MOJOK.CO – Usai kejadian di Samarantu, kami berusaha mencari tahu tentang Kinanti. Sesuatu yang tak terjelaskan oleh nalar kembali terulang.
Gunung Slamet: Mengantarmu Pulang Ke Samarantu (Bagian 1)
Gunung Slamet: Mengantarmu Pulang Ke Samarantu (Bagian 2)
Gunung Slamet: Mengantarmu Pulang Ke Samarantu (Bagian 3)
Sejarah rumah kos
Aku dan Teguh berteman sejak menjadi tetangga di sebuah perumahan di utara Kota Purwokerto. Bahkan menurut ibuku, aku sebenarnya masih ada hubungan saudara jauh dengan dia. Tapi sudahlah, itu tidak penting juga buat kalian kan? Aku pindah ke perumahan ini sejak 1983, saat itu usiaku sekitar 10 tahun, Teguh pun demikian. Kami tumbuh hingga dewasa di kompleks perumahan ini. Sampai kemudian dia menikah dan pindah ke Solo pada 1999.
Di salah satu sudut perumahan tinggal seorang ibu yang kurang lebih seusia dengan ibuku. Ibu Rahmi, namanya. Sebenarnya, lokasi rumahnya bukan di kompleks perumahan, tapi karena proses pelebaran area, akhirnya rumahnya seperti masuk ke kompleks perumahan.
Beliau sudah tinggal di rumah peninggalan orang tuanya itu jauh sebelum kompleks perumahan didirikan. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Bu Rahmi menempati rumah itu bersama ketiga saudara kandungnya, salah satunya adalah ayah Kinanti.
Dalam perjalanannya kemudian, setelah semua saudaranya menikah, tinggallah Bu Rahmi dan suaminya di rumah itu. Mereka dikaruniai empat orang anak, semuanya laki-laki dan salah satu di antaranya adalah Pak Drajat.
Pak Drajat tinggal di rumah itu hingga dewasa, bahkan setelah menikah. Hingga tidak berapa lama kemudian dia bisa membeli rumah sendiri tidak jauh letaknya dari rumah orang tuanya.
Sepeninggal suaminya, untuk menambah penghasilan, Bu Rahmi berinisiatif untuk membuat kos-kosan. Maka dibangunlah tiga kamar di halaman yang bersebelahan dengan rumah induk.
Setelah akhirnya semua anaknya menikah, tinggallah Bu Rahmi sendiri. Lalu seluruh kamar di dalam rumah induk pun dijadkan kos khusus perempuan. Kebetulan lokasinya memang tidak jauh dari sebuah kampus di Purwokerto.
Awal kedatangan Kinanti
Menurut cerita Pak Drajat, ibunya memang mendambakan anak perempuan. Namun, hingga keempat anaknya lahir, semuanya laki-laki. Maka, ketika adiknya mengabarkan akan menitipkan anaknya yang perempuan, Bu Rahmi senang sekali. Keponakannya itu diperlakukan istimewa oleh Bu Rahmi.
Kinanti, nama keponakan Bu Rahmi, saudara sepupu Pak Drajat, diboyong ke Purwokerto oleh ayahnya ketika memasuki masa SMA. Tidak seperti kebanyakan anak dari kota besar yang cepat bosan tinggal di kota kecil, Kinanti justru sangat menikmati kehidupannya di Purwokerto. Tidak butuh waktu lama baginya untuk bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Dan hanya dalam hitungan hari dia sudah memiliki banyak teman.
KInanti melanjutkan kuliah di Purwokerto. Selama kuliah itu, ia aktif dalam kegiatan pecinta alam dan bergabung ke beberapa organisasi kampus maupun luar kampus. Kegemaran ini di dapat sejak masih tinggal di Bandung. Beberapa kali Kinanti pergi mendaki ke Gunung Gede dan Pangrango. Mungkin hobinya ini yang membuat ia betah hidup di Purwokerto, kota kecil yang jauh dari kebisingan metropolitan.
Agar tidak mengganggu budenya karena banyaknya teman yang datang, Kinanti minta izin untuk bisa menempati salah satu kamar di paviliun yang baru dibangun Bu Rahmi. Kamar itulah yang beberapa tahun kemudian ditempati oleh Mila.
