MOJOK.CO – Ketika Neno Warisman bilang “Tak ada lagi yang menyembah-Mu” di Munajat 212, ya nggak melulu harus dimaknai harfiah begitu dong. Itu kan puwisiiiie~
Jagat dunia media sosial kembali ramai oleh puisi Neno Warisman yang terdokumentasi dengan baik saat acara Munajat 212 di Monas. Wakil Ketua BPN Prabowo-Sandi ini dibicarakan netizen yang—lagi-lagi—terbelah.
Berikut potongan isi puisi atau doa yang jadi masalah:
Karena jika Engkau tidak menangkan
Kami Khawatir ya Allah
Kami Khawatir ya Allah
Tak ada lagi yang menyembah-Mu
Sebelum membahas isi puisi yang dibacakan Neno Warisman tersebut, sebenarnya perdebatan sudah muncul saat netizen terbelah, apakah yang dibacakan ini termasuk doa atau puisi?
Menurut pendukung Prabowo-Sandi, yang dibacakan Neno Warisman itu puisi, jadi ya isinya tak bisa dimasalahkan. Puisi kan bagian dari seni berekspresi, dan ekspresi itu bebas.
Sedangkan pendukung Jokowi-Ma’ruf menganggap apa yang dibacakan itu merupakan doa, tapi cuma modelnya saja yang berbentuk puisi. Dan namanya doa, tak etis ketika redaksinya berupa ancaman ke Tuhan.
Kalau kita ingat, sebenarnya perkara puisi semacam ini juga sempat ramai beberapa waktu lalu (April 2018) saat Ganjar Pranowo membacakan puisi pada acara talk show di salah satu stasiun televisi.
Biang kerok permasalahan ada pada bagian puisi yang dibacakan Ganjar: Kau bilang Tuhan sangat dekat, namun kau sendiri memanggil-Nya dengan pengeras suara setiap saat.
Mendengar itu, segera panas lah itu kuping orang-orang yang kontra dengan Ganjar. Kader PDIP itu lalu dianggap sudah melecehkan azan.
Namun ketika dijelaskan bahwa puisi yang dibacakan Ganjar merupakan puisi Gus Mus, mendadak semua ribut-ribut itu meredam seketika. Bahkan orang-orang yang tadinya sempat kepanasan langsung buru-buru menghapus postingannya.
Uniknya, cara pandang demikian tidak muncul saat Neno Warisman membacakan puisi yang lumayan nyentil—kalau disepakati ini merupakan puisi lho ya, bukan doa.
Hedeh, jangan buru-buru bilang kalau ini standar janda, eh, ganda. Jangan suuzon dulu. Lagian kasus puisi Neno kan dibacakan di acara untuk umat bernama Munajat 212. Acara umat muslim yang paling kaffah. Jadi, sepanjang umat di sana nggak protes ya nggak apa-apa dong. Bebas.
Beberapa tafsir kemudian muncul dari pembacaan puisi tersebut. Seperti puisi Neno ini hampir mirip dengan redaksi hadis yang pernah dibacakan oleh Rasulullah SAW saat Perang Badar. Peristiwa pada 17 Ramadan tahun kedua Hijriyah itu memang sempat jadi analogi bagi pendukung Prabowo-Sandi saat Amien Rais menyamakan Pilpres 2019 seperti Perang Badar.
Ada beberapa bagian dari puisi Neno Warisman yang dianggap memakai doa Nabi saat berada dalam keadaan terdesak karena berhadapan dengan tentara Quraisy yang tiga kali lipat lebih banyak pada Perang Badar. Meski sebenarnya ada juga ulama yang mengklaim bahwa riwayat ini kurang tepat redaksinya dan tidak bisa dimaknai seolah-olah Nabi “memaksa” Allah untuk memenangkan umat Islam.
