Dwi Handayani (37) sudah 16 tahun menjadi guru honorer di sebuah sekolah dasar di Rembang, Jawa Tengah. Selama itu, ia sudah mengikuti 8 kali seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Semuanya gagal. Sambil menunggu keputusan apakah ia akan lanjut menjadi guru atau tidak, ia membuka warung angkringan di SPBU mangkrak yang berhantu.
***
Guru honorer yang buka angkringan
Sabtu, 1 Agustus 2021, pengunjung di angkringan Mbak Dwi tidak seramai malam-malam sebelumnya. Hanya ada saya, satu kawan saya, dan seorang sopir truk yang mampir untuk membungkus kopi.
“Biasanya jam-jam segini (setelah Isya) ramai, loh, kok tumben sepi gini,” bisik kawan saya sambil memilah-milah tumpukan gorengan, mencari yang masih hangat.
Malam itu saya sendiri memang tidak berniat berlama-lama, mengingat saya belum tidur sama sekali sejak malam sebelumnya. Usai melahap dua bungkus nasi kucing dan mengganyang beberapa potong mendoan, saya berencana membayar dan langsung pulang untuk tidur.
Tapi obrolan yang dibuka Mbak Dwi justru membuat kantuk saya sedikit tertangguhkan. Kepada saya Mbak Dwi menceritakan alasannya membuka angkringan, sementara ia sendiri saat ini masih berstatus sebagai guru honorer di SDN 1 Manggar, Sluke.
Awalnya Mbak Dwi bertanya apakah saya ikut seleksi CPNS tahun ini? Saya jawab tentu saja tidak. Terus terang saja saya katakan kalau saya adalah model orang yang tidak bisa bekerja dengan aturan yang seketat itu. Berangkat pagi-pagi, berseragam dan berpenampilan rapi, dan segala hal yang terkesan begitu formalistik.
“Mbak, sampeyan bukannya masih ngajar ya sekarang, kok nyambi buka angkringan?” tanya saya setelah menjelaskan kepad Mbak Dwi perihal alasan saya tidak tertarik daftar CPNS.
Mbak Dwi tercenung beberapa saat. Ia lalu mengaku kalau dirinya benar-benar capek menjadi guru honorer. Ia bahkan berencana untuk berhenti jika seandainya ia tidak lolos seleksi Pegawai Pemerintahan Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2021 ini.
“Jujur aku ini sudah capek banget, Kak, jadi guru honorer. Aku jadi guru honorer itu kurang lebih sudah 15 atau 16 tahun lah sampai sekarang ini. Sampeyan tahu sendiri kan gaji honorer itu dikit banget. Mana sejak masa Pak Jokowi guru honorer sudah nggak bisa jadi PNS lewat jalur pengabdian. Kalau mau jadi PNS ya harus ikut seleksi CPNS, makin sulit, Kak. Kan sekarang yang dicari itu yang sesuai kebutuhan, yang masih fresh-fresh gitulah. Yang tua-tua kayak saya dan temen-temen sudah nggak dibutuhkan lagi,” ujarnya dengan dahi berkerut.
Mbak Dwi membeberkan, dalam kurun 16 tahun tersebut, ia sebenarnya sudah 8 kali mengikuti seleksi CPNS. Namun, hasilnya selalu sama; satu kalipun tidak pernah lolos. Ia mengaku lama-lama capek juga. Ia lalu mencoba peruntungan dengan ikut seleksi PPPK. Pengumuman hasil seleksi PPPK 2021 nanti menjadi penentu bagi Mbak Dwi untuk memutuskan, apakah ia akan lanjut guru honorer atau sepenuhnya berjualan di angkringan.
Mbak Dwi tidak sendirian dalam mengelola angkringan. Ia ditemani Kak Mansur (39), suaminya, yang saat ini juga masih mengajar di SMP dan SMA Yayasan Al-Yaqin Sluke. Malam saat saya sedang berbincang dengan Mbak Dwi, kebetulan Kak Mansur masih belum datang. Kata Mbak Dwi ia pulang sebentar untuk mengambil es batu.
