Pak Jenderal (Purn) Wiranto yang berdiri di baris depan pembekuan HTI dan mengumumkan Perppu Ormas, tapi mengapa Maiyah Cak Nun dan NU yang mendapatkan porsi dituding ini dan itu di media sosial? Bahkan gara-gara perppu ini, nenek moyang Cak Nun dan pendiri NU yang pernah berbagi tanah diungkit-ungkit lagi.
Padahal, jelas-jelas ada Pak Wiranto yang berdiri di saf depan itu—bukan samarannya. Koran-koran menaruh fotonya sedang membacakan surat pendek ‘genting’ itu adalah sosok asli.
Menaruh NU di gelanggang isu Perppu Ormas bukan saja tidak elok bagi kaum nahdliyin, tapi juga melupakan bahwa ada pemain besar yang diam-diam melipir dan tak tersentuh sama sekali. Siapa lagi kalau bukan Pak Wiranto. Siapa lagi kalau bukan tentara-tentara pedagang yang tak punya riwayat cemerlang berlaga di medan perang sesungguhnya.
Saya tak mengerti bagaimana ceritanya Presiden Yang Mulia Bapak Jokowi ujug-ujug punya teman main bernama Bapak Wiranto. Para aktivis (kiri) yang masih menyimpan harapan besar penegakan HAM di Indonesia kepada Bapak Jokowi pasti sama herannya, siapa yang memilihkan Bapak Wiranto sebagai teman main Jokowi.
Tentu Anda tahu, terutama yang pernah kuliah di pendidikan keguruan, berlaku teori besar bahwa seseorang anak itu bersih sampai lingkungan (main) mempengaruhinya sedemikian rupa. Menurut teori tabularasa yang dicetuskan John Locke itu, lingkunganlah yang mempengaruhi seseorang menjadi begini dan begitu.
Seseorang menjadi begitu menyebalkan ketika teman hariannya menyebalkan. Awalnya mungkin dia hanya tukang kayu yang ‘rendah hati’. Tiba-tiba ia menjadi tukang gebuk karena teman sepermainannya bukan hanya senang main kayu, tapi rekam jejak masa silamnya ringan tangan ngasih komando menarik pelatuk senjata otomatis kepada lawan-lawan politik yang disebut ‘pengkhianat’.
Pak Jokowi awalnya kelihatan asyik-asyik saja dan nggak suka ribut-ribut, sampai ia punya teman main bernama Pak Wir. Jabatannya mentereng pula: Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Menkopolhukham).
Saat Pak Jokowi satu lingkaran bermain dengan Pak Wiranto, main ‘tegas-tegasan’ menjadi sesuatu yang lumrah; yang tak terbayangkan para pendukungnya ketika Pak Jokowi masih berlari-lari kecil sambil tersenyum pada Rabu 5 Juli 2014 di panggung kampanye terakhir yang dibikin para musisi dan budayawan di Gelora Bung Karno.
Siapakah sesungguhnya Pak Wiranto ini?
Tentu saja ia bukan berasal lingkar ideologi Bu Mega, ataupun keluarga marhaenisma yang agung. Salah satu foto legendaris yang disumbang Pak Wiranto buat NKRI adalah ketika ia memberikan punggungnya menjadi ‘meja’ buat Soeharto menuliskan sebuah nota. Ya, ia adalah pelayan Sang Jenderal Besar yang loyal!
“Saya bukan sosok yang mengambil kesempatan kudeta walau kesempatan di tahun 1998 itu ada,” begitu beliau mengulang-ngulang pernyataan kala ditanyakan masa lalunya yang ‘mengharu-biru’ di tahun 1998 yang ribut.
Pak Wiranto pun bertahan, dan tetap menjadi elite politik di usianya yang sudah senja, bukan karena mewarisi hewan-hewan yang jago menyamar seperti tokek dan katak untuk mempertahankan hidup dari serangan predator bernama waktu.
Saya berpikir Pak Wiranto betul-betul sudah habis karier politiknya ketika pada 15 Februari 2000 jabatannya sebagai, Allahu Akbar, Menkopolhukam, dibeslah oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Sepanjang satu bulan sebelum ‘Hari Penghabisan’ itu, wajah dan berita Pak Jenderal Wiranto menguasai halaman depan koran. Posisinya sebagai Menkopolhukam, KPP HAM yang mengulik pelanggaran HAM berat Timor Timur, dan perseteruan dengan Presiden Abdurrahman Wahid adalah tiga hal yang saling bertumbukan menjadikannya newsmaker nomor satu dengan aura negatif yang warbyasa kelamnya.
