MOJOK.CO – Penting kiranya keterwakilan kelompok LGBT di media massa. Terutama ketika penikmat media itu mayoritas kaum hetero kayak kamu.
Pada suatu ketika, saya menerima curhatan seorang kawan. Ia bekerja di media yang progresif.
Ia bilang kalau beberapa kali medianya menerima naskah atau komentar yang ditulis oleh kaum hetero dan ditujukan kepada orang-orang LGBT, salah satunya tentang bagaimana kelompok LGBT seharusnya berpakaian.
“Tulisan begitu masih politically corret nggak, ya?” tanya kawan saya itu. Kebetulan ia straight, seorang hetero.
Tentu saja, siapa pun boleh melontarkan kritik. Seandainya pun saya perlu lebih dulu mengutamakan respons yang bijak.
Mereka yang tidak merasa menjadi bagian dari kelompok LGBT, ya, boleh-boleh saja berpendapat tentang LGBT. Kita sebaiknya memang membuka ruang dialog itu, sehingga ada pertukaran pemahaman di antara keduanya.
Di sini, kita perlu ingat bahwa “LGBT” itu bukan sekadar kategori orientasi seksual, melainkan pula politik identitas dan bagian dari gerakan sosial. Maka, saya tidak hendak nyinyir terhadap mereka yang straight sebab mungkin maksudnya juga tidak selalu hendak menghakimi atau meyudutkan, bahkan bisa saja sebetulnya baik.
Tetapi, terkadang niat baik itu juga bisa bias. Kita perlu merenungkan soal baik untuk siapa dengan mengingat bahwa kelompok LGBT adalah minoritas politik. Realitasnya, kelompok LGBT masih menghadapi stigma, diskriminasi, kekerasan, bahkan ancaman persekusi dan kriminalisasi di negeri ini.
Jadi, buat saya, untuk tetap menaruh hormat pada sisi progresif kawan saya yang straight dan media tempatnya bekerja, saya mau mengajak kita membahas keterwakilan kelompok LGBT di ruang publik, termasuk media.
Ada berapa banyak orang LGBT yang kerja di media? Mungkin tak sedikit, meski lain perkara lagi untuk spesifik melontarkan gugatan soal berapa banyak waria/transpuan maupun transpria yang bekerja di media atau menjadi jurnalis.
Tapi, apakah mereka yang bekerja di media itu pun merasa penting (dengan jaminan rasa aman dan nyaman) untuk mengutarakan bahwa mereka adalah bagian dari LGBT? Lantas, apakah media mau mendorong keterwakilan seandainya mereka menegaskan politik identitas?
Saya bilang padanya kalau itu soal bagaimana ia (dan medianya) mau memberi afirmasi. Yang saya maksud, bukan hanya memberi ruang, tetapi juga mendorong agar secara seimbang pandangan tentang LGBT, sepatutnya pula direspons oleh orang-orang LGBT.
Katanya, memang begitu yang terpikir dan sedang dibahas olehnya dan medianya. (Dan jika benar-benar kelak betul terjadi, itu sesuatu yang luar biasa untuk diapresiasi.)
Tapi, tunggu dulu, pembahasan kita belum selesai. (Sebab, artikel ini pun perlu dibuat agak lebih panjang lagi, toh!) dan itu menggiring kita pada pembahasan soal “ally”.
Nah, kata “ally” ini tidak saya terjemahkan karena tentu bukan diartikan sebagai sekadar “sekutu”. Pada konteks yang saya maksud, ally mengacu pada straight ally atau hetero ally atau cisgender ally, yaitu mereka yang heteroseksual dan cisgender (soal apa itu cisgender, sebaiknya silakan dicari tahu sendiri, ya) yang mendukung perjuangan LGBT.
Kita perlu membahas ally, sebab mungkin ini topik yang tak sering kita perbincangkan. Dan pastinya, untuk pula kita tak lekas nyinyir jika ada kawan atau siapa pun yang mengutarakan dukungan terhadap hak LGBT—tapi kurang banyak bergaul dengan LGBT—lantas “terpeleset” dengan lontaran ucapan atau sikapnya sendiri yang sesungguhnya mewakili kenaifan atau keluguan soal LGBT. Pemakluman itu wajar untuk kita menggiringnya pada suatu dialog.
Sebab, dengan sedikit agak lucu (setidaknya, itu menurut saya pribadi), kawan saya itu mengusulkan obrolan tentang perlunya panduan bagi kaum hetero untuk berinteraksi dengan kaum LGBT.
Ia bilang alasannya agar correct dan nggak kagok ketika yang straight berhadapan dengan orang-orang maupun isu LGBT.
Saya sebetulnya sedikit menahan geli untuk tak tertawa. Bagi saya, itu terdengar seperti ia dan mungkin mewakili kaum hetero seperti dirinya sedang melihat orang-orang LGBT sebagai spesies makhluk yang berbeda.
Tentu, saya tak bilang begitu padanya karena saya melihat ia sesungguhnya punya niat yang baik dan kepedulian pada kelompok LGBT. Dan itulah yang saya maksudkan dengan lontaran yang lugu. Wajar saja, toh, sebetulnya kami sedang berdialog sebagai sesama karib.
