MOJOK.CO – Dulu, ketika pendakian Gunung Slamet belum seramai sekarang, sebuah kejadian mengubah hidup kami. Kejadian yang sangat janggal.
Hari masih pagi ketika aku, Teguh, dan Mila sampai di Terminal Purwokerto yang ketika itu masih berlokasi di Jalan Gerilya. Kami tinggal berdekatan di sebuah kompleks perumahan di bagian utara Purwokerto. Teguh, temanku dari kecil yang mengenalkanku pada dunia pendakian gunung. Mila sendiri adalah seorang mahasiswi asal Jawa Barat yang kuliah di Purwokerto. Dia pacar Teguh.
Sudah seminggu terakhir ini kami bertiga ngobrol untuk merencanakan pendakian Gunung Slamet. Kebetulan, saat itu, Mila yang mahasiswa semester akhir sudah terbebas dari semua kegiatan perkuliahan. Teguh sendiri masih tercatat sebagai mahasiswa. Namun, karena terlalu aktif di Mapala, lulus kuliah seperti bukan lagi prioritas.
Saat itu, kegiatan pendakian Gunung Slamet belum seramai hari ini. Butuh effort lebih buat para pendaki untuk menekuni hobi satu ini. Aku dan Teguh sendiri belum tentu bisa mendaki barang sebulang sekali. Selain soal biaya, peralatan pendakian saat itu belum selengkap hari ini. Belum lagi akses transportasi menuju lokasi.
Menuju Gunung Slamet
Setelah menunggu sekitar 10 menit, ada sebuah bus yang tidak begitu penuh melintas dan kami naik menuju ke Purbalingga. Tujuan kami adalah Gunung Slamet, yang setiap pagi, keangkeran puncaknya bisa kami nikmati dari depan rumah.
Mila baru sekali ini mendaki, setelah sebelumnya beberapa kali melakukan latihan fisik di Gunung Cendana. Mungkin dia penasaran seperti apa rasanya mendaki gunung bareng pacarnya. Selama ini dia hanya dapat ceritanya saja setiap kali Teguh pulang mendaki. Dia hanya berbekal daypack, aku dan Teguh masing-masing membawa carrier berisi peralatan dan logistik.
Kenapa Gunung Slamet? Pertimbangan utama jelas karena jaraknya yang tidak terlalu jauh. Bahkan kalau ada kendaraan sendiri, bisa potong kompas melalui hutan Perhutani Baturaden, keluar hutan sudah sampai ke Serayu, tinggal naik sedikit sudah sampai Pasar Pratin. Tapi ya serem, sih, karena jarang sekali orang lewat walau jalan sudah beraspal.
Sebenarnya, ada juga jalur via Pancuran 7 Baturaden. Tapi, lagi-lagi itu bukan jalur yang umum dilalui pendaki. Apalagi yang newbie seperti kami. Konon butuh waktu lebih panjang untuk sampai puncak dibanding lewat Pos Bambangan. Menurut mitos yang berkembang, saat itu jalur Pancuran 7 masih banyak binatang buas. Mungkin karena treknya yang masih jarang dilewati pendaki.
Setelah satu jam perjalanan, kami sampai di Serayu, lalu melanjutkan perjalanan menggunakan mobil bak terbuka, yang biasanya dipakai untuk mengangkut sayuran, menuju Pratin. Sepanjang jalan, cuaca bersahabat, walaupun siang tapi matahari tidak terasa terik. Ditambah udara pegunungan yang segar tak urung membuat kami terkantuk-kantuk.
Bagiku ini adalah kali kedua ke Gunung Slamet. Teguh sendiri sudah pernah beberapa kali bersama teman-teman sekolahnya. Pertama kali ke sini, aku mendaki malam hari lalu langsung turun di pagi hari. Kebayang capeknya.
