MOJOK.CO – Merindukan saat mruput ke warung fotocopy terdekat dan haha-hihi di kantin sekolah adalah sejauh yang bisa kita kenang setelah setahun libur.
Pagi ini kontak tidak dikenal tiba-tiba mengirimi saya WhatsApp, menagih beberapa persyaratan administrasi untuk wisuda oline akhir bulan nanti. Betul, itu nomor akademik jurusan, membuat saya ingat saya masih tercatat sebagai mahasiswa dan harus menuntaskannya. Proses ini membuat saya perlu menyusuri warung fotocopy terdekat pagi-pagi sekali. Masa PPKM begini bikin semua terasa sunyi, termasuk tempat-tempat makan. Warung fotocopy dan kantin sekolah, sejauh ini kedua tempat itu menyimpan kenangan manis yang wajar jika dirindukan.
“Mas, beli CD-R.” Pinta saya ke mas-mas warung fotocopy setelah saya memarkir motor.
Warung fotocopy itu tampak sepi, cuma saya yang datang. Mas-mas fotocopy, sebelum saya datangi tengah ngobrol dengan bapak-bapak yang sedang mainan burung. Burungnya dalam sangkar. Masa sih harus diperjelas…. Tiga komputer, tiga printer, semua tampak sudah standby dan siap digunakan.
“Sepi banget nggak, Mas, belakangan?”
“Woh ya jelas, Mbak, sekarang tugas semuanya onlen.” Jawab si mas-mas fotocopy sambil curhat.
Sebenarnya saya juga ngawur, kok berani-beraninya bertanya perkara yang sudah jelas jawabannya. Pergeseran metode pembelajaran plus pandemi bikin warung-warung fotocopy terdekat dari kampus gugur satu demi satu. Beruntung, saya masih menemukan warung fotocopy yang tangguh begini, tetap buka pagi. Tanpa disadari, warung fotocopy ini jadi penyelamat wisuda saya yang sudah tertunda setahun.
Ketika kuliah di Malang dulu, saya punya kenangan yang agak memalukan dengan warung fotocopy. Mulai dari sering utang sampai request aneh-aneh kayak minta diajarin bikin daftar isi dan berkali-kali gagal nge-print cover CD. Bimbingan skripsi itu dulu adalah masa paling deg-degan selain ujiannya. Saya selalu melewatkan satu hari sebelum bimbingan skripsi dengan berdoa khusyuk, biar dosen saya punya mood bagus dan bimbingan berjalan lancar. Syukur-syukur kalau cepat dapat ACC. Sebagai bocah last minute, saya juga kerap kejar-kejaran sama deadline dan datang mruput ke warung fotocopy terdekat dari kampus.
Pagi pukul 06.00 warung fotocopy sudah buka, saya sering jadi pelanggan pertama dan membelah udara dingin Kota Malang. Dingin-dingin begitu, saya juga nantinya bakal berkeringat karena grogi, kejar-kejaran sama waktu kuliah jam pertama, kadang grogi karena mau ketemu dosen dan bimbingan skripsi. Lama-lama, saya merasa jadi anak angkat pemilik kost yang setiap pagi ngecek performa printer. Bahkan saya yakin di ujung masa kuliah S-1 saya lebih lama menghabiskan waktu di warung fotocopy daripada di warung kopi.
Sebagai mahasiswa yang nggak punya printer, saya juga masih punya siasat berhemat. Dulu, banyak warung fotocopy yang juga memperbolehkan mahasiswa bawa kertas sendiri. Jadi, kami cuma perlu bayar biaya tintanya, irit, Sob.
Selain soal fotocopy yang lekat dengan masa kuliah, ada kalanya saya rindu sekolah, walau usia saya mungkin malu buat sekadar mengingat apa itu masuk kelas. Ada perasaan iba ke adik-adik tingkat, ke mahasiswa baru yang masuk kuliah saat pandemi dimulai. Pun dengan adik-adik yang masih sekolah. Betapa menikmati bolos ke kantin sekolah, mengobrol tentang pasangan baru di kelas sebelah, dan hal-hal gayeng lainnya cuma bisa ditemui kalau ada kegiatan tatap muka.
Kantin sekolah, dan kantin kampus tentunya, adalah saksi bisu saat mencari ilmu terasa lebih melelahkan daripada menjadi beban orang tua. Tas yang berat, laptop jadul yang lemot, dan segala hal yang kita bawa terasa kayak beras sekarung, dan itu perlu diletakkan bersamaan dengan keluh akibat nilai yang buruk. Pesan Indomie sebungkus dan es teh adalah pilihan paling favorit, lebih dari cukup buat isi ulang energi yang terkuras. Dengan dua menu itu, semua siswa dan mahasiswa bisa menaklukan dunia.
Siang ini, saya yang terpaksa menyusuri kampus buat menyerahkan berkas justru merasa pengin nangis waktu melewati kantin. Timbang warung fotocopy terdekat yang saya lewati tadi, kantin kampus seperti bangunan yang gema kenangannya saja sudah hilang. Padahal, dulu tempat itu adalah wadah buat melantaikan dosa-dosa gibahin dosen, gibahin teman sendiri, dosa-dosa mengaku tidak belajar padahal nilainya bagus, dan dosa-dosa sambat menimba ilmu. Saya yakin kantin-kantin sekolah juga sama sunyinya. Tidak ada lagi siasat-siasat bocah berseragam putih abu-abu untuk membolos dan melepas penat usai ulangan fisika dengan ngemil gorengan, ngambil tiga bayarnya satu.
Saya pikir tidak apa-apa jika kita merasa rindu dengan masa yang lalu. Meski pada akhirnya ya cuma sebatas mengenang yang bisa kita lakukan. Semoga lekas pulih, keadaan.
BACA JUGA Nostalgia Pacaran di Koridor, Taman, dan Kantin Sekolah: Mana yang Lebih Nyaman? dan tulisan AJENG RIZKA lainnya.