MOJOK.CO – Kayaknya polemik penyebutan bakpia kukus bakal panjang setelah ramai di medsos. Tenang, bakpia nggak sendirian.
Ini bukan pertama kalinya kita mendengar oleh-oleh khas daerah kena senggol sana-sini. Urusan oleh-oleh khas daerah yang tiba-tiba dinukil kue artis saja masih belum selesai, sekarang urusan kuliner ini makin nggak main-main. Belakangan di medsos, ramai pembahasan soal bakpia kukus yang singkatnya bisa dianggap sebagai “penistaan” sebab si bakpia dipisahkan dari identitas sebelumnya dan dapat identitas baru.
Saya akui, bakpia kukus memang rasanya enak. Nggak ada yang salah dengan cita rasa dan hal ini juga mungkin disetujui sebagian besar orang. Masalahnya,bakpia kukus ini memang nggak layak digolongkan sebagai bakpia dan tiba-tiba saja jadi oleh-oleh khas Jogja. Sebagai orang yang berdomisili di Jogja ketika penganan ini mulai ramai, saya sempat penasaran banget. Memangnya ada gitu cara bikin bakpia dengan dikukus tapi rasanya tetap bakpia? Yuyur, saya pun bela-belain beli dan nyobain. Dengan modal yang nggak murah saya dan beberapa kawan akhirnya beli beberapa rasa seperti cokelat, keju, dan rasa yang masih tertinggal itu. Hash.
Begitu dicoba, jeng jeng jeng…. Kami semua sepakat bahwa bakpia kukus ini kue bolu. Iya, kue bolu. Meski begitu, saya akui rasanya enak meski beberapa teman saya bilang, “Biasa aja, ah.” Dibanding membelinya, saya lebih suka bakpia yang biasa. Harganya juga lebih terjangkau dan jauh lebih mengenyangkan. Tapi, ya gimana, sebab bakpia kukus populer, kawan-kawan saya dri luar kota kerap ingin membelinya dan saya selalu temani. Meski hati kecil saya meletup-letup heran, saya nggak bisa apa-apa. Keresahan ini sebenarnya pernah mengendap dan difermentasikan dengan baik hingga akhirnya salah satu netizen berteriak di Twitter.
Ini enak tapi TIDAK PERNAH ADA SEJARAH CHIFFON CAKE DENGAN TOPPING COKLAT DISEBUT BAKPIA R U EFFIN NUTSS?!?? BAKPIA DI-OVEN, BUKAN DIKUKUSSSSAAARRGHHHHH https://t.co/QHvJlef9M7
— OG-Vaxxed (@ogiklo) July 28, 2021
Selain bakpia, sebenarnya saya juga merasakan keresahan yang sama pada makanan rendang. Yang saya tahu, rendang itu ya nggak berkuah, warnanya pekat, dan hampir nggak bisa dibedain mana daging mana lengkuas sakin butheknya. Tapi, coba lihat dengan wide eyes open, Bung. Orang yang bikin rendang berkuah lebih banyak di Jawa.
Gini gini, saya bukan orang Sumatera Utara, tapi saya mudeng lah bahwa rendang berkuah itu spesies yang beda lagi. Ia kerap disebut kalio karena kayak rendang yang belum jadi, rendang yang belum masak-masak amat. Hampir sama kayak bakpia kukus, rendang dan kalio itu berbeda cara masaknya. Rendang dimasak seharian sampai surut, sampai santannya kering. Sedangkan kalio dibiarkan berkuah gitu aja.
Makanan yang diceraikan dari identitas mereka sendiri itu cenderung menyedihkan. Ini bukan soal, “Lebay ah, tinggal makan aja cerewet amat.” Ini lebih ke pengukuhan identitas si makanan itu sendiri. Makanan khas dan oleh-oleh bukan perkara sepele, mereka kerap jadi representasi daerah dan bagian dari budaya yang ada. Lha soal rendang krispi aja ributnya nggak kelar-kelar kok. Apalagi kalau besok-besok Indomie goreng dibikin berbentuk fusili dan masaknya pakai saus carbonara apa klean masih mau menganggap itu Indomie? Alih-alih dibilang mi goreng dari Indonesia, bisa-bisa Indomie versi fusili dibilang meniru makanan khas Italia. Mamam tuh al dente.
Sudah terlalu sering makanan-makanan kayak bakpia dan rendang dipisahkan dari ciri khas mereka sendiri. Bakpia dipanggang bukan dikukus, rendang itu nggak berkuah. Mendoan juga bernasib sama. Mendoan adalah tempe goreng tepung setengah matang. Namanya aja mendoan, mendo-mendo dipangan. Dalam dialek ngapak itu artinya ‘masih belum matang, sudah dimakan’. Sungguh tega sekali orang yang mengaku jualan mendoan padahal mereka bikinnya tempe goreng tepung. Woy lah, bercanda ya, Bang?
Ada lagi nih makanan yang nggak kalah nelangsa. Ayam geprek yang sudah urbanisasi ke kota. Dengan sentuhan metropolitan, ayam geprek jadi ayam yang ditumplekin sambal di atasnya. Ya sesekali ditumbuk dikit lah biar kelihatan niat. Padahal, cobalah klean blusukan ke warung ayam geprek Bu Rum, Bu Made, Bu Nanik, Pak Topan, dan perhatikan dengan seksama bagaimana mereka menumbuk ayamnya dengan sambal. Ayam geprek adalah ayam yang benar-benar diulek dengan cabai dan bawang sampai bobrok.
Sebetulnya saya nggak pengin berlarut-larut menuntut sampai nantinya dikatain SJW kuliner. Saya cuma pengin menyelamatkan makanan-makanan yang otentik gitu lho. Biar orang-orang nggak memahami dengan ngawur. Soal rasa memang kadang urusan selera, tapi jangan ceraikan makanan-makanan dari identitasnya.
BACA JUGA Ayam Geprek, Sei, dan Makanan yang Kehilangan Jati Diri karena Sentuhan Metropolitan dan tulisan rubrik POJOKAN lainnya.