Bertamu ke rumah Pak Drajat
Selepas Isya, beberapa hari setelah peristiwa di Gunung Slamet, aku, Teguh, Mila, dan Mas Beni sengaja datang berkunjung ke rumah Pak Drajat. Kami semua masih ingin tahu lebih jauh siapa sosok Kinanti sebenarnya. Karena kejadian sebelumnya benar-benar pengalaman pertama, dan sejujurnya kami tidak pernah percaya dengan yang namanya kerasukan atau kesurupan.
Pak Drajat agak sedikit terkejut menerima kedatangan kami berempat, mungkin mengira ada sesuatu terjadi lagi di rumah kos. Setelah dijelaskan lalu beliau mempersilakan kami masuk. Seperti biasa Pak Drajat menyalakan sebatang rokok.
“Kebetulan, saya juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di Samarantu. Kalian kan belum menceritakan apa yang terjadi di sana,” Pak Drajat membuka pembicaraan setelah meminta istrinya membuatkan minum.
Aku, Teguh, dan Mas Beni lalu bergantian menceritakan semua kejadian yang menimpa kami sepanjang perjalanan. Hanya Mila yang tidak bicara, dia sendiri malah bingung kenapa kejadian itu bisa menimpanya. Dia menambahkan, dalam keadaan normal mungkin tidak akan sanggup berjalan malam-malam sampai ke Samarantu.
Setelah terjadi keributan beberapa waktu lalu, tempat kos Mila jadi lebih sepi dari biasanya. Beberapa anak kos yang lain pulang kampung karena bertepatan dengan libur kuliah. Mila sendiri akhirnya pindah kamar setelah mendapat cerita dari teman-temannya tentang kejadian hari itu.
Konon, kata Mila, beberapa hari sebelum peristiwa itu kamarnya memang terasa lebih dingin dari biasanya dan sering tercium aroma wewangian. Anehnya ketika teman-temannya tidak merasakan hal serupa. Mereka justru mengira Mila sedang sakit.
“Puguh hareudang…,” kata Sisi dan Anya saat itu, hampir bersamaan. Mereka malah merasa gerah.
Beda lagi yang dirasakan Pak Sudi, petugas ronda malam yang biasa dimintai tolong Pak Drajat membersihkan kebun di rumah kos. Katanya, beberapa malam lalu ketika mengambil jimpitan, bulu kuduknya sering meremang.
“Seperti ada yang sedang mengawasi saya, tapi setelah dikontrol tidak ada siapa-siapa,” katanya.
Kematian tidak wajar
Tak berselang lama setelah istrinya menyuguhkan minuman, Pak Drajat mulai bercerita.
“Percaya atau tidak, antara ibu saya, ayah Kinanti, dan Kinanti sendiri memiliki weton yang sama, juga dengan hari meninggal mereka,” kata Pak Drajat sambil mengepulkan asap.
Weton adalah hari lahir menurut kalender Jawa. Biasanya dipakai untuk menentukan hari pernikahan dan hajat besar lainnya. Termasuk memilih calon jodoh.
“Saya sebenarnya tidak ingin mengaitkan hal itu karena bagaimanapun takdir itu otoritas Tuhan. Masalahnya, ketiganya juga meninggal dengan cara yang bagi saya tidak wajar. Kecelakaan, bagi saya, itu bukan kematian wajar.”
“Iya ya, Eyang meninggalnya karena terpeleset di kamar mandi dan langsung dinyatakan meninggal oleh dokter,” kata Mila.
“Kalau ayahnya Kinanti meninggal kenapa, Pak?”
Pak Drajat menghela napas dalam saat Mas Beni menanyakan itu. Semua tegang menunggu jawaban dari Pak Drajat. Ada kekhawatiran jika menyinggung perasaan beliau juga.
“Maaf, Pak, kalau Pak Drajat tidak berkenan untuk bercerita juga tidak apa-apa,” lanjut Mas Beni yang tampak tidak enak dengan pertanyaan yang baru saja dia lontarkan.
“Nggak apa-apa, Ben, lagian ini sudah lama sekali berlalu,” kata Pak Drajat.
“Om Heri, ayah Kinanti, meninggal karena dibunuh. Belakangan diketahui otak pembunuhannya adalah mantan istrinya. Ibu tiri Kinanti. Ibu kandungnya meninggal saat Kinanti masih berusia 5 tahun.”
