MOJOK.CO – Emak dan tetangga-tetangga saya tak pernah dirisaukan oleh acara tipi apa pun, kecuali satu: MasterChef Indonesia.
Seharusnya RCTI menayangkan sinetron kesayangan Emak ketika saya melabur punggungnya dengan param kocok malam itu.
Alih-alih, di layar tipi kami mendapati belasan orang berdiri menghadap kompor dengan muka setegang relawan caleg di hari pencoblosan. Mereka merajang dan mengaduk dalam diam, sementara musik latar menyenandungkan irama perang.
Emak bangkit untuk duduk ketika satu per satu peserta berjalan ke meja juri. Wajah mereka menunjukkan kepanikan yang tertahan, seperti suami siaga yang tengah menunggui istrinya bersalin.
Ketiga juri bermuka angker mencicipi makanan mereka dan berkomentar macam-macam, tetapi peserta nomor sekian, seorang lelaki berwajah akuntan, menciptakan nerakanya sendiri.
“Kami capek!” sembur Chef Juna, juri MasterChef Indonesia yang paling jarang tersenyum ramah, kepada peserta malang tersebut.
Tak jelas betul apa yang membuatnya capek, tetapi dia lebih memilih untuk membanting piring ketimbang membuat penjelasan. Beling berserakan di lantai, dan musik latar melantunkan lagu horor.
Di titik itulah Emak mematikan tipi, merutuki acara tersebut, lalu beringsut ke kamarnya.
Emak boleh dibilang kuper karena baru mengetahui acara MasterChef Indonesia di musimnya yang ke-8. Seperti lumrahnya petani di pedalaman Jombang, urusan Emak hanya meliputi merawat sawah, meramaikan masjid, dan mengurusi keluarga.
Nonton tipi adalah kemewahan yang beliau dapatkan pada waktu senggangnya yang sempit, dan satu-satunya acara yang Emak tonton adalah sinetron.
Tapi Emak tak pernah dirisaukan oleh acara tipi apa pun sebelumnya. Baru beberapa hari kemudian beliau bercerita mengenai pengalaman traumatis tersebut. Inti curhatnya adalah sebagai berikut: Emak tak bisa menerima pelecehan terhadap makanan.
Mungkin Anda akan menyebut Emak sebagai orang tua kolot karena bersikap demikian. Namun, begitu pula sikap sebagian besar tetangga saya; mereka tak pernah suka MasterChef Indonesia dengan pelbagai alasan yang berkaitan dengan penghormatan terhadap makanan.
Hal ini tentu berhubungan dengan profesi Emak dan tetangga-tetangga saya. Bagaimanapun, mereka adalah petani, orang yang paling tahu tentang betapa beratnya tugas menumbuhkan setangkai padi.
Sepanjang tahun, petani tak hanya berjibaku dengan cuaca dan segala hama, melainkan juga dengan tengkulak nakal dan lintah darat.
Maka ketika sepiring nasi disajikan, Emak tak bisa melihat nasi dengan kaca mata konsumen. Nasi adalah hasil kerja maha keras yang dilakukannya sepanjang musim, yang membuat punggungnya akrab dengan koyo cabe dan param kocok.
Nasi bukan hanya sumber pangan; ia adalah simbol pengetahuan tak berputus sejak era manusia belum mengenal aksara.
Kalau dipikir-pikir, nasi sama seperti mur-baut: ia sangat berguna, sangat mudah ditemui, sampai-sampai manusia lupa bahwa ia mula-mula perlu diciptakan.
Paradigma semacam itulah yang menciptakan beragam tabu mengenai makanan pada masyarakat petani. Saya, contohnya, dilarang mencampakkan makanan ke tanah, dilarang makan sambil menangis, dilarang menggerutui makanan, dan dilarang memasak saat malam hari.
Tabu ala petani itu tentu tidak cocok bila dihadapkan pada masyarakat urban-industrialis. Bagi masyarakat jenis tersebut, nasi dan makanan apa pun adalah komoditas belaka.
Seorang buruh pabrik di Tangerang boleh jadi akan membungkus kembali makanannya dan membuangnya ke tong sampah ketika ia mendapati nasinya kurang pulen, sama seperti Chef Juna yang membanting piring berisi makanan ketika ia merasa capek.
