Kalau suatu saat, Anda main ke Magelang, cobalah sesekali mampir ke Baturan, Ngawonggo, Kaliangkrik. Di kampung yang berada di lereng Gunung Sumbing itu, Anda bakal menemukan sebuah perusahaan legendaris yang yang selama ini menjadi tempat bernaung bagi jutaan manusia Indonesia: PT Mencari Cinta Sejati.
Perusahaan yang sempat berjaya di masa lalu itu pada kenyataanya kini masih tetap kokoh dan terus mencari talenta-talenta baru.
Tak banyak yang menyangka, bahwa di balik kantornya yang sederhana, perusahaan yang bergerak di bidang farmasi, suplier alat-alat hidrolik dan peralatan sunat laser, serta penyedia snack makanan ringan khususnya geblek dan pothil ini merupakan salah satu perusahaan di Magelang yang bisa secara konsisten mendapatkan penghargaan “zero accident” selama sepuluh tahun berturut-turut.
Ya, tentu saja narasi tentang perusahaan PT Mencari Cinta Sejati di atas adalah guyon belaka. Foto spanduk penerimaan karyawan PT Mencari Cinta Sejati di atas juga merupakan hasil kenyelenehan Khoirul Anam, kawan saya sesama putra Kaliangkrik yang memang selama ini hobi membuat foto-foto unik.
Saya tidak mau membahas lebih jauh tentang apakah fisik sebenarnya PT Mencari Cinta Sejati itu benar-benar ada atau tidak. Saya justru tertarik dengan bagaimana fenomena PT Mencari Cinta Sejati itu tumbuh menjadi sebuah perlawanan kolektif bagi banyak anak muda.
PT Mencari Cinta Sejati lahir ketika perkembangan dunia digital di Indonesia sedang sangat pesat-pesatnya yang ditandai dengan fenomena demam Facebook.
Alurnya sederhana. Salah satu kolom yang bisa ditampilkan di halaman profil Facebook adalah tempat bekerja.
Itulah awal mula bagaimana perlawanan ini terjadi. Banyak pengguna Facebook yang sebenarnya tidak punya pekerjaan, atau kalaupun punya, tempat ia bekerja tidak bonafit-bonafit amat atau bahkan tidak terkenal sama sekali, sehingga, para pengguna merasa harus mencari alternatif lain, alternatif nama perusahaan yang bisa mereka cantumkan sebagai tempat mereka bekerja.
Tak ada yang tahu, siapa yang pertama kali mengawalinya, namun PT Mencari Cinta Sejati mendadak sangat terkenal. Satu per satu pemuda dengan lantang mengisinya sebagai perusahaan tempat ia bekerja.
Gerakan mem-PT Mencari Cinta Sejati-kan itu kemudian meluas dan berubah menjadi sebuah arus yang sangat deras lagi kolosal. Setidaknya pasti ada 1 dari 10 kawan Anda yang bekerja di perusahaan ini.
Ia menjadi semacam perusahaan kolektif. Perusahaan bersama yang boleh dimasuki oleh siapa saja. Perusahaan yang tidak pernah mensyaratkan seleksi yang berat. Perusahaan yang mudah untuk dimasuki bahkan tanpa harus menahan ijazah. Perusahaan yang orang-orang bersuka-cita menjadi bagian darinya. Perusahaan yang semua orang bisa menjabat sebagai direktur utama.
Pada titik yang paling sentimentil, gerakan orang-orang mencantumkan PT Mencari Cinta Sejati itu bisa dipandang sebagai sebuah muara keputusasaan banyak orang dalam mendapatkan pekerjaan.
Betapa pekerjaan semakin susah didapat. Persaingan hidup yang semakin keras. Juga kesenjangan sosial yang semakin meninggi.
Kritik kolektif itu begitu halus. Saking halusnya, sampai-sampai tak banyak yang menyadarinya.
Hal yang senada berlaku juga dalam dunia pendidikan. Ketika tak banyak orang yang bisa melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Semesta menawarkan sebuah universitas fiktif yang sifatnya sama-sama kolektif seperti PT Mencari Cinta Sejati. Sebuah Universitas dengan nama yang sangat falsafi: “Universitas Kehidupan”
Universitas ini tak ubahnya seperti PT Mencari Cinta Sejati. Ia menjadi bentuk perlawanan yang sederhana bagi banyak orang yang merasa tidak pernah punya riwayat berkuliah.
“Universitas Kehidupan” menjadi sebuah manifestasi paling nyata kredo legendaris bahwa kalau ingin mendapat ijazah, maka sekolahlah, tapi kalau ingin pintar, maka belajarlah.
Universitas Kehidupan membuat banyak orang yakin, bahwa semua orang layak dan bisa berkuliah. Tanpa perlu memikirkan biaya kuliah, biaya ujian, uang gedung, dan tetek bengek sebangsanya.
Dunia ini memang selalu penuh dengan kritik perlawanan. Dan masyarakat selalu bisa menyalurkannya dengan penyaluran yang elegan namun penuh ironi.
Pemerintah boleh jadi memang belum bisa banyak membantu 7 juta pengangguran di Indonesia dalam mendapatkan pekerjaan, atau menguliahkan dengan gratis jutaan anak yang tak kuat membayar biaya kuliah.
Kondisi itulah yang kemudian melahirkan semangat kritik berupa “PT Mencari Cinta Sejati” dan “Universitas Kehidupan”. Kritik yang lahir dari masyarakat. Kritik yang tak kalah indah dari lagu “Sarjana Muda” atau “Sore Tugu Pancoran”