“Menurut cerita Om Heri, istrinya ketahuan selingkuh dengan atasannya. Karena takut memberikan pengaruh buruk, akhirnya Om Heri membawa Kinanti ke Purwokerto. Kehidupan rumah tangga mereka semakin memburuk setelah kepergian Kinanti. Akhirnya mereka bercerai.”
“Mungkin istrinya sakit hati karena setelah diceraikan dia tidak mendapat harta, maka suatu malam dia menyewa orang untuk membunuh Om Heri dengan modus kecelakaan.”
“Peristiwa ini sangat membekas sampai menimbulkan dendam bagi Kinanti, karena dia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ayahnya.”
“Astaghfirullahaladzim…,” serempak kami menggelengkan kepala.
“Sekarang ibu tirinya Kinanti di mana, Pak?” tanya Mila.
“Tante Wulan, namanya. Sepertinya dia sudah bebas dari hukuman. Mungkin sekarang masih di Bandung. Sejak peristiwa kecelakaan itu, keluarga kami sudah tidak pernah lagi berhubungan dengan dia.”
Kami semua tertegun mendengar cerita Pak Drajat yang baru kali ini kami ketahui. Semuram itu nasib yang menimpa Kinanti. Suasana seketika menjadi hening hingga kemudian Pak Drajat melanjutkan ceritanya.
Firasat Eyang terbukti
“Sebenarnya saat mau mendaki bareng Herman itu, Eyang sudah melarang Kinanti.”
“Sebagai orang Jawa, beliau ngugemi sekali budaya dan adat Jawa. Beliau sempat bilang kepada saya, sesaat setelah Kinanti pergi dengan Herman, seperti sudah mempunyai firasat sesuatu bakal terjadi.”
Menurut penuturan Pak Drajat, hari saat Kinanti mendaki itu bertepatan dengan satu tahun meninggalnya Om Heri, ayahnya. Itulah mengapa Eyang melarang Kinanti naik gunung karena bertepatan dengan geblag ayahnya. Dan seperti kebanyakan anak muda, Kinanti tidak percaya begitu saja dengan hitungan-hitungan Jawa seperti itu.
“Kalau boleh tahu, wetonnya hari apa, Pak?” Mila bertanya, seperti ada kekhawatiran dalam dirinya.
“Sabtu Pahing,” jawab Pak Drajat sambil mengambil rokok ketiganya.
“Kayak saya…,” gumam Mila.
“Oh pantesan dia masuk lewat kamu. Tapi nggak masalah, kamu kan tidak ada pertalian darah. Tapi menurut kepercayaan Jawa, Sabtu Pahing memang hari pantangan buat pergi. Lagian kamu kan keturunan Sunda-Minang, bukan Jawa,” Pak Drajat tersenyum, mencoba menenangkan Mila yang terlihat khawatir.
“Yang saya penasaran sebenarnya kenapa keduanya seperti hilang ditelan bumi. Itu masih jadi teka-teki buat saya sampai hari ini,” Pak Drajat melanjutkan bicaranya.
Memang banyak spekulasi yang berkembang menyangkut kematian Herman dan Kinanti saat itu. Beda dengan kejadian yang menimpa Gagah dan Iqbal. Karena Alex, teman sependakian mereka yang selamat, bisa menceritakan kejadian yang mereka alami. Walaupun pada akhirnya Alex juga tidak mengetahui di mana keberadaan Iqbal dan Gagah hingga hari ini.
Mas Beni lalu bercerita tentang peristiwa yang menimpa Alex dan teman-temannya lima tahun setelah hilangnya Kinanti, kepada Pak Drajat. Kejadiannya hampir serupa dengan tragedi yang menimpa Kinanti dan Herman. Hilang di tengah kegelapan rimba Gunung Slamet dan tak seorang pun bisa menemukan jejaknya.
“Lalu apa kaitannya weton itu dengan peristiwa kemarin ya, Pak?” Teguh bertanya pada Pak Drajat.
“Saat geger di rumah kos itu saya spontan melihat ke kalender. Kalian kemarin pergi hari Sabtu Pahing, mungkin, saya sendiri tidak bisa memastikan.”
“Seperti halnya kepada Kinanti, saat itu sebenarnya Eyang sudah berusaha mencegah kepergian kalian dengan ‘cara’ beliau. Itulah makanya kalian merasakan perjalanan yang lama dan carrier yang kalian bawa terasa berat. Sayangnya kalian tidak menceritakan kejadian ini kepada Pak Bau. Kalau saja beliau tahu apa yang saat itu menimpa kalian, beliau pasti akan mencegah kalian naik.”