“Aku dulu tiga tahun ngajar di SDN 2 Manggar, tiga tahun di SDN Sendangmulyo, terus sisanya di SDN 1 Manggar. Gajinya miris banget lah kak guru honorer itu. Aku dulu sempat digaji dari Rp300.000 pernah, terus naik jadi Rp600.000, naik lagi jadi Rp800.000, sampai sekarang agak lumayan, Rp1.500.000. Tapi itu saja masih di bawah UMR,” jelasnya.
“Edyan! UMR Rembang ae cuma Rp1.800.000 cah, lah ini di bawahnya lagi,” celetuk kawan saya yang sedari tadi ternyata ikut menyimak obrolan saya dengan Mbak Dwi.
“Nah, maka dari itu, Kak, abot jadi guru honorer itu. Capek, gaji dikit, nggak balik modal sama biaya kuliahnya dulu,” ucap Mbak Dwi menimpali, kali ini sambil menyiapkan bumbu untuk membuat mendoan.
“Kalau dihitung-hitung lebih lumayan buka angkringan gini, Kak, penghasilannya,” sambung perempuan yang menamatkan pendidikan S1-nya di Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Ronggolawe (Unirow) Tuban dan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Universitas Terbuka (UT) Semarang.
View this post on Instagram
Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek Nadiem Makarim, secara daring mengumumkan bantuan untuk guru dan tenaga kependidikan honorer sebesar 3,7 triliun, Rabu (4/8/2021).
Obrolan kami sempat terjeda manakala Mbak Dwi membuatkan teh hangat pesanan seorang pembeli yang baru datang.
Beberapa saat kemudian, Mbak Dwi kembali ke tempat duduknya. Sambil memotong-motong tempe ia melanjutkan ceritanya yang sempat terputus. Ibu satu anak itu menjelaskan, awal-awal membuka angkringan di area SPBU Jatisari, sebenarnya ia amat sangat ragu.
Ia tidak yakin bisa memperoleh banyak keuntungan jika berjualan di area SPBU atau Pompa Bensin mangkrak tersebut yang, sudahlah sepi, gelap pula. Namun prasangkanya tersebut, setidak-tidaknya hingga saat ini, ternyata meleset. Sebab, di luar perkiraannya, ia justru memiliki banyak pelanggan. Termasuk saya sendiri dan beberapa kawan yang nyaris setiap malam menghabiskan waktu di angkringannya.
“Awal-awal pas mau buka sama suami ya ragu to, Kak. Ini nanti bakal sepi atau rame, soalnya tempatnya juga seperti ini. Tapi alhamdulillah, menginjak dua bulan ini justru makin rame-makin rame. Biasanya di atas jam sepuluh malam pasti rame. Yang sering borong itu ya sopir truk, terus bapak-bapak yang jaga alat berat di proyek belakang sini, sama sering juga ada orang-orang yang habis menjala ikan tengah malam pasti mampir buat makan sama nyari anget-angetan,” ujarnya.
“Dulu pas hari-hari pertama buka semalam cuma mentok dapat Rp150.000 kotor, bisa kurang. Tapi sekarang paling minimal Rp250.000, kadang juga bisa lebih,” tambahnya. Angka itu sangat berharga untuk menopang kehidupannya sebagai guru honorer sekaligus memenuhi kebutuhan keluarga.
Saya manggut-menggut mendengarnya sambil merapatkan jaket yang saya kenakan. Angin malam itu tiba-tiba berhembus agak kencang, langit yang semula cerah berbintang pun tampak berubah mendung, tanda sebentar lagi hujan akan turun.
Benar saja, tidak lama berselang, sekitar pukul 20.35 WIB, hujan turun lumayan deras disertai angin yang cukup kencang. Mbak Dwi dibantu Kak Mansur yang baru datang lalu mengamankan makanan-makanan di meja angkringan dari guyuran air. Sementara saya menyeruput teh hangat yang baru saya pesan beberapa menit lalu, di sebelah saya kawan saya tampak sibuk bermesraan dengan pacarnya lewat sambungan telepon.
“Berarti sampeyan disuruh jangan pulang dulu ini, Kak, hujan deras gini, og. Ngancani aku dulu,” celetuk Mbak Dwi setelah merapatkan meja tempat gelas ke bawah terpal agar tidak terguyur hujan. Saya menimpalinya dengan tertawa.
“Soalnya tengah malam kadang ada pocong di situ,” lanjut Mbak Dwi saat kembali ke tempat duduknya sembari menunjuk ke arah bekas rumah makan yang sekarang sudah tidak terpakai lagi.
Mendengar hal itu, sontak saya dan kawan saya saling bertatapan. Kami lalu saling mengangguk, tanda sepakat untuk pulang agak malam sedikit untuk mendengarkan Mbak Dwi menuntaskan ceritanya. Meski mata saya rasanya sudah sepet sekali.
Cerita horor di tempat jualan
Angkringan Mbak Dwi terletak di pinggir jalan raya Rembang-Kragan, bersebelahan dengan SPBU Pertamina Jatisari yang sudah mangkrak, atau persis di sebarang jalan Pantai Jatisari Sluke. Dulunya waktu SPBU tersebut masih beroperasi, kawasan tersebut tidak menyeramkan-menyeramkan amat. Ya meskipun letaknya memang berada di seberang pantai dan membelakangi persawahan dan ladang warga.
Namun, setelah SPBU tersebut tutup sekitar awal tahun 2017 lalu, jalanan sekitar situ menjadi gelap dan lengang. Penerangan jalan umum (PJU) sudah lama padam dan tidak pernah diurusi lagi. SPBU Jatisari semakin terbengkalai hingga dipenui lumut dan semak belukar.
Semakin horor karena rumah makan di sisi timur SPBU juga turut tutup dan konon menjadi sarang pocong. Bahkan desas-desasusnya ada serangkaian kejadian horor yang pernah dialami oleh sejumlah pengendara yang melintas di sana di atas pukul sebelas malam.
Itulah kenapa awal-awal ketika Mbak Dwi baru membuka angkringannya, saya sempat berpikir, “Kok isok iku loh bukak angkringan ndek kunu? (Kok bisa itu loh buka angkringan di situ?)” Karena beberapa kali saat saya kebetulan melintas di sana malam-malam, angkringan Mbak Dwi tampak seperti sebuah gubuk tua di tengah belantara yang gelap gulita, membuat saya sama sekali tidak tertarik untuk ngopi di sana.
Di tengah hujan deras dan hembusan angin yang cukup kencang, Mbak Dwi bercerita kalau sejak pertama ia membuka angkringan di area pom bensin mangkrak tersebut, ia dan suaminya kerap kali diteror oleh hantu-hantu penghuni tempat tersebut.
“Kalau beberapa malam ini nggak ada karena rame terus sampai tengah malam. Kalau sepi biasanya dihantui,” ucap Mbak Dwi.
“Pernah pas udah jam satu dini hari, aku kan mau tutup to, Kak. Nah pas beres-beres barang dagangan itu mak bedunduk ada pocong berdiri di dekat jendela rumah makan yang kosong itu,” tutur Mbak Dwi sambil menunjuk ke arah rumah kosong yang dimaksud. Bulu kuduk saya seketika meremang.
“Lah sampeyan terus gimana, Mbak? Nggak takut po?” tanya saya.
“Kaget lah, Kak. Lah ujug-ujug mecungul gitu aja, je. Merinding, takut poll. Tapi kan sama suami, jadi masih ngerasa lega saja. Dan itu sering banget pocongnya tiba-tiba muncul pas aku lagi beres-beres mau pulang. Lama-lama malah jadi terbiasa,” jawab Mbak Dwi dengan mata yang sesekali melirik ke arah rumah makan kosong tidak jauh dari angkirangannya.
