan dengan keras. Salah satu aksi yang menjadi sorotan ada di Yogyakarta. Mulai dari kebakaran salah satu restoran legendaris di Malioboro, hingga pemukulan yang dilakukan oleh segerombol orang mengatasnamakan “warga”.
Banyak yang kemudian menyayangkan demo UU Cipta Kerja berubah menjadi rusuh. Bahkan Sultan juga mengatakan bahwa kerusuhan tidak mencerminkan Yogyakarta sama sekali.
”Saya, Hamengku Buwono X, mengimbau dan berharap kepada warga serta kelompok-kelompok masyarakat. Bukan karakter kita untuk berbuat anarkistis di kotanya sendiri. Itu saja yang bisa saya sampaikan,” ujar beliau seperti dilansir Kompas.
Pun suara-suara netizen di media sosial sangat menyayangkan kenapa sampai ada aksi pembakaran. Mengingat yang disasar adalah gedung DPRD, bukan bangunan publik. Sampai hari ini, identitas pelaku pembakaran belum diketahui jelas, entah dari para demonstran atau pihak-pihak tertentu yang menunggangi aksi ini dan menginginkan kekacauan.
Sebenarnya, Wakil Ketua DPRD DIY sudah muncul ke publik sekitar pukul setengah tiga sore kalau saya tidak salah ingat. Beliau mengatakan bahwa suara para demonstran sudah didengar. Dengan tegas, beliau mengatakan ikut menolak UU Cipta Kerja, sama seperti beberapa perwakilan DPRD daerah lainnya.
Seharusnya aksi selesai di sana. Namun, kerusuhan pecah ketika aksi pelemparan terjadi. Sekali lagi, identitas aksi pelemparan itu tidak ada yang tahu. Apakah dari demonstran yang suaranya sudah didengar dan jelas-jelas Wakil Ketua DPRD menyatakan menolak UU Cipta Kerja?
Rasanya aneh betul kalau memang seperti itu kejadiannya. Atau, barangkali, ada pihak lain yang nggak suka apabila aksi berlangsung damai tanpa kerusuhan, entah pihak dari mana itu.
Demonstrasi akhirnya berlangsung lebih lama lagi. Menjelang malam, para demonstran bukan hanya menghadapi kepungan aparat gabungan, melainkan organisasi masyarakat pula. Lucu benar, ormas macam apa yang justru menentang suara-suara pembela masyarakat?
Kerusuhan terjadi dan berujung penangkapan demonstran. Mulai malam, banyak suara-suara di luar sana yang mengecam aksi rusuh di kawasan Malioboro itu. Banyak yang mengatakan bahwa demonstrasi boleh saja, tetapi dilakukan dengan damai dan tanpa kerusuhan.
Maaf saja, mungkin hanya orang naif, yang berkata seperti itu. Gundulmu damai, wong demonstrasi menolak UU Cipta Kerja rusuh saja belum tentu didengar suaranya, apalagi yang damai adem ayem tanpa kerusuhan. Ya jelas makin nggak didengar.
Iya, kalau mau berkaca dengan aksi #GejayanMemanggil beberapa waktu lalu, saat menentang RUU KUHP yang laknat itu, demonstrasi di Yogyakarta kali ini memang “lebih liar”. Banyak yang memuji aksi #GejayanMemanggil karena massa yang berkumpul di Jalan Affandi itu terasa kalem dan tertib.
Namun, kita tahu akhirnya bagaimana. Aksi massa yang damai itu tidak membuahkan hasil selain pujian. Buat apa pujian kalau “kejahatan” tetap saja terjadi dan UU Cipta Kerja gagal dibatalkan.
Ya kali demonstrasi cuma ngincer pujian. Nggak butuh. Kalau ngincer pujian, anak SMA dapat nilai 90 pas ujian pelajaran Sejarah juga bisa. Eh maaf, pelajaran Sejarah mau dihapus ya. Itulah pokoknya.
