Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Pojokan

Kadang Kita Harus Sadar, Semakin Dewasa, Kita Semakin Tak Becus Memanjat Pohon

Agus Mulyadi oleh Agus Mulyadi
6 Desember 2019
0
A A
Kadang Kita Harus Sadar, Semakin Dewasa, Kita Semakin Tak Becus Memanjat Pohon

Kadang Kita Harus Sadar, Semakin Dewasa, Kita Semakin Tak Becus Memanjat Pohon

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Memetik buah dengan cara memanjat pohonnya tentu saja lebih asyik, lebih ada adrenalinnya, lebih ada tantangannya.

Jujur, semasa saya kecil, saya hampir tak pernah membeli rambutan. Kalaupun saya makan rambutan, itu biasanya karena dikasih atau dapet metik dari pohon tetangga yang dengan sukarela rambutannya dipetiki oleh anak-anak kiri-kanan rumah, atau pohon “tak bertuan” di pinggir kali dekat perumahan akademi militer tak jauh dari kampung saya.

Saya tak pernah bermimpi punya pohon rambutan sendiri. Maklum saja, halaman rumah saya terlalu sempit, sehingga lebih masuk akal bagi bapak dan ibu saya untuk menanam pohon toge alih-alih pohon rambutan.

Kemiskinan lahan yang terjadi secara struktural itu memaksa untuk punya jiwa eksplorasi yang tinggi. Saya punya semacam kemampuan untuk memetakan, siapa saja tetangga yang punya pohon rambutan yang sekiranya bisa diminta. Kemampuan berburu buah ini tentu saja penting, utamanya untuk memenuhi asupan vitamin C bagi tubuh saya.

Almarhum Mbok Melik, tetangga saya satu RT menjadi salah satu tetangga yang paling sering saya mintai rambutannya. Setelah itu ada Pak Yunus, yang punya pohon rambutan dengan bentuk dahan yang aneh dan eksploratif, yang membuat saya begitu suka untuk berakrobat di atasnya. Lalu ada Pak Totot yang walau pohon rambutannya tampak sangat buruk, tapi rambutannya manisnya ngaudubillah setan.

Terbiasa memanjat dari satu pohon satu ke pohon yang lain, membuat skill memanjat saya kemudian terasah. Memanjat pohon menjadi semacam gaya hidup saya di masa kecil.

Bertahun-tahun kemudian, roda waktu membawa saya untuk tinggal di Jogja. Saya tinggal di sebuah rumah kontrakan di bilangan Jalan Kaliurang.

Di rumah kontrakan inilah, untuk pertama kalinya, saya punya kesempatan untuk punya pohon buah saya sendiri. Yah, walau tidak sepenuhnya milik saya sendiri, namun pemilik rumah yang saya kontrak sungguh amat baik hatinya sehingga mengizinkan saya untuk memanfaatkan pohon buah yang ada di pekarangan rumah. Ada dua pohon rambutan di halaman depan, dan masing-masing satu pohon mangga dan kelengkeng di halaman belakang.

Maka, tatkala pohon rambutan di depan rumah kontrakan saya berbuah, sungguh, bukan main girangnya hati saya.

Saya menatap nanar pada sedompol-dua dompol rambutan ranum yang menggantung di pohon depan rumah kontrakan saya. Saya menjadi sangat sentimentil.

Saya ingin memetik barang satu dompol untuk kemudian saya kasih ke kawan-kawan kantor.

“Rambutan di rumah sedang panen,” begitulah kalimat yang ingin saya katakan pada kawan-kawan saya. Kalimat yang selama bertahun-tahun saya tak punya hak untuk mengatakannya.

Maka, beberapa hari yang lalu, benar pula, saya tak butuh waktu yang lama untuk memanennya. Tentu saja tidak dengan genter alias galah, tapi langsung saya panjat. Memetik buah dengan cara memanjat pohonnya tentu saja lebih asyik, lebih ada adrenalinnya, lebih ada tantangannya.

Saya langsung memasang kuda-kuda. Mencoba memetakan pang alias dahan mana saja yang kira-kira potensial dan bisa dijadikan pegangan untuk manjat.

Begitu selesai memetakan pang, saya segera memulai langkah awal saya. Dengan kesigapan dan keterampilan serupa kukang, saya mulai naik. Namun sayang, keterampilan memanjat yang saya peragakan tersebut rupanya hanya sampai setengah jalan. Belum juga sampai di dahan atas, saya sudah mlorot.

Saya melirik kaki saya. Ada sobekan yang lumayan lebar. Tampaknya terkena bagian dahan yang tajam.

Ternyata usia tidak bisa menipu. Kemampuan memanjat saya sudah berkurang sangat drastis. Daya tahan kulit saya juga sudah sangat ringkih. Saya tidak lagi lincah. Kemampuan memanjat pohon yang dulu begitu saya kagumi sekarang sudah luntur.

Kelak, beberapa kawan kantor yang saya tawari untuk ikut memanen rambutan saya ternyata juga punya kondisi yang sama. Kemampuan memanjat mereka sudah berkurang jauh. Jangankan memanjat pohon, untuk sekadar memanjat tangga pun mereka harus sangat berhati-hati.

Pada akhirnya, saya pun mengalah dengan keadaan. Saya lantas memetik rambutan-rambutan tersebut dengan genter. Cara memetik buah yang sangat tidak lelaki. Dan sangat tidak nyeni.

Saya harus menerima keadaan, bahwa bakat saya sekarang bukanlah pemanjat pohon, melainkan pemanjat sosial.

BACA JUGA Jangan-Jangan Benar, Buah yang Enak Adalah Buah Hasil Nyolong atau esai AGUS MULYADI lainnya.

Terakhir diperbarui pada 6 Desember 2019 oleh

Tags: buahpohonpohon rambutanrambutan
Iklan
Agus Mulyadi

Agus Mulyadi

Blogger, penulis partikelir, dan juragan di @akalbuku. Host di program #MojokMentok.

Artikel Terkait

nama kampung di jogja mojok.co
Sosial

12 Kampung di Jogja yang Berasal dari Nama Pohon

24 Februari 2023
melon mini mojok.co
Kilas

Dosen UGM Kembangkan Melon Mini Sebesar Apel

10 Januari 2023
Oknum Polisi Menyuruh Wartawan Bicara ke Pohon Mojok.co
Hukum

Menyuruh Wartawan Bicara ke Pohon, Anggota Polsek Kembangan akan Dihukum 

2 September 2022
resan gunungkidul mojok.co
Kilas

Mereka yang Memuliakan Pohon dengan Cara Mengenali Kembali Identitas Diri

29 Agustus 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pertama kali naik bus patas setelah sekian tahun naik bus ekonomi. Coba-coba pakai toilet bus malah berujung drama MOJOK.CO

Coba-coba Boker di Toilet Bus Patas, Niat Legakan Perut Malah Dibikin Waswas hingga Repot saat Cebok

19 Juni 2025
sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Lulus Kuliah IPK 3,7 tapi Susah Dapat Kerja Gara-gara Tidak Mendengarkan Nasihat Orang Tua

18 Juni 2025
ASN.MOJOK.coJakarta Wajib Naik Transum Bisa Lahirkan Celah Tipu Muslihat MOJOK.CO

Anak Jadi PNS Bikin Ortu Suka Pamer Pencapaian, Padahal Sang Anak Tersiksa karena Gaji Kecil dan Sering “Dipalak” Teman

19 Juni 2025
Bus ekonomi Mira, saksi perantau Surabaya nekat ke Jogja tanpa bekal apa-apa buat cari kerja. Tujuh jam menderita dengan kerandoman penumpang MOJOK.CO

Naik Bus Mira karena Pengin Nikmati Perjalanan dengan Harga Murah, Malah Menderita karena “Keanehan” Penumpangnya

16 Juni 2025
Lomba Bidar Palembang Budaya Betulan, Bukan Sound Horeg MOJOK.CO

Saya Resah Melihat Palembang ketika Budaya Bodoh Bernama Sound Horeg dan Organ Tunggal Dianggap Pesta Rakyat Seperti Lomba Perahu Bidar

19 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.