Dan mengenai itu, kemudian membawa kami pada bahasan tentang peristiwa sejarah gerakan LGBT di dunia akhir tahun 1960-an di Indonesia, mungkin sekitar tahun 1980-an, dengan adanya transisi dari sebutan “homoseksual” menjadi “gay” atau “LGBT” secara luas (juga belakangan “queer”) sebagai payung bagi keragaman kelompok minoritas gender dan seksual.
Konsep “homoseksual” sendiri dimunculkan psikiater straight abad ke-19 untuk memilah kategori manusia secara seksual yang kemudian memandang “homoseksual” itu sakit atau tidak normal (padahal, keragaman seksualitas manusia adalah hal yang alamiah).
Penyebutan “homoseksual” menjadi “gay,” (perlu diingat bahwa dulu yang disebut “gay” itu tidak hanya mengacu pada lelaki yang menyukai lelaki atau gay male, melainkan pula untuk perempuan yang menyukai perempuan atau gay female dan juga kelompok transgender) menegaskan bahwa gay atau LGBT adalah gaya hidup (life-style) dan politik identitas, termasuk sejarah dan perjuangan untuk mengontekstualisasikan LGBT sebagai gerakan sosial.
Pada akhirnya, kami seperti bersepakat bahwa yang namanya “panduan menghadapi orang-orang LGBT” itu tidak perlu, sebab kelompok LGBT itu bukan spesies yang perlu dikhawatirkan, ditakuti, apalagi ditaklukkan. Tak boleh ada pembedaan, juga stigma dan diskriminasi, apalagi kekerasan terhadap kelompok LGBT sebagai manusia.
Tetapi, adalah pula tugas kita bersama untuk bisa mengedukasi masyarakat mengenai pemahaman terhadap keragaman seksualitas yang mencakup orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender, dan karakteristik seks atau biasa disingkat SOGIESC, termasuk hak LGBT sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM).
Dan kembali lagi pada obrolan saya dan kawan saya itu, di mana kami menyadari bahwa sebetulnya yang perlu diubah itu adalah serangkaian norma/nilai, termasuk yang heteronormatif dan patriarki.
Bagaimana kemudian kita sama-sama membasmi yang namanya homofobia, bifobia, dan transfobia serta mendukung situasi yang ramah terhadap LGBT—yang inklusif untuk segala keberagaman, termasuk keberagaman seksualitas.
Lalu, kembali lagi kepada soal bagaimana seharusnya straight bersikap terhadap kelompok LGBT. Tentu selain menaruh empati terkait dengan LGBT sebagai minoritas, ya, sepatutnya biasa saja selayaknya manusia yang pada dasarnya punya keragaman identitas: suku, ras, agama, budaya, dan lain-lain.
Orang-orang LGBT pun punya identitas lain—selayaknya setiap manusia tidak hidup hanya dengan satu identitas—misalnya gay yang muslim, lesbian yang Jawa, waria yang berasal dari Masyarakat Adat, atau transpria yang Tionghoa.
Sesederhana, jika tak tahu harus memanggil seorang individu LGBT dengan sebutan “pak” atau “bu,” sebaiknya ditanyakan kepada yang bersangkutan. Dan hormatilah jika seseorang itu kemudian meminta untuk dipanggil “mbak” meski kau seolah tak melihat ada benjolan payudara di dadanya.
Dan untuk menyambungnya pada kelompok ally LGBT, mari kita diskusikan bagaimana sepatutnya seseorang itu menjadi ally. Itu bisa dimulai dari ia untuk mau belajar memahami tentang keragaman seksualitas. Dan kepedulian terhadap kelompok LGBT sebagai minoritas, juga harus ditunjukkan pada ucapan dan sikap.
Seorang ally bisa saja mengalami tekanan atau penindasan karena melontarkan dukungan terhadap kelompok LGBT. Ia bisa dituduh sebagai bagian dari LGBT meski seorang hetero atau turut diperlakukan secara tidak baik untuk menyamakannya dengan kelompok LGBT itu sendiri: yang menyimpang, sakit, tidak normal, atau calon penghuni neraka.
Begitu pula dengan para orang tua straight yang telah menerima dan merangkul anak-anak mereka yang LGBT, bisa menghadapi berbagai tantangan serupa. Sehingga, ally pun membutuhkan dukungan, termasuk dari kelompok LGBT sendiri untuk bisa saling menguatkan.
Namun, hal lain yang juga penting, adalah ally perlu memahami keistimewaan yang dimiliki atau privilege-nya sebagai straight. Dalam konteks kawan saya yang straight berprofesi sebagai pekerja media, perlu menyadari bahwa suara orang-orang LGBT itu belum banyak digaungkan—untuk menyebut bahwa “jurnalisme berperspektif LGBT” itu belum dianggap penting oleh banyak media.
Bahkan, banyak media yang justru kian menyudutkan. Sehingga, menghadirkan suara-suara LGBT untuk bisa didengar, merupakan suatu cara yang perlu dipikirkan.
Jadi, saya ingin bilang kepada kawan saya yang jurnalis itu lewat tulisan ini kalau ia punya kesempatan membuka peluang tersebut dan medianya perlu mengambil peran agar mewujudkan itu untuk kita sama-sama “bersekutu” demi kemanusiaan.
BACA JUGA Enam Argumentasi Sia-Sia seputar Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau Bisakah Seorang Muslim Bersahabat dengan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender?