Di salah satu daerah di Madiun, bis jurusan Madura-Yogya itu berhenti. Serombongan pengamen naik ke dalam bis. Jumlah mereka kalau tidak empat ya lima orang. Mereka menyanyi keras, seolah bukan untuk menghibur para penumpang tapi untuk membangunkan dari tidur. Malam memang sudah cukup larut. Lalu rombongan pengamen itu berjalan dari arah depan sampai belakang, sambil menyodoki penumpang meminta uang sebagai jasa ‘hiburan’ yang telah mereka lantunkan. Lebih tepatnya, seperti memalak para penumpang dengan kedok menyanyikan lagu.
Hal seperti itu tentu bukan hal baru bagi orang yang suka naik bis. Di dalam moda kereta api pun, sebelum kemudian ditertibkan, peristiwa semacam itu sering terjadi. Kalau tidak ada uang receh yang diberikan, mereka meminta rokok. Kalau tidak diberi, mereka sering membuat ulah yang tidak menyenangkan. Mulai dari mencibir sampai membentak. Bahkan biasanya sesaat sebelum naik, mereka sudah menyebar semacam teror duluan. Misalnya dengan meneriakkan, “Jangan pura-pura tidur, ya!”
Waktu itu kebetulan M Faizi duduk di bangku paling belakang, persis sebelum pintu bagian belakang bis. Di depannya, duduk dua laki-laki, yang sepanjang perjalanan jika mereka sedang ngobrol, mereka memakai bahasa Madura. Benar, rombongan pengamen itu mulai membuat keonaran. Memaksa setiap penumpang untuk memberi uang, bahkan dengan sedikit sodokan fisik bagi yang tidak memberi. Begitu rombongan pengamen sampai ke kedua penumpang yang bercakap dalam bahasa Madura, dan sesaat sebelum rombongan itu menyodorkan gelas air minum kosong agar diisi uang, dengan cepat, dalam temaram lampu bis, berkilat sesuatu dikalungkan oleh salah satu di antara dua penumpang itu ke leher salah satu rombongan pengamen. Sebilah celurit!”
Mas, kamu pikir aku takut sama sampeyan!” Begitu bentak si penumpang sambil berdiri. Semua penumpang langsung menoleh ke arah kejadian. Orang yang dikalungi celurit, yang tampak sebagai pimpinan rombongan pengamen itu, hanya diam. Pucat. Meminta maaf.
“Ayo kalian maju semua. Saya ndak takut. Satu satu sini, maju! Saya celurit sampeyan semua!”
Rombonganpengamen itu bukan hanya tidak siap mendapatkan serangan balik yang tak pernah mereka bayangkan, tapi juga keder. Mereka bingung, ketakutan, panik, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Terlebih orang yang dikalungi celurit. Mungkin sudah mulai kencing di celana.
“Saya ini juga bekerja, Mas. Malam-malam, kami ini melakukan perjalanan jauh, juga untuk mencari nafkah. Tapi ndak kayak sampeyan semua. Saya sering lewat sini. Kalau sampai nanti kalian masih melakukan hal seperti ini, saya ndak akan pikir panjang. Saya habisi kalian semua.”
Celurit diambil pelan dari leher. Rombongan pengamen itu pun turun sambil meminta maaf. Menurut Faizi, sejak saat itu, seingat dia, di daerah itu tidak ada lagi orang yang mengamen sambil memaksa. Kejadian itu memang sudah terjadi beberapa tahun lalu. Tapi jika Anda bertanya kepada Faizi apa yang paling diingat dari segala peristiwa yang sering dialaminya selama mengerjakan hobinya naik bis, kisah itu yang paling kerap diceritakan.
Uang boleh habis, tapi jangan habis pulsa
Kiai M Faizi, lahir dari lingkungan pesantren Annuqayah, Guluk Guluk, Sumenep. Dia menghabiskan masa kecil sampai remaja di pesantren itu, kemudian kuliah di IAIN Sunan Kalijaga (Sekarang UIN), setelah lulus kemudian mengajar di lingkungan pesantrennya. Pesantren Annuqayah bukan hanya dikenal sebagai salah satu pesantren terbesar di Madura, tapi juga tertua.