“Walaupun seorang Katolik yang taat, sebagai orang Jawa, saat hidupnya Eyang sering menjalani laku, seperti puasa weton. Firasat Eyang seperti terasah, beliau seperti mengetahui sesuatu yang akan terjadi.”
“Kata adik saya, malam saat Kinanti hilang, Eyang pergi ke guru spiritualnya di Purbalingga, adik saya yang mengantar beliau.”
“‘Wis ora iso, Mi, iki wis dadi pesthine anakmu Kinanti, sing ikhlas.’ Sudah tidak bisa, Mi, ini sudah jadi takdir anakmu Kinanti, ikhlaskan saja. Itu kata Pak Unggul, guru spiritual Eyang, saat beliau menemui Eyang setelah melakukan laku kungkum di sebuah sendang di belakang kediaman beliau,” lanjut Pak Drajat bercerita.
Menurut penuturan Pak Drajat, saat operasi SAR, Pak Unggul juga mendampingi sampai di Bambangan. Beliau kenal baik dengan Pak Bau selaku juru kunci Gunung Slamet di Bambangan. Konon saat itu mereka juga sempat melakukan ritual sebagai ikhtiar, walaupun Pak Unggul sudah punya firasat atas hilangnya Kinanti dan Herman.
“Tunggu… tunggu…! Maksud Pak Drajat, Pak Unggul yang rumahnya di Mrebet, Purbalingga?” Kali ini aku yang bertanya sedikit menyelidik. Aku sendiri agak berdebar ketika nama Pak Unggul disebut.
“Lho, kamu tahu, Wan?” kata Pak Drajat balik bertanya.
“Beliau paman saya, Pak. Adik dari Almarhum Bapak. Setiap tahun keluarga besar kami biasanya sowan ke kediaman beliau karena dalam keluarga sekarang, beliau yang paling sepuh.”
Pak Drajat manggut-manggut mendengar penjelasanku. Sepertinya, cerita tentang Kinanti ini akan semakin menarik karena semakin melibatkan banyak orang. Aku lihat wajah temanku yang lain juga tampak semakin penasaran.
Aku sendiri tidak habis pikir kenapa semuanya seperti tersambung begitu saja. Tapi, seingatku Om Unggul tidak pernah bercerita apa pun perihal Kinanti dan Bu Rahmi. Beliau menganggap itu adalah privasi orang yang wajib dijaga. Mungkin seperti itu.
Sayangnya malam sudah larut, kami segera mohon pamit karena takut mengganggu Pak Drajat yang besok harus bekerja. Tapi beliau berjanji akan melanjutkan cerita tentang Kinanti minggu depan. Kami semua sudah tidak sabar untuk menunggu.
Rumah kos Mila menyimpan rahasia masa lalu
Malam sabtu, Pak Drajat menelepon ke rumah Teguh. Beliau mempersilakan jika kami mau ngumpul lagi di rumahnya. Kali ini beliau menyediakan waktu khusus karena esoknya libur kantor. Setelah saling berkabar, kami lalu berangkat ke rumah beliau.
Tak lama setelah pintu diketuk, Pak Drajat keluar membukakan pintu pagar rumahnya. Kali ini kami memilih ngobrol di teras rumahnya yang luas, juga supaya tidak mengganggu keluarga Pak Drajat di dalam.
“Kemarin ceritanya sampai mana ya?” Pak Drajat memulai pembicaraan sambil menyalakan rokok seperti biasa.
“Pak Unggul, Pak. Tapi kembali ke cerita Kinanti saja,” kataku menjawab.
“Saya kok kepengin tahu juga tentang Herman, apa Pak Drajat juga banyak tahu tentang dia?” Mas Beni bertanya.
Pak Drajat lalu bercerita tentang sosok Herman. Sepertinya beliau tidak banyak tahu latar belakang Herman kecuali tempat dia bekerja dan latar belakang keluarganya. Kinanti tidak banyak cerita tentang tunangannya ini, ujar Pak Drajat.
Malam ini, selain Mila, Sisi dan Anya juga ikut ke rumah Pak Drajat. Mereka masih penasaran karena belum mendapat penjelasan yang gamblang tentang apa yang sebenarnya terjadi di kos malam itu.
“Pak, apa bisa dikatakan kalau rumah kos itu angker? Tapi selama dua tahun di sana saya tidak pernah merasakan keanehan, kecuali malam itu.”
Pak Drajat tidak kaget lagi dengan pertanyaan dari Sisi. Anak ini memang kritis dan paling vokal di antara teman kos yang lain.
“Rumah itu memang mempunyai energi negatif, tapi itu dulu, sebelum ditempati oleh keluarga kami. Dan saya rasa itu tidak ada hubungannya dengan kejadian yang lalu.”
“Dulu, kata Eyang, pada malam tertentu sering sekali tercium bau busuk di sekitar rumah. Kata beliau yang mengeluarkan bau busuk itu energi jahat dan sering kali mengganggu penghuni rumah.”
“Saat kejadian kemarin, saya mengira hanya karena kesamaan energi antara Eyang dengan Kinanti, tapi saya yakin itu adalah energi positif.”
“Kejadian pintu digedor-gedor di kos kemarin adalah energi yang dikeluarkan oleh Eyang. Pak Unggul yang mengatakan itu saat saya sowan ke rumahnya di Purbalingga.”
“Kenapa Eyang melakukan itu, Pak?” kali ini giliran Mila bertanya.
“Eyang tidak akan melakukan itu kalau ada di antara kita yang memiliki frekuensi yang sama dengan beliau. Beliau sudah mencoba mencegah kepergian kalian ke Samarantu tapi gagal, hingga akhirnya beliau sedikit meminta perhatian kita semua dengan cara itu.”
Hal-hal gaib memang sering tidak bisa dinalar
Kami semua tertegun mendengar penjelasan dari Pak Drajat yang bagi kami tidak masuk akal. Tapi dari semua rentetan kejadian itu memang bukan hanya harus dicerna dengan akal. Bahkan Mila sendiri mengakui jika dalam kondisi sadar mustahil dia bisa jalan sampai Samarantu.
“Lalu sebenarnya sejak kapan Kinanti meminjam badan Mila ya? Apa kamu juga merasa ada sesuatu yang aneh waktu itu, Mil?” Mas Beni bertanya.
“Aku kurang tahu persis, tapi waktu aku gambar foto Kinanti itu, rasanya memang seperti ada sesuatu yang lain, terutama malam sebelum pergi ke Gunung Slamet, kayaknya itu sih.”
“Berarti memang dari malam bisa jadi sudah masuk, soalnya pagi sejak berangkat sampai terakhir di Samarantu itu Mila sudah bener-benar berubah.”
“Yang aku heran itu kapan dia beli bunga untuk ditaburin di jurang coba?”
“Ya nggak tahu, aku juga nggak ingat apa-apa,” kata Mila.
Suasana rumah Pak Drajat malam itu mendadak ramai oleh kami yang masih saja terheran-heran dengan berbagai kejadian yang lewat. Tidak percaya dengan hal-hal mistis tapi tiba-tiba diperlihatkan di depan mata.
“Yang perlu kalian ketahui bahwa kita tidak hidup sendiri di alam dunia ini, ada entitas lain yang kasat mata atau tidak kasat mata. Ada energi positif, ada pula energi negatif.”
“Bukankah di kitab suci kita juga diwajibkan mengimani hal gaib? Tuhan dan malaikat kan juga gaib, ada tapi tidak ada. Dan kalau kita tidak percaya, gugurlah keimanan kita. Pendeknya jangan sampai rasionalitas kita mengesampingkan sisi irasionalitas.”
Malam ini kami benar-benar mendapat banyak pelajaran dari Pak Drajat. Tidak menyangka jika obrolan tentang Kinanti bisa sedalam ini.
“Saya juga dapat cerita menarik saat sowan ke rumah Pak Unggul,” Pak Drajat melanjutkan cerita soal Kinanti.
Jadi, menurut cerita Pak Unggul, saat itu secara tidak langsung beliau sempat mencegah kepergian Kinanti dan Herman. Caranya dengan membuat mogok kendaraan yang dipakai oleh keduanya. Hanya saja saat itu mereka sudah ada di Pratin karena Eyang terlambat datang ke rumah Pak Unggul.
Tapi ketika ditanyai Eyang tentang keberadaan jasad Kinanti dan Herman, beliau tidak bersedia menjawab. Mereka sudah tidak ada di wilayah kita, jadi mau dicari juga mustahil bisa ditemukan, begitu katanya.
Misteri yang belum terungkap
“Pak, kira-kira momen apa yang memicu peristiwa kemarin, kenapa setelah 14 tahun? Padahal sebelum itu tidak pernah terjadi peristiwa seperti yang dialami mereka bertiga,” tanya Mas Beni.
“Saya juga masih belum menemukan jawaban itu, Ben. Apakah ada pesan khusus yang mau disampaikan Kinanti atau apa, saya kurang tahu juga. Tapi memang jadi pertanyaan besar. Jujur, sebenarnya kami, saya, kakak, dan adik saya, juga cemas atas kejadian ini.”
“Sepertinya memang masih ada kelanjutannya, Pak,” tiba-tiba Anya yang sedari tadi diam mulai angkat bicara dan cukup mengagetkan semua yang ada di situ.
“Malam saat Pak Drajat dan Mas Beni menyusul mereka bertiga, kami dikejutkan dengan foto Kinanti yang tergantung di dinding ruang tengah, dan kami baru pernah melihat foto itu.”
Apa yang baru diucapkan Anya sontak membuat bulu kuduk kami kembali meremang. Sisi juga mengafirmasi ucapan Anya. Dia ingat betul kejadian ini dan Pak Drajat belum mengetahui. Suasana kembali tegang. Akan ada apa lagi setelah semua ini?
Keresahan tampak sekali menggelayuti wajah Pak Drajat setelah mendapat laporan dari Anya.
“Apa tidak sebaiknya disampaikan ke Pak Unggul, Pak? Barangkali beliau bisa membantu mengatasi,” kata Mas Beni.
“Saya juga baru berpikir seperti itu, tapi rasanya tidak enak karena sering merepotkan beliau.”
“Biar saya saja besok yang matur ke Pak Unggul, Pak. Kalau sekarang rasanya sudah terlalu malam kalau mau telepon.”
Aku tahu kalau malam Om Unggul biasanya menerima banyak tamu dari luar kota, apalagi saat libur seperti ini. Rumahnya memang terbuka 24 jam untuk menerima siapa saja yang berkunjung.
“Ya… ya… terima kasih, Wan. Saya baru ingat kalau kamu keponakan beliau.” Pak Drajat sedikit lega kali ini.
Dendam Kinanti
Telepon rumah Pak Drajat tiba-tiba saja berdering. Pak Drajat bergegas masuk rumah untuk menerima telepon. Ternyata Pak Sudi.
Kami yang duduk di teras menunggu dengan cemas dan bertanya-tanya. Sudah hampir lima menit. Ada apa Pak Sudi malam-malam begini telepon Pak Drajat?
Selang beberapa saat kemudian Pak Drajat keluar sambil bertanya kepada Mila dan Sisi,
“Mil, Si, di rumah ada siapa? Kata Pak Sudi barusan kedengaran suara perempuan tertawa lalu banting gelas.”
“Haaah???” Mila dan Sisi terperangah mendengar apa yang disampaikan Pak Drajat.
“Iya. Katanya ada suara orang bertengkar di dalam, lalu ada suara gelas dibanting,” Pak Drajat menegaskan lagi.
“Rumah kosong, Pak. Anak yang lain masih pada pulang liburan. Ini kuncinya juga kami bawa,” suara Sisi bergetar karena ketakutan.
Seketika suasana berubah menjadi tegang. Istri Pak Drajat yang dari tadi berada di dalam juga ikut keluar karena mendengar percakapan kami. Rupanya beliau agak gusar setelah Pak Drajat menerima telepon dari Pak Sudi.
“Ditengok ke sana aja, Pa. Takutnya terjadi sesuatu, lagian tidak enak sama tetangga juga, dikiranya anak-anak yang bertengkar,” begitu kata Bu Drajat.
Benar juga apa yang dikatakan Bu Drajat. Rumah kos yang biasanya sepi jika tiba-tiba terjadi keributan pasti jadi perhatian tetangga. Apalagi saat itu hampir tengah malam.
“Ya udah, ayo kita ke tempat kalian.”
Pak Drajat masuk mengambil jaket. Setelah berpamitan dengan istrinya, kami bersama menuju rumah kos Mila.
Ketika melewati sebuah wartel aku seketika teringat Om Unggul. Setelah mendapatkan nomor telepon Om Unggul dari ibuku, beliau segera kuhubungi.
