MOJOK.CO – Saya takut kehadiran NYIA, bisa bikin Yogya versi pedesaan berubah jadi Yogya versi perkotaan. Terutama soal fashion yang nggak bisa lagi “bodo amat”.
Ada satu hal yang begitu saya sukai sebagai orang desa daripada kota. Masalah fashion! Saat pertama kali kuliah di daerah perkotaan, saya mengalami sebuah gegar budaya (Masyaallah istilahnya!) gara-gara perkara fashion ini. Bisa dibilang, zaman-zaman berkuliah adalah zaman di mana saya mulai dituntut harus modis.
Tapi dasar saya memang males ngurusin dandanan, akhirnya saya berakhir sebagai mahasiswa berpenampilan minimalis ke mana-mana. Ke kampus cuma kemeja dan jeans. Ke kondangan pun tak ada bedanya. Dress? Semacam makhluk apa ya makhluk bernama dress itu?
Tapi biar pun secara umum cuek, ada kalanya saya juga merasa tertekan. Yah, gimana dong? Teman-teman saya kebanyakan kinclong sedangkan saya redup bak black hole. Makanya, momen di mana saya balik kampung adalah momen yang membebaskan.
Biasanya, saat pulang ke rumah, saya diberi tugas khusus sebagai ojek alias tukang antar jemput ibu ke pasar. Beda saat hangout di tempat tongkrongan warga kota. Saat hangout di pasar ini, saya merasakan sebuah kebebasan hakiki.
Sebabnya, penduduk desa tempat saya tinggal juga punya kecuekan luar biasa soal gaya berpakaian seperti saya. Ada ibu-ibu pakai baju kembang-kembang, rok polkadot, dan kerudung garis-garis dicampur jadi satu. Sehingga, tampilannya terlihat lebih ramai dari pasar yang dikunjunginya. Ada mbak-mbak pakai hijab tapi lengan bajunya pendek dengan warna nggak ada nyambung-nyambungnya sama sekali.
Dan yang paling cetar adalah… bapak-bapak yang tampilannya tampaknya normal-normal saja. Namun ketika berbalik, ealah ternyata celananya bolong! Terlihatlah sebagian area pantat si bapak yang coklat nan eksotik itu. Saat mampir ke warung makan, tak jarang juga hadir para petani yang nyeker (tak beralas kaki sama sekali). Semua bodo amat dan nggak ada yang memandang hal ini dengan aneh.
Untuk terlihat modis di desa saya, gampang sekali resepnya. Cukup pakai baju yang warnanya tidak nabrak dan polanya cocok saja, sudah bisa terlihat modis, kok. Tak perlulah bicara merek dan model yang sedang trendy. Oh ya, tentu saja jangan lupa pakai sandal dan tak berlubang, ya. Itu sudah masuk dalam kategori modis. Bagaimana, sederhana dan mudah, bukan?
Nah, kebebasan dalam berpakaian seperti yang saya sebut di atas, adalah hal yang membuat saya jauh lebih suka hidup di desa daripada di kota. Apalagi kalau udah ngomong fashion, mau nggak mau pasti berbanding lurus dengan duit. Mahal euy biaya biar bisa kelihatan modis. Belum lagi kalau ditambah perawatan plus harga makeup. Tahu sendiri kan, UMR Yogya (tempat saya tinggal) itu salah satu yang terkecil di Indonesia? Eh.
Tapi belakangan ini, rasa tenang saya setelah sekian lama tiba-tiba berubah menjadi rasa was-was. Apalagi setelah membaca NYIA benar-benar mulai beroperasi beberapa hari yang lalu dengan salah satu maskapai telah mendarat perdana di sana. NYIA yang lokasinya di Temon Kulonprogo Yogyakarta itu membuat saya khawatir kalau kotaisasi akan makin masif di Yogya.
Selama ini, tinggal di bagian selatan Yogyakarta, saya sebetulnya selalu merasa “jauh” dari Yogyakarta versi kota (baca: beberapa area Sleman dan kota madya Yogyakarta). Meski kata orang, Sleman dan kota Yogya jauh lebih kaya dan modern dengan mall besar, minimarket modern, sampai berbagai bioskopnya. Tapi, saya tetep nggak pengin tuh, tempat saya hidup berubah jadi kayak kedua wilayah itu. Biarlah privilese disebut sebagai orang kota dinikmati warga kota dan Sleman saja.
Eits, meski begitu bukan berarti saya anti kemajuan. Kalau boleh jujur, alasan saya anti kotaisasi adalah karena saya tidak percaya bahwa kita siap mengelola sebuah kota. Membangun sih barangkali tak susah-susah amat, ya. Lha, tapi mengelola? Jangan salah, di balik kemegahan perumahan, minimarket, mall, dan lain sebagainya, datang juga berbagai masalah. Misalnya saja soal kemacetan dan problem sosial lainnya.
Meng-kotaisasi desa artinya juga mengubah budaya masyarakat pertanian dengan budaya kaum urban. Kesantaian masyarakat desa, tidak terlalu terobsesinya mereka dengan agama seperti kaum urban, dan sejenisnya akan menguap seiring profesi petani tersingkir. Ini juga termasuk ketika kita bicara soal gaya hidup seperti gaya berpakaian yang membuat orang seperti saya bakal merana.
Makanya sebelum membangun kota, kita perlu berpikir matang soal tata kelolanya dan antisipasinya. Toh, sudah ada contoh macet, budaya yang cenderung tidak sehat, dan hal lainnya ketika sebuah kota dibangun. Kok ya, kita terus saja mengubah wajah desa yang teduh menjadi kota? Apalagi dengan keuntungan yang tak seberapa, karena sering yang menikmati profit di kota hanya segelintir orang saja.
Oleh karena itulah, setelah beberapa hari ini membaca berita soal bandara baru di Kulonprogo yang dikenal dengan NYIA dan udah resmi beroperasi itu. Mau tak mau saya takut arus kotaisasi akan terjadi semakin cepat dan intens. Memang sih, NYIA tidak terletak di daerah tempat saya tinggal. Tapi kan, tetap saja saya takut.
Mengendarai motor di daerah saya saja rasanya sudah sering miris. Perumahan dibangun di mana-mana. Sawah mulai habis. Minimarket dimonopoli. Banyak lah. Saya kok sangat optimis (optimis tapi sedih) area NYIA dan jalan di sekitarnya yang dulunya hijau itu akan berubah menjadi perumahan, hotel, dan sejenisnya.
Mungkin, keluhan dan kekhawatiran saya ini terlalu sepele. Apalagi dibanding dengan berbagai isu lainnya yang besar-besar itu. Mungkin juga malah tak pantas disebut “isu relevan” ketika saya bicara banyak soal kebebasan fashion. Buktinya, ketika bicara soal NYIA, kebanyakan orang yang saya temui senang-senang saja.
“Yogya bakal punya bandara baru, lho!” Kebanyakan orang yang saya temui sih sangat gembira menyambut beroperasinya NYIA si bandara baru ini. Sementara itu, di sudut ruangan ini, saya hanya bisa menunjukkan sad react layaknya anak emo. Lantaran khawatir dengan kotaisasi yang makin menerkam Yogyakarta dari segala penjuru.