Di Indonesia, Faizi dikenal sebagai salah satu sastrawan ternama. Dia banyak menulis puisi dan menulis esai tentang sastra dan budaya. Tidak heran, di pesantren Annuqayah, kesadaran santri untuk membaca dan menulis cukup tinggi. Bersama para pengajar yang lain, Faizi berusaha membangun tradisi membaca dan menulis yang kuat di lingkungan para santri. Banyak penulis hebat lahir dari pesantren tersebut. Salah satunya yang sangat dikenal luas adalah M Musthofa, yang kebetulan juga saya kenal karena dia adalah alumnus Fakultas Filsafat UGM, sama dengan saya.
Di kalangan para santri di Guluk-Guluk, M Faizi sangat dikenal karena selain sebagai pengajar juga punya hobi yang tidak lazim di kalangan pesantren tersebut yaitu main musik. Terutama main gitar. Selain itu, bersama beberapa rekannya, laki-laki berusia 46 tahun itu menggagas ‘Pesantren tanpa sampah plastik’. Kiai Muda itu sangat ngotot untuk memerangi plastik di lingkungan pesantren Annuqayah. Sehingga jika Anda sempat berkunjung ke sana, maka lingkungan pesantren bukan hanya bersih, namun juga jarang menemukan plastik berceceran. “Kalau ada santri membuang kulit pisang sembarangan, saya tidak marah. Tapi kalau dia membuang gelas plastik atau bahkan sedotan, saya bisa marah,” begitu ungkapnya sambil tersenyum.
Namun ada hobi lain dari Faizi yang juga dikenal oleh banyak orang sebagai salah satu hobi unik, melakukan perjalanan dengan mengendarai bis. Hampir semua rute bis di Pulau Jawa, pernah dia coba, bahkan beberapa rute, cukup sering dilakukan. Dia juga pernah naik bis dari Madura ke Sabang, Aceh, lalu balik lagi. Dan belum lama ini, dia menjelajah Sulawesi dengan moda transportasi bis.
Soal bis, pengetahuan kiai satu ini tidak main-main. Dia tidak usah melihat bis, cukup mendengar derunya mesinnya saja, maka akan sanggup menerangkan merek, jenis, dan tahun bis dengan tepat. Kalau ditanya soal hobi uniknya itu, dia bilang bahwa naik bis itu seolah seperti kelas yang sedang berjalan, dengan kaca depan bis yang luas itu sebagai papan tulisnya. Tapi papan tulis yang mengasyikkan karena penuh warna dan kejadian.
Untuk melakoni hobinya itu, Faizi tergolong pemberani dan agak nekat. Dia sering membawa uang secukupnya, bahkan cenderung kurang. Dan melepaskan diri dari kekurangan biaya di perjalanan, adalah seni tersendiri baginya. Karena, sebagai pengajar di pesantren, tentu dia tentu tidak bisa sembarangan meninggalkan tugasnya. Ketika dia sedang luang dan punya kesempatan untuk berpergian dengan bis, sering di saat itu dia tidak cukup punya uang. Maka satu-satunya cara untuk tetap bisa menjalankan kesukaannya itu ya dengan modal agak nekat. Karena itu pula, menurutnya, di dalam perjalanan, dia boleh kehabisan uang, tapi tidak boleh kehabisan pulsa telepon.
“Karena dengan pulsa telepon, saya bisa mengontak orang-orang di kota tersebut. Dan biasanya saya dapat tumpangan tidur, dikasih makan, kadang juga diberi sangu. Kalau terpaksa ya utang…” Faizi menerangkan dengan terkekeh-kekeh.
Tapi menurut pengalamannya, selalu ada orang baik di perjalanan. Baik yang dikenal maupun yang tidak dia kenal.
Sederhana dan jenaka
Saya lupa persisnya, kapan kenal Kiai Faizi. Saya biasanya menyapa dengan sapaan ‘Yai Faizi’. Tapi yang jelas, suatu saat, ada kawan saya dari Madura, yang kebetulan kenal dengan saya dan sedang berada di Yogya, menyampaikan ‘titipan’ dari Yai Faizi. Titipan itu dibungkus kertas tipis. Saya saat itu belum kenal dengannya. Saya pikir itu semacam jimat. Setelah saya buka, berupa tembakau satu lintingan. Bagi banyak orang, itu mungkin aneh. Tapi itu bukan tembakau sembarangan. Tembakau itu adalah tembakau Campalok, salah satu tembakau unik sekaligus susah didapat, yang berasal dari Madura.