Mbak Dwi mengaku, ia juga beberapa kali pernah tindihan tiap tiduran di pelataran rumah makan kosong tersebut. Ia mengaku, setiap menginjak tengah malam dan ia merasa sangat mengantuk, ia akan tidur sejenak dengan menggelar tikar di pelataran rumah makan kosong.
Sementara pekerjaan meladeni pembeli diambil penuh oleh Kak Mansur. Nah, pada saat-saat tidur itulah Mbak Dwi mengaku sering tiba-tiba tindihan. Dalam tindihan tersebut ia seolah melihat bayangan sosok tinggi besar yang menginjak dirinya.
Sementara itu, Kak Mansur juga beberapa kali diganggu oleh hantu penghuni sana. Pernah suatu ketika ia kebelet kencing dan terpaksa menuntaskannya di toilet SPBU yang gelap gulita. Pada saat itulah ia melihat bayang-bayang berkelebatan dan mendengar suara perempuan memanggil-manggilnya dari belakang.
“Pas keluar dari toilet kayak ada yang manggil-manggil, suaranya perempuan, minta ditungguin gitu lah. Tapi pas aku berhenti dan noleh ke belakang, ternyata nggak ada siapa-siapa. Terus pas aku jalan lagi, eh aku denger suara perempuan cekikikan,” tutur Kak Mansur dengan asap rokok mengepul dari mulutnya.
“Suara perempuan nangis juga pernah denger. Pas dicari sumbernya emang dari Pom. Semakin dicari nangisnya semakin kenceng, tapi pas sudah makin deket eh tiba-tiba ngilang, nggak ada suara apa-apa. Ya gitulah, Mas, nanti kalau ditinggal balik malah cekikikan,” imbuhnya.
Tambahan cerita dari Kak Mansur membuat diri saya benar-benar merinding. Sementara kawan saya sedari tadi hanya diam saja dengan wajah yang mengerut.
Perihal angkernya Pom Bensin mangkrak dan rumah makan kosong tersebut juga dibenarkan oleh Bagiyo (50), salah satu sopir truk yang dalam dua bulan terakhir sering beristirahat di SPBU Jatisasri usai jajan di angkringan Mbak Dwi. Ia mengaku pernah melihat ada sosok perempuan dengan rambut panjang menutupi muka berdiri mematung, kadang juga hanya berupa bayangan yang berkelebatan. Lebih sering lagi ia mendengar suara perempuan menangis pilu dan tertawa cekikikan.
“Kuntilanak kan sukanya yang lembab-lembab, Mas, jadi nggak heran kalau ia menghuni pom mangkrak ini. Secara, sudah berlumut dan semak-semaknya banya. Tapi kalau aku sih, sudah biasa ngerti yang gitu-gitu, jadi sudah nggak takut,” bebernya.
Bagyo menambahkan, ia memilih sering istirahat di SPBU Jatisari tiap kali melintas di Rembang memang karena adanya angkringan Mbak Dwi. Menurutnya, selain penjualnya yang grapyak, menu makanan dan minuman di angkringan Mbak Dwi murmer (murah meriah) sekali.
“Gorengan cuma Rp500, kopi Rp3.000, the Rp.2000, nasi kucing Rp3.000. Kalau jajan di sini aku itu bisa habis makanan banyak, tapi uang yang keluar tetep sedikit,” akunya.
Sementara itu, Tedjo (38), salah satu penjaga alat berat di lahan proyek belakang SPBU Jatisari mengungkapkan, ia sendiri memang sudah terbiasa berurusan dengan hantu-hantu penghuni area SPBU Jatisari. Soal pocong penghuni rumah makan kosong itu, seturut pengakuan Tedjo memang sudah ada sejak rumah makan itu dikosongkan pada awal 2017, tidak berselang lama setelah ditutupnya SPBU Jatisari.