Mendaki malam hari, dengan suhu lebih dingin dan kadar oksigen yang tipis membuat pendakian terasa melelahkan sekali. Apalagi itu adalah pendakian pertamaku. Seorang pemula dan sama sekali tidak ada pengalaman hiking. Motivasiku hanya karena penasaran dengan cerita tentang Iqbal, pendaki yang hilang dan jadi legenda di Gunung Slamet.
Nggak terasa kami sudah tiba di Pasar Pratin. Jam tangan menunjukkan pukul 14.00. Karena belum sempat makan siang, kami memutuskan untuk makan di sebuah warung. Sergapan udara dingin ditambah perut yang lapar membuat kami makan dengan lahap.
Ketika aku dan Teguh makan, Mila pamit sebentar ke toko kelontong di sebelah sambil membawa daypack-nya. Kami tidak tahu apa yang dia beli. Paling camilan saja buat dimakan nanti setibanya di basecamp.
Tidak lama, Mila sudah kembali. Setelah membayar semua makanan dan minuman, kami melanjutkan perjalanan menuju ke basecamp Bambangan dengan berjalan kaki. Saat itu belum ada ojek dan jalan dari Pratin ke Bambangan masih makadam, tersusun dari batu dan tanah.
Janggal, ini semua terlalu janggal
Keanehan mulai terasa selepas lebih kurang kami berjalan sejauh 100 meter. Entah kenapa, carrier yang aku bawa terasa berat sekali. Pundak seperti dicubit, padahal masih baru banget jalan. Takut merusak suasana, aku tetap memaksakan jalan. Posisiku paling belakang, Mila di tengah, dan Teguh paling depan.
Tidak ada pendaki lain yang berjalan di belakang kami, pun kami tidak berpapasan dengan para pendaki yang turun. Waktu menunjukkan pukul 16.00, aku lihat di depanku Teguh masih melangkah sambil sesekali melihat hamparan lahan pertanian. Aneh sekali biasanya jalur ramai, terutama mereka yang akan naik.
Dan lebih aneh lagi, jalur ke Bambangan yang biasanya bisa ditempuh satu jam, kali ini terasa panjang sekali. Sudah pukul 16.30, kami masih belum melewati tanjakkan berkelok yang jadi ciri khas dari jalur menuju basecamp (BC) ini.
“Mil, kalian jalan dulu ya aku istirahat sebentar, nggak tau nih, capek banget.”
Mila hanya mengangguk tanpa menoleh sambil terus melanjutkan langkahnya di belakang Tangguh. Setelah meneguk air, aku turunkan carrier karena terasa berat sekali. Selesai merokok sebatang, aku melanjutkan berjalan menuju BC. Kedua temanku sudah tidak nampak lagi di depan.
Entah kenapa aku merasa fresh lagi, carrier juga rasanya tidak seberat tadi. Karena semakin sore, aku mempercepat langkah supaya bisa sampai BC sebelum Maghrib. Di tanjakan, aku lihat kedua temanku sedang istirahat. Mila duduk sambil memegang botol air dan aku lihat Teguh nampak kelelahan. Belum pernah dia terlihat seperti ini.
Ternyata dia merasakan keanehan serupa, jalanan terasa panjang dan lama.
“Rasanya kok nggak sampai-sampai ya, Wan.”
“Biasa, mungkin kita aja yang jalannya terlalu santai,” timpalku.
Aku merasakan memang ada yang aneh di awal perjalanan naik Gunung Slamet. Mila yang biasanya banyak ngobrol, kali ini dia jadi pendiam. Aku pikir karena dia sedang berantem sama Teguh. Tapi, di antara kami bertiga, Mila yang nampak paling segar dan tidak sedikit pun terlihat lelah.
“Udah sore ayo kita jalan lagi takutnya nggak dapet tempat di BC.”
Teguh berdiri sambil membetulkan posisi carrier-nya. Sekira 10 langkah kami berjalan, dia berhenti dan membiarkan Mila mendahului. Ketika sampai di sebelahku, dia ngomong lagi,
“Carrier-ku berat banget sejak pertama kita jalan tadi.”