Saya termasuk penggila kopi dan rokok. Untuk kopi, saya bukan hanya datang ke berbagai lahan pertanian kopi di seluruh Indonesia, tapi juga ikut kursus, mulai kursus uji citarasa kopi, kursus barista, sampai ikut kursus budidayanya. Demikian juga dengan tembakau. Hampir semua tembakau unik di Indonesia pernah saya coba, dan bahkan saya datangi langsung tempatnya. Salah satunya tembakau Campalok di Madura.
Saya meliput tembakau Campalok untuk sebuah media. Jauh-jauh saya datang ke Madura, datang ke lahan pertaniannya, dan melakukan wawancara kepada pemilik lahan sekaligus petaninya. Lahannya tidak besar. Di sebuah tegalan mungkin hanya sekian ratus meter persegi saja. Di situ ada kompleks pemakaman dan pohon campalok. Karena itu, tembakaunya disebut tembakau Campalok. Masalahnya, wilayah itu hanya menghasilkan beberapa kilogram saja tembakau Campalok. Dan sudah dibeli seumur hidup oleh salah satu haji terkaya di Sumenep,Madura.
Saat saya ke sana, petaninya pun tak punya tembakau itu, padahal saya ingin mencicipinya. Memang beredar tembakau dengan mengatasnamakan tembakau Campalok. Tapi saya tahu persis itu tembakau palsu. Kenapa saya tahu? Karena saya pernah menuliskannya. Ini mirip dengan tembakau Senang dari Lombok. Kalau kita datang ke Lombok, banyak sekali orang menjual tembakau itu, padahal yang dijual itu bukan tembakau Senang yang asli. Kenapa saya tahu? Karena saya pernah datang ke sana. Bedanya dengan tembakau Campalok, untuk tembakau Senang, saya berhasil mencicipnya. Sebab wilayahnya lumayan luas. Tapi untuk tembakau Campalok, saya gagal.
Gagal mencicip tembakau Campalok itu pernah saya tulis di Facebook. Rupanya, Yai Faizi yang saat itu belum kenal dengan saya, berusaha mendapatkannya. Dia kebetulan kenal Pak Haji yang memborong tembakau Campalok. Dan Yai Faizi meminta sedikit, untuk diberikan kepada saya. Semenjak itu, kami berdua lumayan akrab, dan makin akrab. Kalau Yai Faizi ke Yogya, kami menyempatkan diri untuk bertemu dan bercengkerama.
Sekira satu setengah tahun lalu, saya pun mampir ke rumahnya, di wilayah pesantren Annuqayah, Madura. Saya datang bersama rombongan kecil, dua di antaranya adalah dua musisi Silampukau, Kharis Junandharu dan Eki Trisnoiwening. Di sana saya sempat dikerjai, karena tiba-tiba puluhan santri datang. “Mas Puthut silakan, para santri sudah datang, silakan berbagi ilmu soal penulisan…”
Sementara saya melawan rasa lelah saya dan mencoba menerima jebakan itu, lamat dari ruang sebelah, Yai Faizi, Kharis, dan Eki, tertawa cekikikan….
Waktu saya berada di sana, saya diberi berbuntal-buntal tembakau Madura yang enak. Tembakau itu dipakai rebutan teman-teman saya sewaktu tiba di Yogya.
Yai Faizi orangnya enak diajak ngobrol. Pengetahuannya luas. Selera humornya tinggi. Pengalaman hidupnya banyak. Orangnya juga sederhana. “Saya ini kalau uang ndak begitu punya,” ungkapnya suatu saat dengan logat Madura yang sangat kental, “tapi kalau kopi dan rokok, saya selalu punya. Bertahun-tahun saya ndak pernah beli rokok. Orang datang kasih rokok dan tembakau. Dan sudah lebih dari sembilan tahun saya ndak pernah beli kopi. Orang datang kasih kopi. Tapi kalau ngasih duit kok jarang, ya…” Lagi-lagi, dia berkisah sambil tertawa.
Tempat saya meminta fatwa
Kalau bertemu dengan Yai Faizi, saya tentu sering bercanda. Lebih sering bercanda dari pada ngomong serius. Tapi untuk urusan tertentu, terutama urusan agama, dia adalah salah satu orang yang kerap saya tanya soal agama. Pertanyaan-pertanyaan saya bukan soal diskursus agama. Tapi soal hal yang sehari-hari saya alami.
Saya bukan seorang muslim yang taat sekali. Tapi untuk hal-hal tertentu, saya tidak pernah main-main. Soal zakat mal, misalnya. Saya belajar serius, bertanya pada banyak orang alim, soal bagaimana menghitung zakat mal. Karena urusannya sudah sangat prinsip bagi hidup saya. Sebab kalau saya salah hitung, berpotensi ada hak orang lain dalam harta yang saya miliki.
Suatu saat, saya pernah bertanya dengan serius kepada Yai Faizi. Kalau bertanya hal seperti itu, biasanya saya layangkan lewat email. Kenapa? Karena supaya pertanyaan saya terarah dan terstruktur. Yai Faizi juga kalau menjawab jelas referensinya. Dengan saya melayangkan pertanyaan via email, dia punya kesempatan untuk mengecek referensinya dari berbagai kitab.
Salah satu yang saya ingat adalah pertanyaan soal salat. Karena ini sering saya alami. Jika kebetulan saya sedang penelitian, terutama di tempat yang jauh, saya sering bingung. Kalau salat suhur dan asar, karena saya musafir, bisa saya jamak. Masalahnya di perjalanan, kadang di tengah hutan dan dalam kendaraan, dan di medan-medan tertentu yang tidak memungkinkan saya untuk salat, maka bagaimana saya mesti melaksanakannya?
Atau saya pernah bertanya, bagaimana hukum orang yang tidak salat selama bertahun-tahun. Apakah harus menggantinya atau tidak. Sebelumnya, saya tentu mencari referensi lewat internet. Namun di kalangan para ulama, terjadi perbedaan pendapat. Salah satu tempat saya bertanya tentu saja Yai Faizi. Untuk soal-soal yang seperti itu, tampak sekali otoritasnya sebagai seorang ulama. Dan jawabnnya tegas. Mengganti.
Lalu saya bertanya, wah berat sekali kalau mengganti. Lalu saya bertanya lagi, di masjid Mekah, di dekat Kakbah, kan satu salat setara dengan seribu salat. Apakah bisa diganti dengan model begitu. Dia dengan tegas bilang tidak bisa. Lalu diberilah saya argumen fiqihnya. Cuma dia tahu bahwa saya pasti berat melaksanakannya, maka sesekali dia bilang, “Sudah gini saja, Mas Puthut. Sampeyan sudah tahu hukumnya versi pendapat saya. Mas Puthut mau salat saja sudah bagus. Diteruskan saja itu. Kalau sempat, ya salatnya yang tidak dikerjakan, diganti.”
Dengan cara begitu, saya pikir Yai Faizi terlihat sangat bijak. Dia tidak mau mempermainkan hukum. Tapi juga bisa menyatakan dengan cara tertentu sehingga apa yang sudah baik jangan sampai membuat beban yang masih terasa berat.
Kiai yang takut hantu
Semalam, saya bertemu dengannya di Kafe Main-main, milik Mas Edi Mulyono. Kebetulan, Yai Faizi sedang di Yogya dan akan mengisi acara peluncuran buku puisi terbaru karya penyair Joko Pinurbo. Sampai di Yogya, sudah cukup larut. Saya datang, Kafe Main-main sudah tutup. Tapi Yai Faizi masih menunggu saya. Sebagian besar lampu dimatikan karena memang sudah tutup. Sesuai protokol kesehatan yang berlaku di Yogya. Karena saya kenal baik dengan Mas Edi, saya sangat beruntung bisa disuguh minuman dan penganan. Terbayang kalau misalnya kami ngobrol tanpa minum, sementara saya dan Yai Faizi perokok.