Demonstrasi nggak butuh dipuji. Butuhnya didengar. Kalau memang harus rusuh demi dilihat yang mulia anggota DPR dan pemerintah ya biar saja begitu. Kalau mau aksi damai, mohon maaf nih ya, itu aksi Kamisan di depan Istana Negara sudah berjalan 13 tahun dengan damai dan nggak ada hasilnya sama sekali.
Paling kalau lewat dan lihat aksi damai Kamisan, Jokowi cuma senyum sambil ngacungin jempol ke kerumunan massa dan bilang, “Nah gitu, damai kan enak!”. Ealah, kok khayal beliau bakal ngacungin jempol, wong dilihat saja enggak. Kalau mau masuk atau keluar istana saja nggak bakal nurunin kaca mobil.
Lagian, senyuman, acungan jempol, dan pujian itu nggak bakal mengembalikan Munir, Wiji Thukul, Udin, Marsinah, serta menyeret “pelaku intelektual” ke depan hukum.
Mau aksi damai lainnya? Tengok warga Bali sudah lima tahun protes menolak reklamasi saja tak digubris. Petani Kendeng sampai menyemen kaki ketika protes, kasusnya dimenangkan MA, eh eksploitasi sempat masih jalan, tuh.
Saya tidak membenarkan aksi rusuh di demo UU Cipta Kerja, sebetulnya. Namun, gimana, ya. Protes yang dilakukan secara damai tidak pernah ada hasilnya di Indonesia ini. Aspirasi yang dibawa tak pernah efektif didengar. Kalau didengar saja tidak, bagaimana keadaan bisa berubah. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan.
Saya cuma berusaha ngasih gambaran saja. Pernahkah kamu mencoba “mengenakan sepatu mereka”, orang-orang yang jengah dengan DPR dan pemerintah, atau mereka-mereka korban ketidakadilan dan tidak didengar meski sudah menyampaikan aspirasi secara damai selama bertahun-tahun? Capek, tidak?
Terlepas dari aksi provokator, demo UU Cipta Kerja yang berujung rusuh perlu dilihat dari sisi berbeda. Ada sisi kemarahan yang sudah menumpuk. Ada ketidakadilan yang tidak pernah didengar. Seolah-olah kuping para penguasa itu terbuat dari tembok tebal.
Yang damai-damai gitu mau diharapkan buat ngubah pola pikir anggota DPR yang super ajaib itu? Mana bisa. Lagian reformasi nggak bakal bisa sukses kalau mahasiswa cuma menuhin jalanan dan teriak-teriak pakai megaphone sambil nyanyiin lagu Bagimu Negeri.
Rezim Pak Harto bisa runtuh karena aksi subversif dan rusuh yang terjadi di mana-mana. Kalo kemudian ditanya apakah kerusuhan itu merugikan banyak orang, ya tentu saja merugikan, wong banyak penjarahan di mana-mana. Apakah tidak ada aksi kejahatan selama kerusuhan, sudah pasti ada.
Tapi ya balik lagi, apakah yang melakukan kejahatan dan penjarahan itu berasal dari massa yang beneran pengin protes ke pemerintah atau ada pihak yang menunggangi peristiwa. Nggak ada yang tau.
Maka dari itu, banyak demonstran yang kemudian bersuara melalui cuitan di Twitter bahwa dalang kerusuhan utama bukan demonstran. Di antara kerumunan yang mengepung Malioboro, atau di kota lain, bukan hanya mahasiswa yang berbaris.
Ada pula buruh, ada pula anak STM, ada pula preman menyamar yang siap gebukin demonstran. Mana kawan dan mana lawan, kapan kerusuhan harus diciptakan saat persetujuan hampir tercapai, hanya Tuhan dan pemuja rezim ini yang tau skenarionya.
BACA JUGA Halo Buzzer Jokowi, Sori Ya, Aksi ‘Gejayan Memanggil’ Tak Sesuai Harapan Kalian dan tulisan-tulisan lainnya di rubrik ESAI.