Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Aku Tahu Aku Cantik dan Pintar, tapi Please Jangan Puji Aku

Aprilia Kumala oleh Aprilia Kumala
16 Maret 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Kebingungan menanggapi pujian adalah nyata dan sungguh-sungguh terjadi. Jadi, tolong, sudahlah—jangan puji aku!

Saya menuliskan judul tulisan ini dengan geli. Perlu waktu tiga menitan untuk berhenti tertawa sebelum akhirnya mulai benar-benar menulis.

Pujian, adalah bumbu penyedap dalam kehidupan bersosial—seperti kecap yang dituangkan ke tumpukan nasi ayam geprek (serius, deh, kenapa ada orang yang pesan ayam geprek cabai 5, tapi makannya pakai kecap???) atau gula batu yang dicemplungin ke teh hangat. Ia adalah pelengkap. Penyeimbang. Cahaya terang.

Saya rasa, kita semua bisa sepakat bahwa dipuji adalah sesuatu yang terasa menyenangkan, baik itu dipuji karena penampilan yang menarik (tolong bedakan ini dengan catcalling, ya!), pekerjaan yang bagus, keberhasilan meraih penghargaan, sikap dermawan, sampai dipuji karena berhasil punya pacar setelah jomblo sekian lama. Pokoknya, dipuji itu enak walau kita suka berteriak dalam hati, “Jangan puji aku!”.

Coba, deh, amati dulu aktivitas pemberian pujian yang sering kita temui di sekeliling kita. Banyak, kan, adegan pujian karena wajah yang rupawan dan pencapaian besar, seperti lulus S-2 atau keberhasilan menghasilkan karya? Banyak, kaaaan???

Tapi faktanya, di lapangan—atau lebih sering ditemui di kolom komentar media sosial—puji-pujian ini tidak mendapat apresiasi sebagaimana seharusnya. Banyak sekali orang yang justru merasa canggung dan aneh saat dipuji. Ya, benar, dipuji itu memang enak, tapi…

…kita tu sebenarnya harus bersikap bagaimana untuk menghadapinya, sih???

Dalam suatu kondisi tertentu, seorang perempuan memuji kawan perempuan lainnya, misalnya dengan ucapan, “Wah, kamu kelihatan tambah cantik, deh, sekarang! Lihat, deh, mata kamu; udah kayak gerbang surgawi! Terus, baju kamu juga keren, kayak bajunya Jennie BLACKPINK!”

Coba tebak, apa yang kira-kira dirasakan si perempuan penerima pujian? Ya, betul: YA JELAS SENENG, LAH, ARMANDOOOO.

Tapi, ingat: reaksi diri menerima pujian tak melulu lantas positif dan mengiyakan kata-kata yang terdengar. Sebaliknya, kepala-kepala kita—sebagai penerima pujian—justru kadang berpikir lebih cepat: duh, jangan puji aku! Kenapa juga, sih, dia tiba-tiba muji aku? Dia tulus muji beneran atau cuma nyindir, ya? Kalau muji beneran, aku harus jawab apa, nih, biar nggak kelihatan sombong?

Pada dasarnya, ada tiga cara umum menerima pujian: mengamini pujian, mengelak, dan menolak. Dengan pertimbangan tidak ingin terlihat sombong, kebanyakan orang memutuskan untuk menolak dan mengelak dari pujian tadi, misalnya dengan kalimat semacam:

“Ah, kamu lebih pintar, kok.”

“Ah, bisa aja. Ini aku cuma pakai baju bekas kakakku, kok.”

“Ah, cantik dari Hong Kong! Jelek kayak gini, kok—aku aja tambah gendut dan naik 3 kilo!”

Iklan

Ke-mbuh-an kita saat menerima pujian ternyata bukan hal yang aneh-aneh amat. Nyatanya, menurut penelitian, pujian memang cenderung membuat orang bingung dalam hal menanggapi. Maksud saya, kalau kita dipuji, “Eh, kamu cantik banget, sih!”, terus kita jawab, “Iya, nih, aku cantik. Makasih, ya!”, apa kita nggak bakal dilempar jumroh dianggap sombong dan punya level narsis tingkat dewa???