Kami ngobrol ngalor-ngidul, hingga balik ke topik pengalaman naik bis. Karena saya dulu juga sering naik bis, saya bercerita kalau saya pernah dicopet dan diguna-guna orang. Yai Faizi belum pernah kecopetan. Saya bilang, “Yai, kalau orang suka naik bis tapi belum pernah kecopetan, itu seperti ke Yogya tapi belum pernah makan gudeg atau makan sate klathak.” Dia hanya tertawa saja mendengar lontaran saya.
Terus iseng saya bertanya, pernah enggak, mengalami kejadian mistis di perjalanan. Cocok dengan suasana semalam, lampu temaram, dan gerimis mulai datang.
Yai Faizi bercerita sambil agak takut-takut. Di salah satu daerah di Sulawesi, dia pernah mengalami kejadian yang menakutkan. “Ini saya mau ceritakan, tapi saya tetap takut sampai sekarang,” Yai Faizi bergidik. Saya juga mulai takut. “Saya ndak berani menyebut nama daerahnya ya… Karena saya pernah menuliskan pengalaman saya ini di Facebook, ternyata terhapus. Saya ulangi, dan terhapus lagi. Wih, saya takut sekali.” Lagi-lagi Yai Faizi bergidik. Saya makin takut juga. Tapi penasaran. Saya beruntung karena datang bersama Dodo, teman saya yang kebetulan seorang santri pemberani. Jadi kalau saya pulang tidak merasa terlalu takut.
Berceritalah Yai Faizi, tentu dengan suara pelan dan agak terbata karena merasa takut. Ketika sedang berkeliling di Sulawesi, dia singgah di suatu tempat. Di sana ada kenalannya. Dia disambut sepasang suami-istri, lalu dijamu. Ketika sedang dijamu, karena pernah membaca soal ‘tertentu’ di daerah itu, Yai Faizi menanyakan hal itu. Mendadak si perempuan jadi meracau, semacam kemasukan jin. Semua orang panik, termasuk Yai Faizi. Di antara racauan itu, si jin meminta agar Yai Faizi tinggal di kerajaan jin itu. Yai Faizi tentu saja menolak.
“Lho, kalau Yai Faizi tidak menyebutkan, bagaimana saya bisa menggoogling-nya?”
“O iya, ya… wah gimana ya caranya?”
“Begini saja, Anda kirim sms ke saya soal nama itu. Biar saya googling.”
“Ndak berani saya, Mas. Wong status Facebook saja bisa hilang. Jin itu bisa menghapus status saya.”
Saya antara takut dan penasaran. Tapi saya tidak mungkin memaksa Yai Faizi menyebutkan kata kunci itu.
“Yai, Sampeyan itu kan kiai, masak takut sama jin…”
“Lho kalau pengalaman mistis, saya itu banyak sekali. Tapi khusus yang ini, saya ndak berani cerita…”
“Lha tapi kan saya terlanjur dengar. Kan jadi penasaran…”
“Iya, ya…”
Wajah Yai Faizi tampak bingung. Justru karena itu, saya juga merasa makin takut. Akhirnya pembicaraan saya alihkan ke hal lain, dan tak lama kemudian saya pamitan. Karena saya tahu, Yai Faizi pasti capek. Sebab dia naik mobil bersama rombongan dari Guluk-Guluk, Madura. Perjalanan yang nisbi jauh. Hebatnya, Yai Faizi ini sekalipun sedang di perjalanan, di saat dia harus mengajar, tetap mengajar lewat hape. Jadi dia menelepon pesantrennya, di sana suaranya diperbesar, lalu para santri menyimak. “Makanya, ke mana-mana, saya bawa kitab, Mas Puthut. Bukan karena saya kutu buku, tapi ya karena saya mesti mengajar sekalipun pakai hape.”
Darah mengajarnya memang mengalir dari para leluhurnya. Semua leluhurnya hanya fokus mengajar. Di lingkungannya, bahkan tidak ada yang menjadi mubaligh. “Semua mengajar, tidak ada yang jadi penceramah. Makanya, kalau soal tanggung jawab mengajar, saya ndak bisa tinggalkan.”
Semalam saya pulang dengen menggendong rasa penasaran. Penasaran soal kata kunci cerita seram yang tak berani diucapkan, bahkan oleh sosok seperti Yai Faizi.
BACA JUGA Hikayat Kiai Faizi dan Bukti Hebatnya Silaturahim dan artikel SUSUL lainnya.