Hamid sedang asyik bercengkrama dengan dua orang pedagang lainnya di kawasan Kampung Seni Borobudur (KSB), Magelang, Senin siang (3/3/2025). Ia dan dua orang bapak-bapak lainnya tampak jagongan. Mereka duduk di kursi plastik tanpa sandaran.
Seketika, konsentrasi Hamid teralihkan saat melihat saya membawa kamera. Hamid yang sedang mengobrol tiba-tiba menyapa saya dan memamerkan barang-barang seni di sebelahnya.
Langkah saya pun ikut terhenti saat melihat wayang, topeng berlukis batik, miniatur candi, dan patung dewa yang terpajang berjejer di atas meja kayu bertingkat.
“Bagus kan Mbak? Boleh kalau mau difoto, silakan,” ucap Hamid yang tiba-tiba mengizinkan, sebelum saya menawarkan.
“Bagus Pak, seperti di pameran,” jawab saya, yang akhirnya memotret juga.
Usai memotret dan mengucapkan terima kasih, Hamid seolah tak mengizinkan saya melanjutkan perjalanan. Ia tiba-tiba menjelaskan cara membuat kerajinan tersebut. Penjelasan itu pun menarik minat saya untuk berbincang lebih lama dengannya.
Setengah hari membuat tirai bambu
Rupanya, barang-barang kesenian yang terpajang tadi bukan buatannya, tapi kerajinan milik beberapa temannya. Sementara itu, ia ahli membuat tirai bambu gulung. Tirai itu sendiri ia pasang di dinding-dinding, persis di seberang pajangan kesenian yang saya foto tadi.
“Tirai yang bergambar burung ini harganya Rp150 ribu, Mbak. Ada pasangannya juga, jadi waktu dipasang burungnya berhadap-hadapan,” ucap warga asli Magelang tersebut, yang akhirnya berdiri mendekati saya.
Karena penasaran, saya akhirnya mengikuti langkah Hamid ke lapaknya yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat duduknya. Di sana, ada kerajinan karya Hamid yang lebih beragam. Hamid juga menunjukkan caranya membuat tirai.

Pertama-tama, Hamid mengeluarkan alat pahat dan sebuah batang bambu yang sudah dicat hitam. Barulah Hamid mengukir batang tersebut dengan gambar macam-macam. Karena di Borobudur, maka yang paling khas adalah gambar candi. Lalu, burung merak dan kaligrafi.
Setelah dipahat dan dihaluskan, batang bambu tersebut kemudian dibelah jadi dua dengan arit. Lalu, dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Barulah dirangkai menggunakan benang.
“Setelah itu bisa dikasih cat dan pernis, biar mengkilap,” kata Hamid.
Selain berjualan, pedagang di kawasan Kampung Seni Borobudur (KSB), Magelang juga bisa memberikan pembelajaran untuk para pengunjung yang ingin mencoba membatik, membuat gerabah, menganyam atau memahat bambu supaya jadi tas, tirai, sandal, dan sebagainya. Kegiatan itu biasa dilakukan di pendopo. Nantinya, karya yang dibuat pengunjung bisa dijual lagi oleh pedagang.
Belajar kerajinan dari paman yang juga jualan di Magelang
Teknik membuat tirai bambu Hamid pelajari sejak duduk di bangku kelas 6 SD dari pamannya. Ia sering memperhatikan pamannya berdagang di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, hingga mengikuti jejaknya sampai sekarang. Oleh karena itu, sangking mahirnya, ia bisa menyelesaikan satu tirai bambu dalam waktu setengah hari.
“Saya cuman lulusan SD, jadi keahliannya hanya ini,” ucap Hamid.

Karena ikut pamannya, Hamid mulai berdagang di kawasan kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah sejak tahun 1990 saat usianya 15 tahun. Biasanya, ia sudah siap membuka lapaknya dari pukul 08.00 WIB hingga 16.00 WIB. Di tahun 2000-an, Hamid bisa memperoleh uang Rp200 ribu dalam sehari.
“Dari dulu saya kerjanya cuman ngasong, jualan. Jadi selain di kawasan Candi Borobudur saya juga jualan di lapangan sama Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Borobudur khusus hari Rabu,” kata warga Magelang itu.
Dari pekerjaannya tersebut, Hamid bisa menikahi Armiana yang juga merupakan warga asli Magelang di tahun 1997. Penghasilannya pun cukup untuk memenuhi kebutuhan ketiga orang anaknya.
“Anak-anak saya sudah kerja semua, tapi saya tetap berdagang biar nggak ngerepotin mereka. Biar cukup untuk keluarga,” ujar Hamid.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pensiun dari Guru, Raup Puluhan Juta dengan Menganyam Bambu di Minggir Jogja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.