Dan percaya atau tidak, aku juga merasakan hal yang sama lagi, padahal selepas istirahat pertama tadi udah terasa normal.
“Kamu aja kali yang lagi nggak fit, aku normal-normal aja. Ayolah dikit lagi nyampai.”
Aku mencoba berpikir positif sambil mendorong dia untuk kembali ke posisinya.
Dan saat azan Maghrib berkumandang, kami bertiga sampai ke rumah Pak Bau, basecamp pendakian Gunung Slamet. Bau adalah sebutan bagi kepala dusun di daerah pedesaan Purbalingga dan Banyumas.
Setelah kulonuwun dan menemui Pak Bau yang sedang bersiap untuk salat Maghrib, Teguh mencolek lenganku, sebuah isyarat untuk ngajak ngobrol.
“Mil, kamu bikin kopi ya, dingin banget, aku mau ngobrol bentar sama Iwan,” Teguh berkata ke Mila setengah berbisik.
“Aneh! Ini aneh banget! Kita mulai jalan tadi jam berapa? Baru sampai sini Maghrib, carrier-ku juga berat banget rasanya, kaya gendong mayat,” kata Teguh sesampainya kami di halaman depan BC.
Aku sebenarnya merasakan hal yang sama dan kuceritakan ke Teguh. Namun, aku nggak berani mengambil kesimpulan. Aku masih berusaha berpikir logis, tapi memang waktu yang kita tempuh sangat tidak wajar.
Aku sempat menanyakan ke Teguh tentang Mila yang jadi banyak diam, tapi katanya hubungannya sedang baik-baik saja. Aku menyimpulkan mungkin Mila sedang menghemat tenaga mengingat ini adalah pendakian pertamanya.
“Guh, coba kamu naik ke batas kebun di atas sambil gendong carrier sendiri aja. Mila biar di sini.”
“Maksudnya?”
“Udah coba aja,” Aku ingin tahu apakah Teguh juga merasakan hal yang sama denganku saat aku memutuskan istirahat di bawah tadi.
Lalu dia ambil carrier-nya yang kebetulan belum dibongkar dan berjalan menuju batas jalan dan kebun penduduk di atas yang jaraknya sekitar 50 meter dari BC. Sepuluh menit kemudian dia sudah kembali.
“Gimana?”
“Ini nggak beres!” Teguh tercekat, dia merasakan hal yang sama denganku saat jalan sendirian tanpa Mila!
Aku tersenyum kecut. Pendakian kali ini rasanya bakal menjadi sebuah perjalanan panjang….
Hari semakin gelap ketika aku dan Teguh mengakhiri pembicaraan. Lampu di ruangan depan yang tersambung dengan ruangan tengah BC sudah dinyalakan. Cahayanya yang temaram karena hanya menggunakan bohlam 25 Watt membuat suasana semakin muram. Kami bertiga berkutat dalam diam sambil sesekali meneguk kopi buatan Mila. Dan benar saja, hari itu ternyata hanya kami bertiga yang melakukan pendakian.
Teguh, sebagai leader, merencanakan mulai mendaki selepas Isya. Tapi, terlihat ada kegamangan dalam dirinya, pertimbangannya jelas karena hanya ada kami bertiga di Gunung Slamet. Sepertinya, dia berusaha keras untuk mencoba berpikir positif menghadapi situasi yang barusan kami lewati.
“Wan, aku nemuin Pak Bau dulu, kamu di sini nemenin Mila, ya”. Aku mengiyakan. Teguh nemuin Pak Bau untuk meminta clearance. Adalah sebuah kewajiban meminta izin jika akan melakukan pendakian Gunung Slamet. Dan sudah menjadi kebiasaan, saat malam seperti ini, Pak Bau ada di ruang belakang, berdiang sembari menghangatkan badan di depan perapian untuk mengusir dingin.
