MOJOK.CO – Dua keluarga legendaris itu disatukan oleh barisan pocong dan pesugihan tuyul. Karma buruk, konon, sedang dalam perjalanan.
Kita sama-sama tahu, pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan. Separuh pernikahan bertujuan untuk menyatukan dua keluarga. Baik dan buruknya, harus diterima dan dihidupi. Termasuk warisan pesugihan dan barisan pocong yang sudah lama “dirawat” kedua keluarga tersebut.
Dua keluarga ini, sebut saja keluarga Mino dan Prawiro, sudah dikenal sejak lama sebagai keluarga dengan “hobi aneh”. Keluarga Mino dikenal karena buyut mereka. Seorang kakek tua yang sangat telaten ketika merawat tuyul. Sementara itu, keluarga Prawiro, jago pengobatan.
Pengobatan di sini punya dua makna. Pertama, memang jago mengobati penyakit-penyakit yang tidak terdeteksi dunia kedokteran. Kedua, jago mengirim penyakit yang sama untuk ditargetkan ke orang lain. Konon, sesepuh kampung menyebut barisan pocong sebagai “pembawa pesan” dari keluarga Prawiro.
Intinya, warga kampung sebetulnya tahu keanehan kedua keluarga ini. Yah, bisa dibilang, beberapa warga kampung pernah menggunakan jasa keluarga tersebut. Oleh sebab itu, hampir tidak ada resistensi dari warga kampung. Apalagi, kedua keluarga tersebut tidak pernah jahil kepada warga kampung dan tidak pelit untuk membiayai acara kampung.
Tapi, itu dulu, ketika buyut-buyut keluarga Mino dan Prawiro masing sugeng (sehat jiwa dan raga). Ketika generasi baru menerusakan ciri khas keluarga masing-masing, perubahan terjadi. Konon, ego dan rasa tidak puas manusia yang menjadi latar belakang.
Beberapa tahun yang lalu, sudah mulai banyak muncul laporan warga yang kehilangan uang. Jumlahnya tidak seberapa setiap kehilangan terjadi. Masalahnya, kejadian itu sering terjadi. Jika di hari Sabtu kehilangan Rp20 ribu, di Minggu naik jadi Rp50 ribu. Senin-nya, kembali ke Rp20 ribu.
Selain itu, beberapa kali muncul barisan pocong masuk ke rumah warga. Celakanya, saksi mata kejadian itu ada banyak. Barisan pocong itu masuk dan menebarkan penyakit ke rumah yang dituju. Biasanya, barisan berbahaya itu dikirim dengan alasan persaingan politik lokal.
Jangan salah, di desa-desa, penggunaan ilmu hitam di tengah kontestasi politik adalah pemandangan biasa. Bakal calon sowan ke orang pintar. Ada yang bertapa di tepi pantai. Ada yang ke rumah keluarga Prawiro untuk minta “semacam bekal”.
Generasi muda kelurga Mino dan Prawiro seperti “melebarkan pasar” mereka. Perangkat desa sempat protes baik-baik. Intinya, warga tidak mempermasalahkan (atau tidak berdaya lebih tepatnya), asal jangan merepotkan warga kampung sendiri. Kedua keluarga tersebut menurut dengan protes perangkat desa. Terutama setelah buyut kedua keluarga ikut bicara.
Setelah beberapa saat kehidupan kampung menjadi lebih tenang, sebuah kabar mengagetkan datang. Keluarga Mino dan Prawiro hendak mengadakan hajatan. Anak perempuan keluarga Mino dinikahkan dengan anak laki-laki keluarga Prawiro. Tolong dicatat bagian “anak” di sini.
Kedua keluarga ini menggelar “pernikahan” sebagai sebuah simbol menyatukan dua keluarga. Anak perempuan dari keluarga Mino masih berusia 11 tahun, sementara anak laki-laki keluarga Prawiro berusia 13 tahun. Mereka duduk di pelaminan tak kasatmata, dinikahkan dengan berbagai simbol. Konon, barisan pocong mengawal pernikahan jadi-jadian itu.
Ikatan ini, konon, membuat kekuatan kedua keluarga semakin besar. Salah satu wujudnya adalah kekayaan. Basis kekayaan “yang bersih” kedua keluarga ini sebetulnya sama, yaitu beberapa petak sawah. Kini, keduanya menguasai beberapa sumber kekayaan yang ada di kampung.
Gambarannya seperti ini:
Rumah baru kedua keluarga ini sekarang bersebelahan. Di sebelah utara, dibangun, awalnya, lima ruko tingkat dua. Disewa oleh beberapa pendatang untuk menjadi usaha londri, mini market, warung makan, usaha pakaian, dan apotek. Kini, sudah ada delapan ruko.
Di sebelah selatan, sudah dibangun green house dengan modal awal Rp100 juta. Sebelah barat, dekat lapangan desa, muncul lapak-lapak kuliner di mana 80 persennya milik kedua keluarga tersebut. Sebelah timur, muncul usaha material dan penampungan pasir dari sungai besar yang menjadi perbatasan dua kabupaten.