Om Unggul agak terkejut menerima teleponku malam-malam, mengira ada kabar yang kurang mengenakkan. Setelah aku ceritakan apa yang sebenarnya terjadi, beliau memberikan sebuah alamat di dekat rumah yang bisa kuhubungi. Namanya Bu Nela, rumahnya masih dalam kompleks, hanya berbeda beberapa blok dari rumahku.
Seketika itu juga aku meluncur ke rumah Bu Nela untuk meminta bantuan terkait peristiwa di rumah kos Mila. Ternyata Om Unggul sudah menghubungi Bu Nela sehingga aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar.
Sepanjang jalan menuju kos Mila, Bu Nela tidak bicara kecuali mengajukan satu pertanyaan singkat.
“Mas ini keponakan Romo Unggul?”
“Iya, saya Wawan.” Aku jawab singkat juga sambil menyalami beliau.
Akhirnya aku dan Bu Nela sampai di depan kos Mila. Suasana mencekam sekali. Aku memperkenalkan Bu Nela kepada Pak Drajat yang sudah sampai lebih dulu. Bu Nela segera masuk setelah menyalami Pak Drajat yang tampak kebingungan di luar. Beliau tidak berani masuk karena masih terdengar suara seperti pertengkaran di dalam.
Sejenak Bu Nela berdiri di depan pintu, seperti sedang berdoa. Setelah pintu dibuka kami semua mengikutinya dari belakang.
Suara-suara dari seorang wanita yang tertawa dan menggeram jelas sekali terdengar. Datangnya dari arah garasi yang sekarang dijadikan gudang. Lokasinya di sebelah toilet dalam rumah induk. Suasana semakin mencekam ketika terdengar banyak suara anjing menggonggong di kejauhan.
“Kalian semua duduk di ruang tamu sini saja, tidak usah takut. Ada kekuatan negatif yang mencoba mengganggu Kinanti. Romo Unggul bilang Kinanti masih punya dendam masa lalu saat dia meninggal.”
Bu Nela memerintahkan kami untuk tidak ikut masuk terlalu jauh. Lalu beliau menyebar sesuatu. Beras kuning! Sebagian orang meyakini beras kuning mampu menangkal kekuatan jahat.
Saat beras itu disebar, timbul seperti percikan dari korek api yang dinyalakan. Setelahnya, di sisi yang berbeda, Bu Nela menyebarkan bunga mawar dan kantil. Beras dan kembang, simbol kekuatan baik dan buruk, batinku.
Tidak lama kemudian beliau duduk bersila di ruang tengah, kedua tangannya ditangkupkan di depan dada, sesekali diangkat ke arah hidung. Seperti memberi penghormatan kepada seorang raja.
“Ojo diterusna anggonmu suloyo, Ngger. Sing eling…!” Jangan dilanjutkan kemarahanmu, Nak. Sadarlah.
Tiba-tiba beliau bersuara agak keras, tapi ini bukan suara Bu Nela. Ini suara Om Unggul! Semua yang menyaksikan kejadian di rumah kos malam itu diliputi ketegangan sekaligus takjub dengan apa yang terjadi.
Sampai pada momen Bu Nela menyalakan dupa, berhembuslah angin membawa aroma busuk keluar dari rumah kos itu. Secara refleks kami semua menutup hidung sambil bertatapan satu sama lain.
“Kowe lungo… lungo…! Ojo nyampuri urusanku karo anakku Kinanti. Kabeh iki durung tuntas!” Kamu pergi… pergi… jangan mencampuri urusanku dan anakku Kinanti. Ini semua belum selesai. Kali ini suara Bu Nela berubah lagi, suara perempuan tapi terasa asing, dari intonasinya dia terdengar sangat marah karena diusik. Mungkin inilah entitas energi yang mencoba mengusik ketenangan Kinanti.
“Meneb yo, Ngger, Kuwi mono ora becik kanggomu sangu tindak sowan marang Ingkang Sinuhun. Meneb yo, Ngger, ojo ngugemi dur angkoro.” Tenang ya, Nak. itu tidak baik buat bekalmu menghadap Tuhan. Tenang ya, Nak, jangan ikuti nafsu kejelekan.