“Ini jadi naik nggak sih, kok Teguh lama banget.”
Mila memecah keheningan sambil bertanya dengan nada agak tinggi. Aku mengernyitkan dahi, belum pernah dia seketus ini, batinku.
Saat itu juga aku melihat Teguh masuk kembali ke ruang tengah sambil membawa sepiring ubi rebus hangat pemberian Pak Bau. Karena perut kami semua sudah terisi, pemberian itu aku simpan saja di carrier. Lumayan bisa nambah logistik.
“Oke, ayo kita berangkat. Pak Bau sudah memberi izin. Pesan beliau, kita harus ekstra hati-hati karena hanya kita bertiga yang naik Gunung Slamet malam ini. Tapi di atas ada rombongan mahasiswa Jakarta, kok, berangkat kemarin sore.”
Setelah berpamitan dan basa-basi sejenak dengan Pak Bau, kami meninggalkan BC Bambangan untuk mulai pendakian Gunung Slamet. Di depan BC, tidak lupa kami berdoa memohon keselamatan. Namun, aku tidak melihat Mila melakukan itu, gesturnya tidak menampakkan lazimnya orang berdoa!
Kepalanya menengadah sambil matanya berkilat menatap puncak Gunung Slamet yang malam itu terlihat cerah. Sekali lagi aku mencoba berpikir positif, barangkali dia sudah berdoa.
Dengan formasi sama seperti saat berjalan ke BC sore tadi, kami mulai berjalan menuju ke Pos 1. Jarak antara kami hanya sekitar empat sampai lima langkah saja. Selain untuk memudahkan komunikasi, tentu saja juga untuk mengurangi rasa takut. Mendaki Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah saat malam hari, apa pun bisa terjadi. Ditambah lagi perubahan perilaku Mila dan keanehan yang terjadi, mau tidak mau, tetap mengganggu pikiran.
Dia bukan Mila yang kami kenal
Perkiraan waktu tempuh dari BC ke Pos 1 sekitar satu jam. Keanehan serupa mulai terjadi lagi. Baru beberapa puluh meter saja kami berjalan, carrier mendadak terasa berat. Terlalu berat untuk sebuah carrier ukuran kecil dengan logistik yang tidak terlalu banyak. Bersamaan dengan itu, Teguh menghentikan langkahnya, menengok ke arahku sambil mendongakkan kepalanya seperti memberikan kode tertentu.
“Lanjuuut,“ kataku sambil memberikan kode dengan tangan. Dia pasti merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan. Mila seolah tidak peduli dengan keadaan ini. Dia terus berjalan seperti tidak ada lelahnya. Jika dalam keadaan normal, tentu saja ini menyenangkan. Biasanya bagi mereka yang newbie melakukan pendakian, apalagi di malam hari, baru berjalan beberapa ratus meter saja sudah kelelahan.
Pos 1 Gunung Slamet sudah dekat, jalan mulai sedikit menanjak. Teguh mempercepat langkah supaya bisa segera sampai ke shelter untuk istirahat sebentar. Langkah yang sama diikuti oleh Mila. Aku malah tercecer hingga lebih dari 10 langkah di belakang mereka. Karena masih di area ladang, cuaca malam yang cerah saat itu membuat aku masih bisa melihat mereka dari arah belakang. Yang jelas, sedikit menghilangkan rasa takut karena aku sudah tertinggal langkah agak jauh.
Dengan sedikit terengah-engah, aku sampai di Pos 1. Kalau boleh dibilang, yang namanya pos sih sebetulnya nggak ada bangunan yang mirip pos. Lebih ke tempat yang biasa dipakai istirahat sejenak oleh para pendaki sebelum masuk hutan.
Sambil mengambil air mineral, aku mencoba untuk mengkomunikasikan apa yang baru saja kami rasakan. Bukan hanya kepada Teguh tapi juga kepada Mila. Aku pikir ini harus dibicarakan, apalagi bukan hanya aku yang merasakan. Mumpung masih di Pos 1, kalau sudah jauh masuk ke dalam hutan, masalah akan lebih kompleks lagi. Awalnya aku memang masih yakin kalau kejadian sore tadi tidak akan terulang.
