Jalanan Jogja yang kian padat membuat saya menghindari titik-titik tertentu. Salah satu titik yang paling “red flag” adalah perlintasan kereta api Lempuyangan Jogja yang berada di bawah flyover. Apabila tidak benar-benar terpaksa, sebisa mungkin saya jauh-jauh dari kawasan itu. Terutama saat jam-jam berangkat/pulang kantor, akhir pekan, dan libur panjang.
Ada beberapa alasan yang membuat saya menghindari titik tersebut. Tentu saja, salah satunya adalah kemacetan yang bisa mengular dan pengendara yang nggak sabaran. Namun, ada kalanya saya cuma bisa bersabar melintasi titik itu karena beberapa tempat favorit saja ada di sekitar sana.
#1 Jalanan yang padat
Mereka yang tinggal di Jogja pasti tidak asing dengan perlintasan kereta api Lempuyangan Jogja. Perlintasan kereta api yang berada di bawah flyover itu menjadi batas antara Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo di sisi utara dan Jalan Doktor Sutomo di sisi selatan yang cukup padat. Dua jalan itu jadi akses ke Jalan Argolubang atau kawasan Baciro, Stasiun Lempuyangan Jogja, dan tidak jauh dari beberapa sekolah dan universitas.
Bayangkan betapa padatnya jalan ini sehari-hari. Itu belum ditambah dengan keruwetan di sisi utara flyover yang kadang membuat jalanan semakin menyebalkan. Saya beri sedikit gambaran, ujung utara flyover yang berada di Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo bertemu dengan 2 pertigaan dan satu perempatan yang terpaut jarak tidak begitu jauh. Simpul-simpul jalan ini kadang jadi kemacetan yang sulit terurai ketika jalan sedang padat-padatnya.
Itu mengapa, menurut saya, perlintasan kereta api Lempuyangan di bawah flyover jauh lebih menyebalkan dibanding perlintasan kereta api di sisi barat Stasiun Lempuyangan atau Jalur Perlintasan Langsung (JPL) 52 Tukangan. JPL 52 memang menjengkelkan, persis seperti yang pernah dibahas salah satu tulisan Terminal Mojok. Namun, tingkat menyebalkannya masih kalah dibanding perlintasan kereta api Lempuyangan di bawah flyover.
#2 Banyak orang nonton kereta di perlintasan kereta api Lempuyangan Jogja
Di tengah jalanan yang padat itu, perlintasan kereta api Lempuyangan masih harus dihiasi dengan keramaian di sekitar palang kereta api. Bagi yang belum tahu, di sekitar palang itu banyak orang melihat kereta api lewat. Mereka yang datang biasanya orang tua dan anak. Selain berbahaya, keberadaan mereka bikin tambah macet karena parkirnya sembarangan dan jadi banyak penjual jajanan kaki lima. Perlintasan kereta api Lempuyangan tambah semakin ruwet.
Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka yang berwisata di pintu kereta api. Kemunculannya hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang lebih besar: ketiadaan ruang publik yang memadai. Akhirnya, ruang-ruang yang mudah dan murah diakses seperti jembatan hingga palang kereta api jadi pilihan. Namun, sulit juga dimungkiri, perlintasan kereta api yang menjadi objek hiburan seperti ini tetap saja mengganggu jalan yang sudah padat.
#3 Berupaya menghindari jalan tersebut, tapi tempat-tempat penting ada di sekitar sana
Sebagai orang Jogja yang cukup hafal jalan pintas, sebisa mungkin saya menghindari perlintasan kereta api Lempuyangan. Apalagi ketika akhir pekan atau musim liburan. Duh, mending memilih jalan memutar. Sebab kemacetannya tidak hanya di sekitar perlintasan kereta api, tapi merambah ke jalan lain.
Hanya saja, ada saatnya mau tidak mau saya lewat sana. Misal, saat pulang dari Stasiun Lempuyangan Jogja, jalan depan stasiun yang satu arah mau tidak mau membuat saya berakhir di Jalan Doktor Sutomo. Lainnya, saat saya mau kulineran di sekitar sana.
Asal tahu saja, di sekitar perlintasan kereta api ada banyak kuliner menggoda. Tepatnya di sepanjang Jalan Argolubang. Di sana ada bakso dan soto favorit saya, bakso iso dan soto Pak Bendol. Ada juga rumah makan padang Duta Andalas. Dan, baru-baru ini saya mencatat ada satu tempat yang mesti dikunjungi warung lotek dan gado-gado Teteg yang sudah ada sejak 60-an. Kadang saya kesal kenapa tempat-tempat enak itu harus berada di kawasan yang paling saya hindari. Kan jadi tidak bisa sering-sering ke sana.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Toko Kaset Popeye hingga Djendelo Koffie, 5 Tempat di Jogja yang Saya Harap Buka Kembali.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.












