MOJOK.CO – Anak IPA dianggap lebih pintar, anak IPS dianggap lebih gaul. Situ saling ngatain satu sama lain, nggak malu , ya, sama anak Bahasa? Hmm?
Adik saya tahun lalu resmi jadi anak SMA. Di usia kami yang terpaut lumayan jauh—yah kira-kira jarak waktunya sama dengan jarak waktu Harry Potter lahir sampai dia dapat surat pertama dari Hogwarts lah—saya baru benar-benar mengerti bahwa pemilihan jurusan di SMA dimulai dari kelas 10 (tahun pertama).
Di zaman saya dulu (dan kamu sekalian), jurusan dipilih saat siswa naik ke kelas 11 (tahun kedua). Paling umum, ada dua jurusan yang konon selalu bersitegang dan berkompetisi untuk dipilih: IPA dan IPS.
Saya nggak tahu keadaan di sekolahmu, tapi di daerah saya, ada stereotip anak IPA dan anak IPS yang seakan-akan nggak pernah mati. Sepertinya, semua orang punya bayangan ini di kepala: anak IPA adalah mereka-mereka yang cupu, rajin, pintar, dan membosankan, sedangkan anak IPS jauh lebih santai, ramai, suka bergaul, dan hobi kena razia rambut oleh guru BP.
Anak-anak IPA cenderung dianggap lebih anteng dan (tampak) elegan. Saya pernah naksir sama kakak kelas yang merupakan anak IPA, misalnya. Orangnya nggak banyak bicara, tatapannya dingin-dingin menarik. Waktu saya pikir dia adalah orang yang cool, ternyata saya sadar satu hal: dia cuma nggak suka balik sama saya, makanya nggak banyak ngomong. Asem.
Tapi, terlepas dari si kakak kelas yang nggak tahu kabarnya gimana itu, ternyata stereotip anak IPA dan IPS itu masih berlaku hingga hari ini. Beruntung, adik saya diizinkan ayah dan ibu kami untuk masuk jurusan IPS, bukannya malah “terpaksa” masuk IPA demi dianggap lebih bagus, pantas, dan bergengsi.
Lalu dari mana saya bisa bilang stereotip itu ada?
Putra, salah seorang saudara saya, adalah jawabannya.
*JENG JENG JENG*
Sebagai anak SMP akhir, adik saya, Putra, tentu harus bekerja keras untuk masuk ke sekolah incaran. Kepentok masalah zonasi, mereka harus benar-benar punya nilai yang bagus kalau kekeuh mau sekolah di sekolah tertentu. Yang lebih “membebankan”, nilai ujian mereka pulalah yang kelak akan menentukan jurusan di SMA: IPA atau IPS.
Putra anak yang pandai besi. Ibunya sudah membesarkan dua anak sebelumnya dengan sukses—dua-duanya masuk IPA dan berhasil bekerja di BUMN ternama. Putra yang bukan putri masih kecil pun kena beban otomatis: harus masuk jurusan IPA.
Putra pernah ketiduran di kelas karena kelelahan belajar, sampai-sampai temannya menjahilinya dengan mengelilinginya, lalu mendoakan surat Yasin sampai ia terbangun. Ibunya berubah menjadi “musuhnya” karena selalu mengawasi 24/7 agar dirinya belajar dan mengerjakan soal latihan, alih-alih mainan PUBG di kamar.
Hidup, bagi Putra, berubah seperti area pertandingan hidup dan mati.
Saya belum tahu keputusan akhirnya, apakah tahun ini Putra jadi anak IPA atau anak IPS. Namun, mengintip sentimen ibunya pada anak IPS, saya jadi bertanya-tanya: ini gara-gara stereotip atau mantannya si ibu dulu tuh anak IPS, sih???
Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, perbedaan anak IPA dan IPS kan jelas: anak IPA nggak akan perlu mikirin pelajaran Ekonomi dan hitung untung dan rugi, sementara anak IPS nggak perlu mikirin pelajaran Biologi dan metamorfosis atau macam-macam sendi setiap makhluk hidup di dunia ini. Kalau dari mata pelajarannya aja beda, gimana bisa orang-orang bilang bahwa anak IPA jauh lebih pintar dari anak IPS, dah???
Seperti yang dijelaskan dalam thread apik berikut ini, semestinya kita memang perlu menyadari bahwa kecerdasan manusia itu beragam dan nggak seluruhnya dimiliki oleh masing-masing orang.
[THREAD]
Menyudahi Stereotip Anak IPA VS Anak IPS.
"Nak, nanti kamu harus bisa masuk kelas IPA ya.."
"Nak, pokoknya jangan sampe ambil kelas IPS ya. Disitu banyak anak nakalnya."Familiar sama sentimen gini? Udah taun 2019, kupikir narasi yg seperti ini HARUS dihentikan. pic.twitter.com/Tuv0nwyyGu
— Widas 🇵🇸 (@WidasSatyo) June 28, 2019
Mantan pacar saya dulu anak IPA, tapi untuk menghitung uang kembalian waktu temannya lagi membayar utang aja dia suka memerlukan waktu agak lama. Dia malah tampak jauh lebih pede bicara soal tanaman, pupuk, dan apa pun yang berhubungan dengan lingkungan. Sahabat saya yang IPS, sementara itu, harus berpikir cukup pelan waktu saya tanya kapan rapat BPUPKI digelar, tapi dia paham sekali hitungan pajak, sampai ke detail-detail terkecilnya.
Maksud saya, bukankah menjadi anak IPA atau anak IPS tidak lantas mengubahmu menjadu superhero atau apa?
Guru BK saya pernah berkata, menjadi anak IPA atau IPS sesungguhnya bukan perkara gengsi dan mana yang lebih pintar. Ia adalah cara terbaik yang kamu pilih, yang menurutmu bakal lebih mudah dilalui.
“Kalau kamu merasa bakal lulus dengan nilai baik kalau ngerjain soal-soal IPA, ya ngapain masuk IPS? Begitu juga sebaliknya,” kata beliau. Saya cuma manggut-manggut.
“Jadi, kamu sudah memutuskan mau masuk jurusan mana?” tanya si guru BK, akhirnya, setelah mendengarkan keluh kesah saya yang cukup panjang.
Saya mengangguk yakin.
“Jurusan apa?” tanyanya lagi.
“Bahasa, Bu.”