Seperti hari-hari biasanya, Karjo memulai aktivitas dengan sarapan yang selalu dihidangkan oleh Romlah, Istri tercintanya. Karjo selalu memanfaatkan momen menunggu sarapan dengan membaca status-status temannya di facebook. Sesekali juga sambil membaca situs mojok.co, tentu saja.
“Dik Romlah sayang, sarapan apa kita pagi ini?” tanya Karjo ketika Romlah keluar dari dapur dan berjalan menuju ruang makan.
“Sop ayam spesial!” Jawab Romlah tegas.
“Hmmm, baunyaaa…”
“Maknyus toh, Mas? Sini aku ambilkan,” ujar Romlah sambil menuangkan nasi dan sop ayam di piring Karjo, yang tanpa menunggu waktu lama langsung dilahap dengan sangat sporadis.
Belum lama Karjo menikmati sop ayamnya, ia merasa ada yang tak beres dengan apa yang barusan ia santap.
“Sik, sik, toh, Lah. Kamu tadi bilangnya ini sop ayam, tapi kok dari tadi aku nggak secuil pun nemu daging ayam?”
“Iya, memang nggak ada, Mas. Lha wong aku pakai sari-sari ayamnya aja.”
“Heh? Sari-sari ayam gimana maksudnya?”
“Kaldu ayam instan. Hemat tapi tetap syedap kan?”
“Weeeladaalaaah… Ini bukan hemat, tapi medhit. Ini kan masih awal bulan, Romlah. Nggak perlu ngirit seekstrem kayak gini.”
“Ealah, aku ini lagi belajar mengelola keuangan kayak Bu Sri Mulyani loh, Mas. Aku harus menjadi perempuan yang visioner. Iya sih, ini emang awal bulan, tapi jangan lupa, utang kita juga numpuk. Kalau kita nggak ngirit, kapan kita bisa ngelunasinya?”
“Kamu ini, ngomong aja suruh aku kerja keras bagai kuda. Pakai sok bawa-bawa nama Bu Sri Mulyani segala.”
“Aku itu serius, Mas.”
“Emange kenapa toh kok tiba-tiba kamu sok macak Bu Sri kayak gini?”
“Nganu, Mas. Aku kemarin itu kan baca berita toh. Nah, Bu Sri Mulyani itu habis nyurati Menteri ESDM dan BUMN karena khawatir sama keuangannya PLN.”
“Khawatir gimana? Emang listrik udah mau punah?”
“Jadi toh Mas, PLN itu punya utang guede banget. Ratusan triliun kalau nggak salah. Dan ngutang sebanyak itu dijamin sama negara. Nah ternyata, kata Bu Sri, PLN nya sendiri belum bisa ngelola uangnya dengan baik.”
“Lah terus?”
“Ya kan serem, Mas. Padahal sekarang apa-apa, pasti butuh listrik. Lha kalau sampai PLN bangkrut, listrik bisa punah kayak yang sampeyan bilang tadi. Kalo listrik punah, nanti gimana aku nonton acara microphone pelunas utangnya, TV iku juga butuh listrik lho mas, sampeyan kira cuma pake tenaga wit kates.”
“Kamu tuh kok cuma nonton TV aja yang dipikirin. Jadi hubungannya sama ngirit tadi itu apa?”
“Ya, Bu Sri minta supaya PLN ngirit. Minta mereka bisa melakukan efisiensi biaya operasi untuk mengantisipasi, biar bisa bayar utang. Gitu, Mas.”
“Aduuuh, memang ya, perempuan kalau sudah jadi ibu rumah tangga itu pelitnya bukan main.”
“Bukan pelit, Mas. Itu namanya tegas dan berpikir secara detail. Nek aku selama ini gak belajar dari Bu Sri, bisa-bisa rumah tangga kita pailit lho.”
“Hmm…” Karjo enggan menjawab lagi karena ketar-ketir juga dengan ancaman kepailitan rumah tangganya.
“Wis, Mas. Aku sekarang tak nyuci piring sik. Sampeyan tolong ke toko buah, beliin buah jeruk.”
Tanpa menjawab panjang lebar, Karjo langsung keluar menjalankan perintah Romlah. Tidak sampai 15 menit Karjo kembali pulang dan membawakan pesanan Romlah.
“Loh, tadi kan tak suruh beli buah jeruk, kok ini malah sampeyan beli nutrisari?”
“Lah iya sama aja, Romlah. Itu kan ada sari-sari jeruknya juga. Lebih hemat kan? Katanya mau ngirit”
Jawab Karjo sambil buru-buru masuk ke kamar mandi sebelum ditempeleng oleh Romlah.