Kebiasaan bersopan santun yang diajari oleh bapak dan ibu kita ternyata memegang peran besar pada cara kita menanggapi pujian. Demi sopan santun dan menghindari sikap angkuh, kita jadi geleng-geleng kepala, deh, waktu dipuji—meskipun, yah, dalam hati, sih, kita kesenengan setengah mati, apalagi kalau yang muji gebetan sendiri. Apalagi (lagi), kalau gebetan ini berubah status jadi pacar kita.

Tapi tetap saja, kebingungan menanggapi pujian adalah nyata dan sungguh-sungguh terjadi. Jadi, wajar saja kalau kita benar-benar berdoa, “Jangan puji aku!” di dalam hati. Apalagi, kadang-kadang, pujian itu…

…menambah beban pikiran!!!

Jadi gini, loh, Saudara-saudara yang budiman. Situ pernah nggak dipuji semacam, “Ah, kalau kamu mah pasti nilai kuis Farmasetikanya nanti dapat nilai tinggi, soalnya setiap praktikum, kan, hasilmu selalu bagus”?

Tahukah Anda-Anda sekalian bahwa pujian semacam itu justru membebani pikiran si penerima pujian? Gimana kalau nanti nilai kuis Farmasetikanya nggak sebagus yang diharapkan??? Apa dia nggak jadi down dan merasa gagal???

Ini omong-omong kenapa juga saya pakai contoh mata kuliah Farmasetika, ya???

Perkara “jangan-puji-aku” ini memang cukup pelik. Seperti yang sudah disebutkan di atas, kita tentu suka dipuji, tapi kita juga tidak suka menerima pujian itu dengan cepat karena takut terkesan sombong dan angkuh. Lantas, sebenarnya, harus seperti apakah kita menerima pujian, kalau memang kita nggak dianjurkan-dianjurkan amat untuk mengelak?

Menurut penelitian, orang-orang yang sulit menerima pujian ternyata adalah mereka-mereka yang memandang rendah diri sendiri. Alih-alih ikut mengapresiasi diri, orang-orang ini—mungkin termasuk kita semua—justru bertanya-tanya apakah si pemuji tadi berkata jujur dan apakah pujian itu pantas diberikan. Pokoknya, bukannya senyum dan bilang “Makasih”, orang-orang ini justru harus bergulat dengan insecurities. Nggak seru!

Padahal, kalau dipikir-pikir, menerima pujian bukanlah hal yang membuatmu berdosa. Daripada mengutuki diri sendiri dan malah menolak mentah-mentah pujian tadi, kenapa kamu nggak coba bilang “Makasih”, tanpa harus ditambah embel-embel “tapi kamu lebih cantik, aku mah nggak ada apa-apanya” atau “tapi jangan puji aku, lah”?

Maksud saya, kalau dulu pernah ada orang yang dengan kurang ajarnya menginjak-injak rasa percaya dirimu, bukankah itu tidak berarti orang-orang yang ada di sekelilingmu sekarang bakal melakukan hal yang sama?

Terakhir diperbarui pada 16 Maret 2019 oleh

Tags: catcallingjangan puji akumenanggapi pujianrendah dirisopan santun
Aprilia Kumala

Aprilia Kumala

Penulis lepas. Pemain tebak-tebakan. Tinggal di Cilegon, jiwa Banyumasan.

Artikel Terkait

Ironi Gedangan Sidoarjo yang bikin orang Surabaya resah. MOJOK.CO
Ragam

Ironi Gedangan Sidoarjo: Jalan yang Tak Ramah bagi Perempuan karena Perilaku “Bejat” Warganya

21 Juli 2025
curhatan driver ojol perempuan
Podium

Curahan Hati Driver Ojol Perempuan: Rentan Pelecehan, tapi Kalau Nggak Ngebid, Nggak Makan!

8 Maret 2023
Masalah Tempat Duduk di Kopi Klotok Jogja
Esai

Masalah Tempat Duduk di Kopi Klotok Jogja

9 November 2021
ilustrasi 3 Cara Perempuan Berjalan Melewati Segerombolan Laki-laki yang Mungkin Melakukan Catcalling mojok.co
Pojokan

3 Cara Perempuan Berjalan Melewati Segerombolan Laki-laki yang Mungkin Melakukan Catcalling

14 Agustus 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.