Rumah utama kedua keluarga yang berdampingan juga dijadikan tempat usaha, yaitu loundri dan bengkel. Rumah kedua keluarga ini sangat sederhana. Tidak mencerminkan keluarga kaya. Tamu untuk konsultasi “dunia gelap” juga makin lancar.
Yah, seperti cerita-cerita pesugihan pada umumnya, apa yang “dipetik” dari dunia gelap, akan diminta lagi dengan nilai yang lebih besar. Kita mengenalnya dengan istilah tumbal.
Satu hal yang penduduk kampung ketahui, soal tumbal pocong, memang sudah diperkirakan oleh kedua keluarga tersebut. Tumbal yang pada akhirnya diketahui warga adalah para buyut keluarga tersebut.
Sebelum pandemi, masih ada empat buyut yang masing sugeng, meski usia mereka sudah di atas 90 tahun. Masih aktif ke sawah untuk mengontrol pekerjaan para buruh dan sesekali mengobrol dengan warga. Satu tahun setelah pandemi, keempat buyut tersebut meninggal dunia secara bersamaan.
Secara resmi, keempat buyut tersebut diberitakan meninggal karena Covid-19. Namun, semua warga kampung tahu bahwa meninggalnya keempat buyut tersebut tidak wajar. Salah satu buyut dari keluarga Prawiro sempat mengeluh ke perangkat desa. Intinya, dia tidak nyaman dengan perkembangan situasi di keluarganya. Namun, di sisi lain, dia ingin keluarganya makin sejahtera. Mungkin itulah wujud cinta seorang buyut kepada cucu-cucunya.
Di suatu sore, menjelang maghrib, buyut satu ini ditemukan warga meninggal di kebunnya sendiri. Tiga orang yang menjadi saksi melihat barisan pocong menunggui jenazah sang buyut. Mereka seperti membuat pagar betis. Oleh sebab itu, tiga warga yang menjadi saksi mata tidak berani mendekat. Mereka berlari ke surau dan melaporkannya kepada perangkat desa.
Selepas pukul 20.00 malam, jenazah sang buyut baru bisa dievakuasi. Dua matanya menghilang. Lubang yang seharusnya berisi bola mata benar-benar kosong. Tidak ada bercak darah di sekitar jenazah. Ketika warga mengunjungi rumah kedua keluarga, warga baru menyadari bahwa tiga buyut lainnya juga sudah meninggal.
Kondisinya sama, bola mata keempat buyut tersebut hilang. Salah satu buyut dari keluarga Prawiro tidak bisa dipocong. Setelah dimandikan, tali kain kafan bagian atas selalu terlepas. Bahkan ketika tali pocong tersebut diikat dengan simpul mati. Tali pocong tersebut selalu lepas entah bagaimana caranya.
Ketika tali pocong bagian kepala diikat, bagian kaki terlepas. Begitu juga sebaliknya. Pemuka agama yang diminta tolong menghantarkan doa akhirnya menyerang. Dia mendorong keluarga untuk mendoakan. Namun, tidak ada yang berani karena “sejarah” menghalangi mereka.
Beberapa warga yang ikut memandikan melaporkan kalau tali pocong jenazah sang buyut tidak ditali sampai dikebumikan. Sementara itu, tiga jenazah lainnya bisa diproses secara normal. Cuma, sampai waktu dikebumikan, aroma khas bayi membayangi. Konon, ketiganya diikuti barisan tuyul peliharaan.
Satu hal yang terasa sangat ganjil adalah proses pemakaman keempat buyut tersebut. Kalau memang meninggal karena Covid-19, bukanlah jenazah harus dimakamkan dengan prosedur pandemi? Padahal, keempat buyut tersebut dikebumikan dengan cara biasa. Sebuah pertanyaan yang mengganjal dan berakhir menjadi pergunjingan saja.
Meninggalnya empat buyut itu seperti menjadi trigger kekayaan bagi kedua keluarga tersebut. Yang sebelumnya sudah kaya, menjadi lebih kaya lagi.
Perangkat dan warga desa tidak lagi berani protes. Barisan pocong yang makin sering terlihat tidak lagi bisa diprotes. Entah bagaimana dengan tuyul peliharaan yang tidak lagi terdengar kisahnya.
Banyak warga yang cuma bisa menguatkan diri untuk menunggu. Satu hal yang disepakati secara diam-diam adalah karma akan datang di waktu yang tepat. Apalagi ketika salah satu anggota keluarga tiba-tiba sakit keras dan menghilang. Tidak ada yang tahu atau mau cari tahu. Kini, semuanya dalam mode menunggu….
BACA JUGA Pocong Melayang, Ritual Menyembah Setan, dan Harga Mahal yang Harus Dibayar dan kisah gelap lainnya di rubrik MALAM JUMAT.