#3 Pemilu 2009, suara anjlok drastis
Apa yang dikhawatirkan pada Pemilu 2004 akhirnya terjadi lima tahun berselang. Kalahnya capres Golkar di putaran pertama serta naiknya pamor Partai Demokrat karena terpilihnya SBY sebagai presiden, bikin suara partai beringin itu anjlok di Pemilu 2009.
Pada pemilu legislatif, mereka harus rela kehilangan 22 kursi dari pemilu sebelumnya. Pada 2009, Golkar hanya mampu meraih 14,45 persen (106 kursi), kalah dari Partai Demokrat yang keluar sebagai pemenang dengan raihan 20,85 persen suara (148 kursi).
Penelitian Hanta Yuda berjudul “Faktor Penyebab Penurunan Perolehan Suara Partai Golkar di Pemilu 2009” menyebut, ada empat faktor umum yang bikin Golkar gatot di pemilu kali ini.
Pertama, karena ada kegagalan dalam mengelola faksional internal. Kedua, problem kaderisasi dan penyimpangan dalam rekrutmen anggota. Ketiga, kepemimpinan yang kurang kuat. Dan keempat, yang paling terlihat, adalah hilangnya identitas atau ideologi partai.
#4 Pemilu 2014, kursi makin terkikis, friksi pun makin sering
Pemilu 2014 jadi saksi betapa merosotnya pamor Golkar dan rapuhnya situasi internal partai. Pada pemilu edisi ini, Golkar kembali kehilangan kursi mereka di parlemen.
Partai yang saat itu diketuai Aburizal Bakrie hanya mampu meraih 14,79 persen suara atau setara 91 kursi. Turun 15 kursi dari pemilu sebelumnya.
Namun, yang bikin heboh lagi adalah terjadinya dualisme partai. Setelah pemilu, sang ketum Aburizal Bakrie ingin membawa Golkar berada di luar pemerintahan alias oposisi. Sayangnya dari kubu berbeda, yang dimotori Agung Laksono, berharap Golkar berada di dalam pemerintahan dengan mendukung presiden terpilih, Joko Widodo.
Karena sama-sama keras dan punya power, kedua kubu pun menggelar munas dan menghasilkan dualisme kepengurusan. Setelah dualisme terjadi lebih kurang dua tahun, musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) akhirnya berhasil menyelesaikan dualisme ini.
Hasil munaslub yang digelar 2016 ini menetapkan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Sayangnya, setahun berselang, ia dicopot dari jabatannya karena tersandung kasus korupsi e-KTP.
#5 Pemilu 2019, pengikisan tingkat akhir
Kondisi amburadul yang dialami Golkar sepanjang 2014-2019, bikin mereka sedikit oleng dalam menatap Pemilu 2019.
Pada gelaran ini pun, suara mereka kembali terkikis. Golkar meraih 12,31 persen suara atau setara 85 kursi—turun enam kursi dari pemilu sebelumnya.
Imbas lain pun, perolehan suara Golkar ini masih belum “lulus” presidential threshold 20 persen, yang jadi prasyarat untuk mengajukan kadernya sebagai capres. Padahal, Munas Golkar 2019 memutuskan bahwa ketum Golkar setidaknya harus menjadi capres/cawapres di Pemilu 2024 mendatang.
Sayangnya, Airlangga yang menjabat sebagai ketum, tak cukup kompeten untuk mem-branding dirinya sebagai capres maupun menaikan elektabilitas partai secara umum.
Airlangga sendiri, kini mendapat olok-olok “Capres 4.0”, karena elektabilitasnya mentok di angka 4 persen. Sementara Golkar, sejak 2019 hingga 2023 terus alami penurunan elektabilitas. Mulai dari 8,9 persen (Oktober 2019) menjadi 7,3 persen (Mei 2023).
Hal ini diperparah dengan pemberitaan baru-baru ini, di mana sang ketum sedang didera dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah, hingga desakan bikin poros baru pilpres dan isu “kudeta” atas dirinya.
Jadi, bakal seperti apa kiprah Golkar di Pemilu 2024 nanti? Menarik untuk ditunggu.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Golkar Sering Banget ‘Kudeta’ Ketum, Kira-kira Apa ya Penyebabnya?
Cek berita dan artikel lainnya di Google News