Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Legenda Peci Putih Mbah Kiai Maimun Zubair

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
6 Agustus 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Selasa, 6 Agustus 2019 di kota Mekah, Mbah Kiai Maimun Zubair meninggal dunia. Meninggalkan Pondok Sarang dan santri-santrinya di setiap sudut Nusantara.

Jika kamu seorang santri Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, dan kebetulan kamu memakai peci putih dalam kegiatan sehari-hari, jangan heran kalau pada suatu waktu kamu dipanggil pengasuh pondok dan ditegur karena peci yang kamu kenakan. Tak usah merasa istimewa karena kamu jadi satu-satu santri yang dipanggil atau ditegur.

Menghapal peci putih di batok kepalamu itu sangat mudah sekalipun kamu adalah santri baru di tengah-tengah ribuan santri yang lain. Sebab, santri-santri lain di Pondok Sarang semuanya memakai peci beludru hitam.

Di antara ribuan santri yang memakai peci hitam, memperhatikan batok kepalamu yang berbeda warnanya jelas pekerjaan yang sangat mudah. Bahkan jika itu dilakukan oleh ulama sepuh berusia 90-an tahun.

Di Sarang, terutama di daerah sekitar Pondok Pesantren Al-Anwar, peci putih bukan sekadar peci. Sekalipun peci yang kamu beli hanya 10 ribu rupiah, simbol yang kamu kenakan tidak semurah itu. Ada kepekaan sosial yang tersemat dari peci putihmu itu. Nilai yang jelas takkan bisa kamu beli—sekalipun harga peci putihmu itu sebenarnya berharga jutaan rupiah—misalnya.

Hal itu yang bikin K.H. Bahauddin Nursalim atau biasa dikenal dengan nama Gus Baha’ tidak terbiasa mengenakan peci putih. Dalam keseharian maupun dalam pengajiannya, Gus Baha’ (sosok yang pernah disebut Ustaz Adi Hidayat sebagai “manusia Qur’an”) selalu akrab dengan peci hitam. Tak pernah sekalipun Gus Baha’ terlihat memakai peci berwarna putih.

Asal-usul kebiasaan ini muncul karena Gus Baha’ dulunya merupakan santri Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Tidak sekadar santri, Gus Baha’ didaku sebagai murid kesayangan dari ulama sepuh paling berpengaruh, paling ‘alim, dan selalu menjadi rujukan banyak ulama lain, Mbah Kiai Maimun Zubair.

Dalam salah satu pengajiannya, Gus Baha’ pernah cerita bagaimana Mbah Kiai Maimun Zubair bisa beneran duko (baca: marah), kalau melihat seorang santri lalu lalang di pondok dengan memakai peci putih.

“Wis kaji?” (Sudah haji?).

“Dereng.” (Belum).

“Wong ndeso iku kaji adol tegal, adol sawah, lha saiki kethumu rego limangewu. Ko iku po ra ngelarakke atine wong-wong?” (Orang desa itu jual ladang, jual sawah, lha sekarang pecimu harganya cuma lima ribu. Seperti itu apa ya tidak bikin sakit hati orang-orang?)

Beberapa orang mungkin menilai sikap Mbah Maimun Zubair terlalu tinggi menilai aktivitas ibadah haji yang disimbolkan dengan memakai peci putih. Akan tetapi, kalau diperhatikan, ada kebijaksanaan yang luar biasa dari aktivitas sepele menegur santri memakai peci putih.

Seorang santri diajarkan Mbah Maimun Zubair untuk peka pada kondisi sosial masyarakat. Di Sarang, kepekaan ini muncul dalam penghormatan ibadah haji kepada orang lain, terutama orang-orang desa sekitar, yang mana saat itu, di lingkungan Sarang, peci putih biasanya memang hanya umum digunakan oleh orang-orang yang sudah berhaji.

Orang desa sudah mengorbankan banyak hal agar bisa haji. Padahal mereka bukan orang yang mampu-mampu amat. Jangankan sepeda motor atau mobil, tanah sawah yang menjadi sumber penghidupan mereka pun ikhlas dijual demi bisa menjalankan ritual Rukum Islam kelima itu.