“Waspodo yo, Ngger, waspodo…. Sarira wus paripurno, wus langgeng, wus sarwo kepenak. Enggal kondur yo, Ngger, kae pun Ibu kang arep ndherekake anggonmu sowan.” Waspada ya, Nak, waspada…. Kamu sudah selesai, sudah abadi, sudah mendapat kenikmatan. Segera pulang ya, Nak, ibu yang akan membimbing langkahmu menghadap Tuhan.
Setelah berkata, Bu Nela menyebarkan lagi bunga ke arah depan, kiri, dan samping beliau. Kali ini tercium aroma wangi di seluruh ruangan dalam rumah. Bu Nela tiba-tiba menangis dan bersuara lembut sekali,
“Nun inggih, Romo, nyuwun agenging samodra pangaksami, dalem nyuwun pangestunipun panjenengan.” Baik, Romo, saya minta maaf, mohon saya didoakan.
“Iyo… iyo… Ngger, tak pangestoni anggonmu tindak kondur ing ngarsaning Gusti.” Iya… iya… Nak, aku doakan kepulanganmu menghadap Tuhan.
Di tengah suasana yang benar-benar hening, tiba-tiba membersit bayangan dua orang melintas di ruang tengah kemudian menghilang menembus dinding kamar Eyang. Bayangan seorang perempuan dengan mengenakan kebaya Jawa dengan seorang perempuan muda berjalan lalu hilang dalam sekejap mata. Itu Eyang dan Kinanti.
Di sudut ruang tamu Pak Drajat menghapus air mata menahan keharuan yang teramat sangat. Mila, Sisi, dan Anya tidak kuasa menahan haru saat melihat bayangan Eyang berjalan tadi. Suasana memang dramatis sekali.
Sementara itu, Bu Nela masih terduduk di ruang tengah, dari gesturnya sepertinya beliau masih berkomunikasi, entah dengan siapa. Kelelahan terlihat pada wajahnya. Beberapa saat kemudian Bu Nela bangkit dari duduknya dan meminum segelas air putih yang sudah disediakan oleh Anya.
“Sudah selesai semuanya, tidak perlu khawatir lagi. Kinanti hanya minta untuk sering didoakan, selama ini dia merasa sendiri. Dendamnya membuat dia tidak tenang di alam sana.”
“Saya ini media saja, tadi yang menyempurnakan Romo Unggul. Beliau juga memanggil Mbakyu Rahmi, tapi beliau tidak kersa ngendikan. Mbakyu Rahmi itu salah satu murid kesayangan Romo.”
“Saya harap semua yang hadir di sini tidak salah paham, ini bukan ilmu perdukunan. Ini adalah budaya adiluhung yang diturunkan oleh para pendahulu kita, poro kasepuhan dan pinisepuh, kami hanya berusaha melestarikan.”
“Monggo, Pak Drajat, besok ke rumah saya. Nanti saya aturi srono supaya semua bisa kembali normal seperti sebelumnya.”
“Baik Bu, besok saya sowan panjenengan. Terima kasih sekali sudah membantu kami sampai sejauh ini.”
Halus sekali bahasa yang digunakan Bu Nela. Khas para kasepuhan. Usianya memang sudah tidak muda lagi. Setelah menjelaskan semua, Bu Nela pamit. Kali ini beliau diantar Mas Beni.
Kami semua yang awalnya skeptis terhadap sesuatu yang bersifat metafisik, kali ini disadarkan bahwa ada sesuatu yang sebenarnya jauh di luar jangkauan nalar dan logika. Kami tersadar bahwa pengetahuan yang kami miliki ternyata tidak seberapa.
Malam itu kami semua kembali diperlihatkan sesuatu yang tidak pernah terbayang sebelumnya. Banyak sekali hikmah yang bisa diambil dari rentetan peristiwa yang terjadi. Semua berkesan, semua bisa dijadikan pelajaran.
Yang paling harus diingat bahwa kita tidak hidup sendiri di alam yang luas ini. Seperti halnya saat berinteraksi dengan manusia di dunia, dengan entitas lain pun semestinya kita berperilaku dan bersikap baik. Dan yang jelas, jangan pernah menihilkan keberadaan mereka. Karena sebenarnya mereka ada. Bahkan mungkin saat ini… di sebelah kita….
BACA JUGA Spirit Doll di Rumah Hantu Kami Menyerap Arwah dari Rumah Sakit dan kisah menyeramkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Setiawan
Editor: Prima Sulistya