Di lingkaran internal TNI, ia berseteru hebat dengan serdadu reformis bermasa depan cemerlang macam Agus Wirahadikumah. Di ranah hukum, ia menjadi subjek tertuduh melakukan pelanggaran HAM berat di Timtim. Gosip yang juga berseliweran adalah ia salah satu founding father yang melahirkan Front Pembela Islam.
Saat perseteruannya dengan Presiden Gus Dur makin ke sini makin panas, Pak Menkopolhukam merapat terus ke Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Ke mana Wapres melakukan kunjungan, di situlah Pak Menkopolhukam mendekat. Bu Mega ke Maluku, Pak Menkopolhukam yang gelisah itu nempel ke Maluku pula; alih-alih ke Aceh menemani Pak Presiden. Bisa jadi, persahabatan Bu Mega dengan Pak Menkopolhukam ini terbangun setahap demi setahap di situasi genting ini. Entahlah.
Hingga hari pencabutan mandat itu makin dekat. Presiden Gus Dur sangat tegas berkata: “Harus Mundur. Jika tak mau, posisinya (Wiranto) dibekukan.” Eh, ada Ketua MPR Pak Amien Rais membela dikit-dikit Pak Menkopolhukam dan mencela kebijakan Gus Dur itu sebagai keputusan yang tergesa-gesa. Tapi, Gus Dur bergeming.
“Biar pengadilan Wiranto fair,” kata Gus Dur. Maksudnya, pengadilan HAM.
Dan Anda tahu, Pak Wiranto tak pernah maju ke pengadilan yang disebut Gus Dur itu. Justru Gus Dur yang terjungkal dari kursi presiden setahun setelah mencopot Pak Wiranto secara dramatis. Muncul kepercayaan Pak Wiranto lelaki linuwih yang membawa kesaktian di garis tangannya.
Kini Pak Wiranto tiba-tiba menjadi teman main Pak Jokowi di Istana Merdeka. Berteman dengan Pak Wiranto—juga tentu saja para jenderal ‘tempur’ berdarah dingin lainnya seperti Ryamizad Ryacudu dan Hendropriyono—menjadikan Pak Jokowi tampak ‘menjadi tegas sekali’. Berani main ‘ambil’ sejumlah nama yang tak ‘ramah’ dengannya. Sejak berteman dengan para jenderal dengan masa silam yang dekat dengan isu yang ‘begituan’, Pak Jokowi terlihat makin mahir. Sejak berteman dengan Pak Wiranto, Pak Jokowi seperti kehilangan kesabarannya seperti saat menangani pedagang asongan yang ‘bandel’ di Solo yang tak mau dipindahkan dan menjadikan namanya membesar dan terus membesar.
Pak Wiranto tentu berhitung, jalannya menyamar menjadi Presiden RI yang ke sekian barangkali sudah tertutup. Namun, melatih sedikit demi sedikit Pak Jokowi untuk menjadi presiden yang mahir menggebuk lawan politik sudah lebih dari cukup. Menjadi mentor bagi presiden terkini dan esok, toh bukan kerja rendahan.
Demikianlah kenyataannya; Pak Wiranto yang mengumumkan perppu, sementara NU—juga Maiyah Cak Nun—yang diributkan, adalah pertanda betapa linuwihnya Pak Wiranto ini dalam politik-politik yang beginian dan betapa pandirnya ‘kita’. Ia cerdik, walau tak sejenius Jenderal Besar Pak Harto.
Tinggal satu lagi langkah yang perlu dilakukannya, yakni menjawab tudingan Agus Wirahadikusumah yang wafat pada 30 Agustus 2001 atau 37 hari setelah Gus Dur dilengserkan kekuatan yang digalang Amien Rais dkk.
Saat ontran-ontran awal tahun 2000 itu, si jenderal reformis yang pendek umur itu menuding, tak ada yang dilakukan Wiranto untuk memperbaiki TNI ketika menjabat Panglima Angkatan Bersenjata.
Saat kita lihat tentara aktif mulai terang-terangan cawe-cawe mengurusi dunia tani yang tak ada dalam gugus tugas utama mereka, saya perlahan meyakini tudingan perwira muda Agus mulai dijawab dengan tindakan konkret.
Angkat topi untuk generasi emas Pak Wiranto dkk di hadapan generasi milenial yang luar biasa melek teknologi informasi tetapi (maaf) kadang naif dalam politik konkret.