Iklan

Maka, meski harga nominal dan faktual peci putih di Pondok Sarang—mungkin—cuma 10 ribu, tapi ada harga yang benar-benar tak bisa ternilai, bahkan kalau kamu mau pakai mata uang emas sekalipun. Sematan ini bukan cuma soal kemampuan ekonomi berangkat haji, tapi simbol ketakwaan dan ikhlas terhadap “Gusti”.

Hal ini yang membuat salah satu santri Mbah Maimun Zubair paling cemerlang, Gus Baha’ selalu bersikap rendah hati dengan peci hitamnya. Paling tidak, kita tahu, Gus Baha’ yang jelas-jelas sudah kaji pun sampai sekarang tidak serta merta “berani” memakai peci putih.

Kini, peci putih sebagai simbol ketakwaan bagi Pondok Sarang itu benar-benar menemukan klimaksnya pada pagi, Selasa, 6 Agustus 2019 di kota Mekah, kota kelahiran Nabi Muhammad. Di tengah-tengah keadaan “memakai peci putih”, Mbah Kiai Maimun Zubair dikabarkan meninggal dunia.

Mbah Kiai Maimun Zubair mendapat sematan ketakwaan dengan idiom peci putihnya sekaligus tanda khusnul khotimah. Maklum, bagi orang Islam, ada beberapa keadaan meninggal dunia yang sangat diidam-idamkan.

Mati syahid atau mati dalam keadaan menunaikan ibadah. Lebih dahsyat lagi kalau mati dalam keadaan ibadah haji. Meninggal saat melakukan aktivitas suci di tanah suci.

Siapa sangka, keberangkatan ibadah haji Mbah Kiai Maimun Zubair pada 2019 ini menjadi keberangkatannya yang terakhir. Menjadi duka mendalam bagi semua orang yang ditinggalkannya. Meski di sisi lain kita juga sadar, tak ada yang lebih indah ketimbang meninggal saat menjalankan ibadah.

Mbah Kiai Maimun Zubair pada akhirnya menemukan tempat peristirahatan terakhir sambil ditemani peci putih kesayangannya. Baik secara harfiah, maupun secara laku ibadah.

Simbol penghormatan yang dulu dilakukan Mbah Kiai Maimun untuk orang lain. Orang-orang di desanya. Kini peci putih justru menjadi simbol satu bangsa untuk menghormatinya. Bedanya,  kali ini penghormatan bakal terus terjadi sepanjang masa.

Dulu peci putih Mbah Maimun mungkin cuma jadi cerita-cerita di sekitar kita, diceritakan dari satu pengajian ke pengajian, disampaikan dari satu warung kopi ke warung kopi, tapi mulai sekarang kisah peci putih Mbah Maimun ini bakal awet jadi legenda.

Karena kita tidak akan pernah lelah bercerita pada anak cucu nanti. Bahwa pada suatu masa, di negeri ini pernah hidup seorang ulama besar yang alim dan bijak paripurna. Lalu dengan dada membusung bangga kita merasa bahagia, karena merasa pernah hidup satu era dengan sang ulama.

Terakhir diperbarui pada 6 Agustus 2019 oleh

Tags: Gus Baha'Maimun Zubairpeci putih
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

Sisi gelap kurban (Idul Adha) di desa. Orang miskin nelangsa, tapi orang kaya pesta daging MOJOK.CO
Ragam

Ironi Kurban di Desa: Saling Jegal demi Raup Keuntungan, Orang Miskin Tak Kebagian Daging sementara Orang Mampu Berpesta

6 Juni 2025
Gus Baha dan Pemikiran Cerdasnya tentang Esensi Beragama | Semenjana Eps. 11
Video

Gus Baha dan Pemikiran Cerdasnya tentang Esensi Beragama | Semenjana Eps. 12

28 April 2025
Metode Santri Nalar Gus Baha di LP3IA MOJOK.CO
Sosok

Metode Santri Nalar di LP3IA Rembang, Cara “Tak Umum” Gus Baha Mendidik Santrinya

14 April 2024
Salat Tarawih Tengah Malam di Masjid Gedhe Kauman Jogja MOJOK.CO
Ragam

Tarawih Tengah Malam di Masjid Gedhe Kauman Jogja, Sebenar-benarnya Sunnah Rasul di Bulan Ramadan Menurut Gus Baha

23 Maret 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.