Terlepas dari hal itu, netizen tetap terbelah antara yang membela dengan yang menggugat penggunaan diksi yang dipakai Neno Warisman. Apalagi pada kalimat yang menyebut bahwa kalau nggak menang, dikhawatirkan Allah nggak bakal lagi disembah. Mukegile.
Tentu saja banyak orang jadi membayangkan cara pikir bagaimana kalimat ini bisa ditulis dengan cukup berani oleh Neno.
Apa iya, kalau pihak yang mereka dukung akhirnya kalah maka semua warga negara Indonesia bakal jadi auto-murtad gitu? Mendadak semacam kena sihir lalu tiba-tiba jadi warga penyembah pohon semua? Atau tiba-tiba mengimani agama Kerajaan Ubur-Ubur?
Sebelum sampai ke pemikiran liar semacam itu, seharusnya kita nggak perlu kaget dengan penggunaan-penggunaan diksi yang aneh-aneh semacam itu kalau bicara soal puisi. Toh, namanya juga puisi, puisi kan bebas. Puwiisiiie gitu lho.
Chairil Anwar aja nulis di puisinya “aku binatang jalang”, terus apa iya betulan kebetulan Chairil jadi binatang? Kan nggak? Lagian zaman sekarang, semua orang nggak perlu belajar bikin puisi dengan serius kalau mau bikin puisi, tuh nyatanya Lord Fadli Zon aja bisa bikin puisi yang berkuantitas.
Jadi kalau misalnya Neno bilang “Tak ada lagi yang menyembah-Mu”, ya nggak melulu harus dimaknai harfiah begitu dong.
Bisa saja kalimat itu dimaknai, pada nggak menyembah Allah soalnya pada sibuk demo kan juga bisa. Bukannya ingat Allah, malah ingat mulu sama jagoan politiknya. Nggak di jalan nggak di masjid, malah ingatnya jagoan politiknya mulu. Ini umatnya siapa sih sebenarnya?
Atau bisa juga dimaknai; karena begitu menuhankan hasil piplres, Tuhan yang beneran sampai dilupain. Atau ditafsirkan: karena begitu menuhankan emosi, sampai lupa hikmah salat dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan dilupakan, padahal mulut teriak-teriak menyebut nama Tuhan.
Tuh, revolusioner sekali bukan tafsir bagian puisinya Neno Warisman ini menyindir semua kalangan? Keplok dolo dooong. Kasih apresiasi.
Jadi jangan hanya semata-mata belio merupakan Wakil Ketua BPN Prabowo-Sandi, lalu seolah-olah Neno berpihak ke salah satu paslon. Neno itu netral-netral aja kok dalam puisinya. Belio berpihak pada umat Islam. Titik.
Dan karena kebetulan Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma’ruf itu sama-sama muslim, jadi beliau ini sebenarnya sedang bela dua-duanya.
Mungkin yang dimaksud Neno itu adalah, jangan sampai yang menang Pilpres 2019 nanti itu paslon dari Kepulauan Faroe atau paslon dari daerah Segitiga Bermuda. Udah nggak ikut iuran biaya kampanye, nggak jelas lagi agamanya apaan.
Lagian dalam puisinya, Neno juga sama sekali tidak menyebut bahwa jika yang menang Jokowi-Ma’ruf, maka kekhawatiran itu akan terjadi. Lha wong dalam redaksinya, Neno sama sekali tidak ada nyebut Jokowi-Ma’ruf kok. Bahkan nyebut harus Prabowo-Sandi saja nggak.
Kalau kemudian ada teriakan dari jamaah yang menyinggung paslon nomor dua, padahal izin acara bukan kampanye, ya anggap saja itu kreativitas yang bikin acara saja. Improvisasi, sebut saja begitu.
Masa cuma teriakan-teriakan dari jamaah soal paslon nomor dua begituan aja kagak boleh sih, kaku amat jadi orang. Lha wong yang ikut Munajat 212 nggak kaku kok kalau nyangkut kesalahan sendiri. Gitu aja kok repot.