Meskipun ia biasanya berjaga sendirian tiap malam, namun ia mengaku senang karena Mbak Dwi membuka angkringan di situ. Sebab, ia bisa jajan dan sedikit-sedikit jagongan dengan Mbak Dwi dan Kak Mansur sebelum kembali ke lokasi proyek.
“Nggak pernah mempersoalkan harga aku itu, Mas. Mau murah, mau mahal terserah yang jual. Wong ya namanya juga nyari duit. Aku suka ngopi di angkringan (milik Mbak Dwi) itu karena orangnya penak’an kalau diajak bicara,” tutur Tedjo sambil mengganyang pisang goreng yang baru saja ia comot dari wadahnya.
***
Jualan di masa PPKM
Pukul 22.15 WIB, hujan memang sedikit mereda, hanya menyisakan rintik-rintik gerimis yang tipis. Kawan saya sebenarnya sudah memberi kode untuk menyudahi obrolan dan mengajak saya bergegas pulang. Namun, saya minta sedikit tambahan waktu agar beberapa pertanyaan terakhir saya dijawab oleh Mbak Dwi.
“Tahu lokasinya horor gini kok masih tetap bertahan di sini, Mbak?” tanya saya usai membalas pesan WhatsApp dari teman kerja.
“Oh, kalau itu karena aji mumpung saja sih, Kak. Soalnya kan awal-awal buka angkringan ini aku nggak punya modal banyak, jadi sebisa mungkin menekan budget. Karena nggak mau nyewa tempat, akhirnya sama bapak coba dinegokan sama pemilik tanah di sini. Alot banget, Kak, awalnya. Tapi alhamdulillah kok boleh. Jadi sementara dibetah-betahin dulu di sini, walaupun emang angker. Tapi yang penting kan nggak bayar,” jelasnya.
Katanya, sementara waktu ia masih akan bertahan di lokasi yang ia tempati saat ini. Akan tetapi jika nanti sudah mengumpulkan modal yang lumayan, ia tidak memungkiri bisa saja berpindah ke lokasi yang lebih nyaman dan strategis.
Demikian juga yang dikatakan Kak Mansur. Ia sendiri sampai saat ini memang masih mengajar di SMP dan SMA Yayasan Al-Yaqin Sluke. Namun, jika mempertimbangkan omzet dari membuka angkringan, ia juga mulai berpikir untuk fokus untuk jualan saja. Sambil mencari tempat yang lebih cocok. Sementara itu pula ia masih bertahan di lokasi angkringan yang sekarang, meskipun gelap dan berhantu.
“Di masa-masa sulit seperti sekarang ini, loh, Kak, wis to aku kok mending dihantui pocong ketimbang diobrak sama aparat. Beneran!” Ucap Mbak Dwi.
Guru honorer ini memang punya pengalaman tidak menyenangkan dengan arapat, karena ia sempat diobrak dan bahkan harus berjualan sambil kucing-kucingan dengan aparat yang berpatroli tiap pukul 20.00 WIB.
Ceritanya, pada masa-masa awal diterapkannya PPKM Darurat, aparat di Rembang, menggencarkan operasi penertiban terhadap para pedagang yang melanggar PPKM Darurat.
Semula Mbak Dwi tidak mengira kalau angkringannya juga bakal jadi sasaran operasi. Ia berpikir, aparat barangkali tidak kepikiran untuk menyisir hingga ke tempatnya yang sedikit nyelempit di tengah kegelapan.
“Bener, to, Kak? Kalau pocong kan paling cuma ngagetin. Tapi kan nggak bikin aku bangkrut. Lah kalau aparat, mesti disuruh tutup, nggak boleh jualan. Paling buruk nanti diangkut. Kalau sudah kayak gitu nanti aku kan nggak bisa jualan lagi, nggak ada pemasukan lagi. Itu kan lebih mengerikan to, Kak?” Sebuah pernyataan dari guru honorer yang tengah berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya.