Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Saatnya Mengeluarkan 2 Cara Terakhir Memperbaiki Indonesia

Prima Sulistya oleh Prima Sulistya
31 Juli 2021
A A
Negara Udah Sekacau Gini, Kenapa Kita Belum Juga Revolusi? Saatnya Mengeluarkan 2 Cara Terakhir Memperbaiki Indonesia mojok.co

Negara Udah Sekacau Gini, Kenapa Kita Belum Juga Revolusi?

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Ketika pindah kewarganegaraan bukan pilihan, saatnya mengeluarkan kartu terakhir untuk memperbaiki Indonesia. Agar hidup di sini bisa tertahankan.

Enak sekali jadi orang yang bisa berhenti memakai media sosial, pikir saya kadang-kadang karena saya tak bisa.

Memang saya syukuri bahwa internet dan media sosial membuat pekerjaan mencari berita menjadi mudah. Tapi kalau diberi pilihan, saya ingin setop menonton orang mencaci maki atau mempublikasi semua lukanya sampai-sampai luka itu menular ke orang lain yang membacanya. Kalau ada pilihan, saya ogah melihat semua tindakan terburuk manusia yang tiap hari diekspose internet.

Hari-hari akan lebih mudah dihadapi jika masalah besar yang dihadapi sekadar menuangkan kecap ke lopis atau dimarahi tukang sampah karena lupa bayar iuran.

Ada orang mengeluh, kenapa dia kesulitan menghentikan adiksi media sosial. Kalau saja hidup ini drama Korea, batin saya, saya bersedia tukar tubuh dengannya. Dasar nasib, pekerjaan saya sekitar menulis dan membaca. Mungkin memang harus lebih banyak gunakan waktu senggang belajar masak lalu banting setir jadi penjaja kue. Kue, kue, siapa mau kue.

Ya, inilah masalah hidup. Kata filsuf Zygmunt Bauman mengutip Goethe, letak bahagia dalam hidup adalah dengan mengatasi masalah, bukan menghindarinya. Saya tahu Pak Bauman saksi hidup Holocaust, tetap saja saya tergoda bilang kepada Almarhum: Monggo, coba cicipi hidup di Indonesia, Pak.

Saya tak perlu jabarkan karena kita sudah sama-sama tahu, sejak 2019 beruntun saja petaka datang ke negara ini. Hari-hari belakangan ini seperti acara depresi berjamaah satu negara. Terus bekerja, jangan berharap pada negara, kata satu mural di Jogja. Kadang perkataan demikian ada benarnya, tapi kita baru dapat berhenti peduli sama negara ketika vaksin sudah bisa dipetik di pohon. Mau mengatasi pun bagaimana, kita ini cuma angka. Nggak, nggak, mimpinya nggak seheroik itu untuk memperbaiki negara ini. Jangankan redaktur media online, Presiden saja tidak bisa.

Eh, tapi jangan-jangan kita masih bisa memperbaiki Indonesia? Nah, kalau sudah keluar kata jangan-jangan, artinya kita masuk waktu Indonesia bagian berkhayal. Petang kemarin saya makan terlalu banyak basreng pedas, berakhir mulas semalaman. Kemudian terpikirlah bahwa masih ada dua cara terakhir yang tampaknya bisa memperbaiki Indonesia ini.

Cara memperbaiki Indonesia #1 Semua aparatur negara legislatif, yudikatif, dan eksekutif dipegang orang OCD

Konon saya mengidap OCD. Tapi misal pun tidak, saya punya kenalan pengidap OCD. Jadi kira-kira saya tahu bagaimana karakteristik penderita kelainan ini.

OCD atau obsessive compulsive disorder adalah kelainan yang membuat pengidapnya terobsesi pada sesuatu secara berlebihan, umumnya pada keteraturan.

Di rumah saya, semua benda punya tempatnya. Sapu digantung di belakang pintu dapur. Piring cokelat Duralex di rak kedua, sisi paling kiri. Baskom pasir kucing di sudut 45 derajat dari kursi panjang. Kabel vacuum cleaner digulung dari sisi kanan dulu, baru ke kiri, hingga nanti bagian colokannya diselipkan di gagang.

Jika semua barang itu bergeser atau dikembalikan tak pada posisi semulanya, biasanya oleh suami, kapan pun saya mengetahuinya, hal pertama yang saya lakukan adalah meletakkannya kembali di tempat yang benar.

Dengan sangat bisa saya pahami, teman saya dengan sindrom serupa pernah menyortir satu demi satu dari ribuan pesan di email kantor yang tak dibuka bertahun-tahun. Yang ini disimpan, ini dibuang, ini dimasukkan ke kotak berlabel A, ini di-forward, dan seterusnya. Ia juga orang yang betah mengubah semua entri di Excel menjadi diawali huruf kapital semua agar seragam.

Iklan

Sebaliknya, si teman ini dengan sangat pengertian dapat pula memahami mengapa saya pernah memperbaiki wastafel pelabuhan yang tersumbat (isinya: air kuning campuran muntahan entah siapa, air menggenang dari keran, serta tisu basah menjijikkan). Sebelum pandemi, saya orang yang rajin melap dudukan toilet bandara dari bercak air seni kuning yang iukh, diingat-ingat kok bikin mual.

Orang OCD adalah tipe terbaik aparatur negara. Katakanlah mereka jadi anggota DPR, dan dalam satu tahun ada sekian puluh draf RUU yang harus diselesai-rapatkan. Tak akan ada cerita “DPR RI periode sekian-sekian meninggalkan PR pembahasan RUU karena tak sempat disahkan sebelum masa jabatan mereka berakhir.” Tidak mungkin karena orang OCD tak bisa tidur jika ada hal yang harusnya selesai belum selesai.

Jika orang OCD jadi menteri sosial, ia akan jadi tipe pemimpin tukang tekan. Tiap hari ia merongrong anak buah agar bantuan sosial segera disalurkan. Jika perlu, ia akan turun sendiri mengepak mi, sarden kaleng, dan beras itu dalam bungkusan demi bungkus, bahkan sekalian mengantarkannya ke rumah penerima.

Jika orang OCD menjadi hakim, malah ia yang tak bisa tidur jika hukuman koruptor di bawah aturan undang-undang. “Ini tidak cocok, ini tidak pas,” ia tetap ngelindur begitu ketika berhasil lelap karena obat.

OCD jelas karakter terbaik yang dibutuhkan bangsa-ahlinya-ngerjain-apa-pun-pasti-nggak-beres ini. Hanya perlu saya peringatkan efek sampingnya: orang OCD bisa menjadi sosok diktator. Mudah marah dan tidak suka melihat kesalahan sekecil apa pun.

Kalau tak percaya, tanya suami saya.

Cara memperbaiki Indonesia #2 Semua aparatur negara legislatif, yudikatif, dan eksekutif dipegang orang yang sakit perut atau mengidap asam lambung kronis

Pandemi menekankan pengetahuan yang kita mafhum sejak lama: birokrasi Indonesia itu brengsek. Tidak sistematis, sangat tergantung pada pemimpin, lamban, dan terutama: korup.

Hingga September 2019, masalah korupsi masih bisa kita delegasikan untuk ditangani KPK. Hari ini, dengan sangat pede saya bisa bilang, tak ada yang lebih digdaya membasmi korupsi ketimbang sakit perut dan asam lambung.

Anda belum pernah mengalami keduanya? Luar biasa. Tolong tuliskan tipsnya dan kirim ke Mojok. Tapi sebelum itu Anda harus tahu sensasi dua penyakit ini.

Konon, perasaan kita sangat dipengaruhi kondisi perut. Perut yang nyaman (tidak mesti kenyang) adalah kunci hati bahagia dan kerja yang bersemangat. Tapi sebaliknya jika perut melilit: rasanya semua keinginan, hasrat, ambisi, cita-cita, mimpi, halah apa aja deh, amblas. Hilang tanpa sisa. Yang diinginkan cuma rebah dan tak berbuat apa-apa.

Ketika petang kemarin disergap sakit perut karena kebanyakan makan cabe, saya sampai berpikir jika saat itu saya disodori uang Rp1 miliar saat itu juga, saya tetap tak peduli. Hidup dengan Rp1 miliar tapi sakit perut terus-terusan buat apa. Tak layak diperjuangkan.

Apalagi jika sampai kena asam lambung. Bukan cuma kehilangan semua keinginan (kecuali keinginan untuk sembuh), bernapas saja terasa sulit. Dada sakit, makanan tak ada yang enak.

Korupsi berasal dari keinginan. Keinginan bisa dimatikan dengan sakit perut dan asam lambung. Tak ada keinginan, tak ada korupsi. Bayangkan, betapa mudahnya mengantisipasi korupsi jika semua aparatur negara ini punya asam lambung. Tiap mau disuap, tinggal kasih kopi.

Jika dua cara ini yang akan dipraktikkan, barulah siapa saja yang punya usul “mengubah dari dalam” mendapat legitimasinya. Trust me.

BACA JUGA Perut yang Lapar Lebih Berbahaya daripada Kebangkitan Komunisme dan esai Prima Sulistya lainnya.

Terakhir diperbarui pada 31 Juli 2021 oleh

Tags: asam lambungIndonesiakrisisOCDpolitiksakit perut
Prima Sulistya

Prima Sulistya

Penulis dan penyunting, tinggal di Yogyakarta

Artikel Terkait

Gugun El Guyanie : Awalnya Soal Skripsi, Berakhir Membongkar Dinasti
Video

Gugun El Guyanie : Awalnya Soal Skripsi, Berakhir Membongkar Dinasti

28 Oktober 2025
Republik dan Bayang Penjajahan yang Tak Usai
Video

Republik dan Bayang Penjajahan yang Tak Usai

25 Oktober 2025
kerja sama indonesia prancis.MOJOK.CO
Sosial

Indonesia-Prancis Teken Kerja Sama Perfilman di Candi Borobudur, Angin Segar Industri Sinema Tanah Air

29 Mei 2025
Kotak Pandora Politik Terbuka: Gus Romy Ungkap Krisis di PPP
Video

Kotak Pandora Politik Terbuka: Gus Romy Ungkap Krisis di PPP

20 Mei 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.