“Mil gimana, capek nggak?”
“Capek apaan, orang baru jalan sebentar,” jawabnya dengan nada datar.
“Ya udah, tapi aku mau istirahat bentaran, ya. Carrier berat.” Aku mencoba memancing pembicaraan dengan Mila. Tapi dia hanya tersenyum atau tepatnya menyeringai. Ada kesan sinis dari senyumnya.
Padahal dari BC sampai Pos 1 tadi itu kami jalan sekitar satu jam. Dan 50 meter sebelum shelter, jalanan lumayan nanjak. Bersyukurnya kali ini waktu tempuhnya normal, tidak seperti waktu jalan dari Pratin ke BC. Satu-satunya masalah adalah beban carrier yang di luar kewajaran. Dan dari hasil obrolanku dengan Teguh disimpulkan ada sesuatu yang terjadi dengan Mila tapi kami tidak tau apa.
Setelah istirahat beberapa saat kami melanjutkan pendakian Gunung Slamet. Masih dengan formasi yang sama. Udara semakin dingin tapi badan berkeringat, kondisi yang tidak nyaman sekali. Terpaan angin yang menusuk tulang mulai berkurang saat mulai masuk hutan. Berganti dengan suasana gelap karena cahaya langit terhalang oleh rimbunnya pepohonan.
Mila tidak menunjukkan rasa lelah dan ketakutan sama sekali, walaupun jalur mulai menanjak dan suasana sangat mencekam. Di depan, Teguh sesekali berteriak jika ada sesuatu yang menghalangi langkah di jalur yang kami lewati. Langkahku mulai terasa agak berat karena beban carrier yang tidak wajar. Napas juga sudah mulai agak tersengal karena tanjakan yang selalu menghajar langkah.
Sesekali aku menengok ke belakang, berharap ada pendaki lain yang berjalan menyusul. Tapi tidak terlihat satu saja titik cahaya headlamp yang biasa dipakai pendaki di malam hari. Semakin jauh berjalan, hutan semakin lebat. Napas kami semakin berat karena kadar oksigen di malam hari di dalam hutan jelas sangat tipis. Agak berbahaya karena bisa menimbulkan hipoksia.
“Hati-hati, ada jurang!”
Teguh berteriak, memberitahukan bahwa sebentar lagi kami akan sampai di jalur yang membutuhkan kewaspadaan lebih. Karena selain treknya yang sempit dan menanjak, juga banyak akar yang menyembul dan di sebelah kiri ada jurang.
Teguh yang berjarak beberapa langkah di depan menghentikan langkahnya menunggu kami mendekat. Dia mencoba meraih tangan Mila yang saat itu sedang berusaha memanjat bongkahan batu.
Aku yang di belakang Mila saat itu melihat ke arah Teguh. Headlamp-ku, secara otomatis, menyorot ke wajahnya. Entah kenapa, wajah Teguh terlihat menyiratkan ketakutan saat melihat Mila.
Tiba-tiba Mila tertawa. Bukan dengan cara dia biasanya tertawa, tapi ini jelas suara Mila!
“Kalian capek ya? Carrier-nya berat, ya?”
“Tapi jangan berhenti di sini, ya. Antar aku ke Samarantu!”
Nadanya tegas dan mengancam.
Saat Mila berpaling ke arahku, jantungku serasa berhenti mendadak. Wajah Mila berubah, entah wajah siapa. Aku seperti pernah melihat tapi entah di mana.
Bersambung….
BACA JUGA Catatan Pendakian Gunung Argopuro: Teror Lolongan Serigala, Geraman Kawanan Genderuwo, dan Malam-malam yang Dramatis dan kisah menyeramkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Setiawan
Editor: Yamadipati Seno