MOJOK.CO – Pejabat publik dipilih berdasarkan kepercayaan publik. Kalau kita sudah sulit percaya pada omongan pejabat, lantas bagaimana?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan Bupati Bekasi, Neneng Hassanah Yasin. Ia ditetapkan sebagai tersangka suap dalam pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Sebelumnya, Neneng sempat bersikap seakan tidak terlibat dalam kasus tersebut. Ketika anak buahnya tertangkap Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, ia mengaku tidak tahu menahu dengan kasus yang membelit anak buahnya tersebut.
Ketika itu, ia mengatakan kaget, tidak tahu siapa saja anak buahnya yang tertangkap dan kasus apa yang sedang membelit anak buahnya tersebut, Bahkan sebelumnya, Neneng mengaku sejak awal tahun ini meminta anaknya untuk berhati-hati jangan sampai terlibat urusan dengan KPK.
Meski telah mengatakan, “Saya demi Allah nggak tahu.” Ataupun, “Kaget lah pastinya. Prihatin pasti.” Serta ungkapan lainnya yang berusaha meyakinkan publik bahwa ia benar-benar tidak terlibat. Namun tidak lama kemudian ia tertangkap juga.
Ternyata pernyataan Neneng tersebut hanya sebatas lips service. Dia sedang berusaha menutupi bahwa perkara yang sedang dihadapi oleh anak buahnya juga berkaitan dengan dirinya sendiri. Mungkin hal itu adalah cara dia untuk menenangkan dirinya sendiri. Sambil memikirkan apakah ada jalan supaya dirinya tidak disangkut-pautkan.
Hmmm, kira-kira bagaimana ya perasaannya ketika sedang berbohong itu. Di hatinya ngerasa nggrenjel-nggrenjel gitu, nggak? Atau justru biasa saja karena telah terbiasa berbohong?
Frasa lips service memiliki makna omong kosong. Namun jika omong kosong memiliki nilai rasa yang lebih netral, lips service justru lebih memiliki kesan lebih kasar dan vulgar. Tidak percaya? Coba rasakan, coba rasakan~
Sebenarnya memberikan pernyataan yang hanya sebatas lips service seperti itu tidak hanya dilakukan oleh Neneng. Hal ini menjadi perilaku yang sudah jamak dilakukan oleh para pejabat kita. Bisa dengan berusaha memberikan ‘data’ yang dibuat-buat untuk membuat tenang masyarakat. Berusaha memberikan keterangan bahwa wilayah kepemimpinannya aman berada di wilayah kekuasaannya. Serta apa yang mereka lakukan adalah demi kesejahteraan masyarakatnya.
Ataupun memberikan opini yang terlihat well untuk sebuah proyek atau program kerja yang akan menghabiskan banyak anggaran. Dengan mengungkapkan seolah-olah program kerja tersebut akan membahagiakan semua pihak. Namun ya gitu, kita tidak tahu apa yang terjadi di baliknya.
Belum lagi tentang janji-janji masa kampanye mereka yang sangat sering tidak terealisasi dengan baik. Sangat sering hanya berakhir pada janji. Atau dilaksanakan namun kisruh dan proyek mangkrak.
Coba ingat-ingat seberapa sering kita tahu mereka melakukan hal itu? Atau kita tidak mengingatnya karena hal itu terlalu sering terjadi? Ataukah sebenarnya di balik sana, mereka sedang adu kreativitas dalam menipu masyarakatnya? Eh.
Tentu saja jika lips service ini terlalu sering terjadi, kita menjadi sulit untuk percaya dengan apa yang mereka utarakan. Lantas, kita tidak dapat benar-benar menaruh simpati dengan gagasan mereka. Kita menganggap, ada maksud tersembunyi dari gagasan itu. Ada kepentingan pribadi di dalamnya.
Prinsipnya begini, dalam sebuah jabatan publik juga melekat kepercayaan publik. Dan sebuah kepercayaan publik itu tidak dapat diselewengkan untuk kepentingannya sendiri. Untuk tetap mendapatkan kepercayaan publik, maka pejabat perlu mengimani etika publik.
Jika tidak, mereka akan mudah merugikan pihak lain termasuk merugikan negara. Selain itu juga mudah untuk tidak peduli terhadap korban, serta diskriminatif dalam memperlakukan warga negara. Ketika itu yang terjadi, maka keadilan hanya sebatas lips service semata.
Kita memang tidak bisa percaya mentah-mentah omongan para pejabat. Kita perlu untuk tabayyun pada argumentasi dimensi yang mereka ungkapkan itu.
Meski kita sudah berusaha tabayyun, namun jika si lambe manis para pemimpin publik ini terus-menerus tidak dibarengi dengan aksi nyata, lama-kelamaan pasti membuat tingkat kepercayaan publik pun akan menurun. Pasalnya, seperti yang disebutkan di atas, dibutuhkan kepercayaan publik agar kita benar-benar dapat mempercayakan tugas-tugas negara kepada seseorang yang memang dianggap mampu untuk memimpin.
Salah satu contoh yang simpel saja, diantara dua calon presiden yang ada saat ini, kita memutuskan untuk memilih salah satunya karena kita memiliki kepercayaan bahwa ia dapat memimpin Indonesia.
Sebenarnya yang kita butuhkan lebih pada sosoknya. Karena kita pun tahu jika para calon ini tidak akan berhasil menyelesaikan semua permasalahan negara ini sendiri. Mereka bukan superhero. Maka mereka memiliki menteri di bidangnya masing-masing, yang akan membantu tugasnya itu.
Namun jika para pemimpin kita terlalu sering sebatas lips service saja. Bagaimana kita bisa mempercayai bahwa akan ada sosok yang memang pantas. Alih-alih kita justru akan menganggap mereka semua saja.
Seperti seorang perempuan ketika sudah disakiti oleh laki-laki. Lantas, ia akan menyamaratakan semua lelaki dan menganggap, “Ah, semua lelaki sama saja.” Ya, otak kita akan lebih mudah menggeneralisasi sesuatu ketika kita mengalami pengalaman yang menyakitkan dan mengecewakan diri kita.
Lalu jika hal ini terus terjadi, pada siapa kita akan percaya. Bagaimana sebuah negara bisa berjalan dengan aman dan nyaman jika masyarakatnya saja tidak menaruh kepercayaan pada para wakil-wakil yang memimpinnya.
Bagaimana jika tidak adanya kepercayaan itu, kemudian masyarakatnya membuat sistem-sistem sendiri. Membuat aturan-aturan sendiri, yang mengabaikan peraturan yang dibuat oleh negara yang menaunginya.