Baru ketika saya merantau ke Surabaya saya memasak pukul sebelas malam. Dan di Surabaya pula saya tahu tujuan keberadaan kue ulang tahun adalah untuk dilempar ke muka si empunya—di situ saya agak bersyukur bahwa manusia merayakan ulang tahun dengan kue dan bukannya granat.
MasterChef Indonesia tentu saja acara yang bagus. Ia rajin memuncaki rating televisi. Kehadirannya membuat kita tahu bahwa makanan bukan sekadar pengganjal perut; ia adalah seni adiluhung yang tersaji di atas piring.
Chef adalah seniman yang ditatar dengan semangat militan di dapur, yang tugasnya menghadirkan segala estetika yang bisa dinikmati selama beberapa detik sebelum makanan meluncur ke kerongkongan.
Dan semua orang tahu bahwa MasterChef Indonesia adalah reality show yang pelik. Tak seperti Indonesian Idol atau Indonesia Mencari Bakat, penonton tak bisa menikmati secara langsung hasil kerja para kontestan.
Tak ada kurir yang mengirimi saya Chicken Cordon Bleu hasil olahan kontestan mana pun, dan Anda tak bisa mengendus aroma masakan Chef Renatta sekalipun hidung Anda telah menempel di layar tipi.
Ketiadaan persinggungan dengan penonton di rumah itu coba ditutupi dengan menyisipkan drama, dan formula ini berhasil. Setelah gagal merajang lombok, kontestan duduk menghadap kamera dan menangis saat menceritakan pengalamannya.
Saat mendapati ada yang tak beres pada hidangan kontestan, para juri akan mengeluarkan tabiat yang membikin Kim Jong-un bangga. Ketika salah satu kontestan tereliminasi, kontestan lain akan merubungnya dan menangis bersama, sesedih pemakaman kerabat.
Drama adalah produk utama MasterChef Indonesia, dan tak ada yang salah dengan itu. Namun, berhubung rating MasterChef Indonesia musim ke-8 ini tak sebagus musim-musim sebelumnya, ada baiknya bila tim kreatif MasterChef Indonesia memikirkan strategi dramatis lain.
MasterChef Indonesia sudah dikenal baik oleh masyarakat perkotaan, dan menyasar masyarakat pedesaan adalah strategi yang tampaknya perlu dipertimbangkan.
Menurut survei BPS, ada lebih banyak orang yang tinggal di desa ketimbang kota, dan bila MasterChef Indonesia mampu menggaet seperempat saja penduduk desa, maka acara ini bakal menggeser sinetron Ikatan Cinta yang mulai membosankan.
Syuting di pematang sawah mungkin bisa dilakukan di episode selanjutnya, begitu pula dengan memasak hidangan khas pedesaan berjuluk steamed vegetable with spicy peanut butter sauce, comes with rice (baca: nasi pecel).
Apa pun strateginya, pertama-tama MasterChef Indonesia mesti berkompromi dengan paradigma masyarakat pedesaan.
Selesai syuting episode depan, sang produser sebaiknya duduk semeja dengan ketiga juri dan memohon dengan amat sangat agar ketiganya berhenti menggerutui dan membanting hidangan apa pun. Bersikap tak hormat pada makanan, bagaimanapun, adalah pelecehan yang tak bisa diterima orang desa.
Satu lagi: Chef Juna.
Saya pernah mendapatinya tersenyum penuh di video TikTok, dan senyumnya itu membuatnya setampan Mas Bojo di masa jaya.
Saya menyukai senyumnya, jujur saja, dan ada baiknya kalau dia lebih sering tersenyum di MasterChef Indonesia. Tatonya sudah seseram beringin kuburan—dia tak butuh muka cemberut untuk membuat citranya lebih seram.
Ah, satu lagi: kurangi porsi membentak kontestan.
Saya tahu, sih, itu cuma drama, tetapi baru tempo hari anak saya, Si Sulung, mencomot tempe sambil berkacak pinggang dan berseru, “Ibu, rasanya ini kurang manis, seperti sampah! Ibu bisa masak nggak, sih?”
BACA JUGA Bukan Chef Renata Bukan Chef Juna, Ini 3 Alasan Chef Arnold Poernomo Adalah Nyawanya MasterChef atau tulisan Mita Idhatul Khumaidah lainnya.