MOJOK.CO – Dan inilah kesimpulan akhirnya: Viar New Karya 200L adalah motor ciamik yang cocok untuk mengangkut apa pun asal bukan pemudik.
Sudah dua Lebaran berlalu tanpa mudik; anak bungsu saya lahir menjelang Lebaran 2019, sedangkan virus corona membatalkan perjalanan sepanjang tahun lalu. Memang benar bahwa saya masih bisa bermaaf-maafan lewat panggilan video, tetapi kita tahu bahwa ada hal-hal tertentu dalam silaturahmi yang tak bisa digantikan teknologi.
Keputusan saya sudah bulat: saya harus mudik tahun ini. Virus corona masih beterbangan di mana-mana, dan pemerintah menyiagakan aparat di sepanjang perbatasan—saya sadar betul kalau acara mudik kali ini akan sedikit runyam. Namun, dadu sudah telanjur saya lemparkan.
Setelah memastikan bahwa kami sekeluarga tak terjangkit virus. Saya mulai berburu tiket untuk mendapati kalau tak ada transportasi umum darat yang beroperasi. Kereta api hanya mengangkut barang, bus-bus terparkir di pool, dan jasa travel menutup tirai kantornya. Memang masih ada mobil sewaan, tetapi harganya kelewat mahal dengan risiko yang tak sepadan.
Di antara tumpukan kardus dan tas jinjing, saya menangis karena mengira bahwa tahun ini akan berlalu kembali tanpa saya sempat bersimpuh di kaki orang tua. Namun, Mas Bojo menepuk bahu dan mengelus rambut saya sambil berkata, “Adinda, kita bisa naik motor.”
Saya menatapnya seolah dia berkata kalau ingin menjadi presiden Venezuela. Kami sudah sepakat bahwa Suzuki Titan kami tak layak dijadikan opsi. Kami berempat, dengan segala macam barang bawaan; suatu keajaiban bila kami bisa sampai ke kampung halaman dengan selamat. Tidak, naik motor adalah tindakan yang terlalu nekat.
“Bukan motor yang itu, Adinda,” sambung Mas Bojo lagi, masih mengelus rambut saya, “melainkan motor yang di sana,” pungkasnya sambil menuding pintu depan. Saya tak mengerti dengan maksud perkataannya, dan dia tak menjelaskan apa pun selain tersenyum dan pergi.
Satu jam kemudian Mas Bojo kembali. Dia tersenyum, manis sekali, sambil menyerahkan kunci motor dengan logo yang tak saya kenali. Ketika saya bertanya mengenai motor macam apa yang punya kunci model begini, dia kembali tersenyum, tetap manis sekali, sebelum membimbing saya ke teras rumah.
Motor yang terparkir di sana seketika menyadarkan saya bahwa perjalanan mudik kami nanti akan dipenuhi keruwetan. Motor beroda tiga tersebut adalah Viar New Karya 200L.
Mas Bojo meminjamnya dari sahabatnya yang berkarier di bidang sumber daya dan energi. Sahabatnya itu, yang enggan namanya disebut di sini, menutup kios elpiji dan air isi ulang miliknya selama Lebaran sehingga memperbolehkan asetnya kami pinjam; lagipula, dia punya dua motor sejenis.
Motor tersebut baru empat bulan diboyong dari dealer. Saya berselancar untuk mencari informasi mengenai Viar New Karya 200L dan mendapati banyak hal menarik tentangnya. Huruf “L” di situ, contohnya, adalah singkatan dari “Long” alias versi lebih panjang dari Viar New Karya 200.
Panjang keseluruhan motor ini mencapai 3,5 meter, cuma berselisih semeter dari duo LCGC Ayla-Sigra. Ukuran baknya yang mencapai 2 meter tampak terlalu remeh untuk sekadar memboyong saya sekeluarga. Dan yang paling menarik, ia punya gigi mundur yang akan berbunyi ketika diaktifkan, mirip bunyi sirene truk atret.
Ringkasnya, Viar New Karya 200L adalah motor gigantis yang akan membuat pemudik nekat mana pun merasa amat optimis.
Kami sepakat untuk berangkat H-1 sesudah sahur. Pemilihan waktu tersebut bukan tanpa pertimbangan: saya percaya bahwa aparat kepolisian adalah sosok profesional yang kredibel dan berintegritas, tetapi polisi paling rajin sekalipun tak akan berjaga di waktu subuh.
Segala persiapan telah selesai. Barang bawaan telah dimasukkan ke bak dan masih ada cukup ruang untuk saya dan kedua anak saya duduk dengan nyaman. Oleh pemiliknya, alas bak motor roda tiga ini dilapis-ulang dengan plat bordes, dan saya melapisinya lagi dengan terpal dan tikar busa.
“Kalian sudah siap?” Tanya Mas Bojo sambil menarik-tutup ritsleting jaketnya. Saya mengangguk, dan dia pun menyalakan mesin motornya. Raungan mesin Viar New Karya 200L 200cc itu mengingatkan saya pada suara merdu mesin penggiling gabah, dan dengan satu sentakan kami memulai perjalanan.
Tujuan kami adalah Jombang. Dan dari Cepu, ada 100 kilometer probabilitas yang menanti kami untuk dipastikan.
Posko cegatan pertama terletak di muka jembatan Bengawan Solo yang menyekat Jawa Tengah dengan Jawa Timur, hanya empat lemparan batu dari rumah saya. Di sinilah horor bermula; terdapat pasukan gabungan yang terdiri atas polisi, tentara, satpol PP, petugas kesehatan, dan bocah pramuka yang mengecek pemudik sebelum memerintahkannya berputar balik. Untungnya, tak ada siapa pun di situ saat kami melintas.
Kami menyusuri jalur lurus nan membosankan yang menghubungkan Cepu dengan Bojonegoro, dan di sinilah saya sadar bahwa Viar New Karya 200L, dan semua motor beroda tiga lainnya, tak didesain untuk mengangkut manusia.
Mesin dan gardannya beradu gaduh, dan peredam kejut belakangnya seolah hanya berupa besi cor. Shockbreaker model daun memang mujarab untuk mengangkut beban masif, tetapi bobot kami berempat plus barang bawaan tak sampai seperlima dari kapasitas beban maksimal motor ini. Hasilnya, saya dan anak-anak terpental-pental meskipun jalan yang kami lalui relatif rata.
Apa pun alasannya, motor roda tiga memang tak boleh mengangkut penumpang—kamilah yang keliru karena terlalu memaksakan diri.
Pos cegatan kedua terletak di jalan masuk Bojonegoro. Pos tersebut dihiasi lampu kelap-kelip yang masih menyala meskipun sudah pukul lima pagi. Terdapat tiga orang polisi yang berjaga di situ, tetapi mereka terlalu disibukkan dengan kopi dan kretek sehingga tak menggubris Viar New Karya 200L yang kami kendarai.
Kerunyaman yang berbeda menanti kami di jalur Bojonegoro-Nganjuk via Temayang. Jalur tersebut didominasi lansekap hutan di lereng bukit, membuat kontur jalannya berkelok dan naik-turun dengan curam. Jika ajang balap Isle of Man TT mesti digelar di Indonesia, jalur hutan Temayang sepatutnya dicantumkan ke daftar calon jalur teratas.
Meskipun jalurnya amat menggoda untuk diajak bersenang-senang, Mas Bojo tetap menggeber Viar New Karya 200L dengan santun. Ini disebabkan oleh dua hal: Mas Bojo memang tak suka kebut-kebutan, dan motor yang ditungganginya memang tak bisa diajak ngebut.
Meskipun torsinya sanggup menghela beban setengah ton tanpa kesulitan, tenaga puncak motor ini tak cukup impresif untuk sekadar dicantumkan di brosur.
Jalur yang berliku menunjukkan kelemahan lain dari motor niaga roda tiga: limbung. Viar New Karya 200L bukan Yamaha Tricity yang dilengkapi peredam kejut adaptif; sensasi kapal dihantam ombak sudah terasa sejak motor berbelok pada kecepatan 30 kph. Saya dan anak-anak terpental dari satu sisi ke sisi lain, dan sungguh keajaiban karena kami tak sampai mabuk darat.
Kami tiba di tujuan pukul 7 pagi. Saya tak sempat mengecek riasan, tetapi saya kira muka saya amat menyedihkan sampai-sampai Ibu mengelus lengan saya dengan mimik simpatik yang tak dibuat-buat. Si Sulung tampak seperti bocah pengungsi dari Timur Tengah, sementara Mas Bojo sekumal kuli panggul di pasar pagi.
Sekalipun tak menyenangkan, kami berhasil melalui 100 kilometer kerunyaman bersama Viar. Ini bukan perjalanan yang mudah dan saya benar-benar tak merekomendasikan kepada siapa pun untuk menirunya, tetapi Viar telah membuktikan bahwa pabrikan lokal bisa membangun motor niaga yang bagus: daya angkutnya mengesankan, durabilitasnya terjamin, dan konsumsi BBM-nya cukup irit. Untuk menempuh perjalanan sejauh itu, ia hanya butuh tiga liter bensin.
Dan inilah kesimpulan akhirnya: Viar New Karya 200L adalah motor ciamik yang cocok untuk mengangkut apa pun asal bukan pemudik.
BACA JUGA Kelebihan Sepeda Motor Suzuki yang Membunuh Bengkel Resminya Sendiri dan kisah seru bersama kendaraan lainnya di rubrik OTOMOJOK.