Cerita peran kaum boro yang merantau ke Jakarta
Ada dua periode penting soal tradisi merantau bagi kaum boro Wonogiri. Kata Heri Priyatmoko, yang pertama adalah perantauan ke Solo di era kolonial Hindia-Belanda (saat Solo berstatus kotapraja) dan kedua yakni perantauan ke Jakarta setelah masa kemerdekaan.
Pada intinya, dua lokasi itu menjadi destinasi karena satu alasan: pusat keramaian yang mereka anggap bisa mengubah nasib.
Maka, setelah kemerdekaan banyak kaum boro Wonogiri berbondong kerja di Jakarta. Terlebih setelah adanya proyek pembangunan Waduk Gajah Mungkur (WGM) akhir 1970-an, hasrat merantau makin besar. Apalagi pemerintah Orde Baru juga “memaksa” masyarakat Wonogiri meninggalkan kampung halamannya via program transmigrasi.
Berdasarkan penelusuran saya dan tim liputan Mojok, kondisi ini cukup penting untuk menandai “pertemuan ulang” masyarakat Wonogiri dengan mie, khususnya mie ayam. Pasalnya, kebanyakan perantau di Jakarta memilih bekerja untuk warung-warung mie milik orang Tionghoa.
Kisah berikutnya bisa kita tebak, mereka belajar teknik bikin mie dan memanfaatkan kemampuannya di kemudian hari untuk jualan mie ayam.
Mengasah skill bikin mie ayam di Jakarta
Ada banyak kesaksian penjual mie ayam Wonogiri yang mengaku bahwa awalnya mereka belajar membuat mie di Jakarta, khususnya dari orang-orang Tionghoa.
Salah satunya Eddy Santoso, Presiden Mie Ayam Tunggal Rasa atau Ketua Paguyuban Mie Ayam Tunggal Rasa, yang sudah memiliki 1.500 anggota. Kepada kami, ia mengaku bahwa rintisan awal usahanya tak lepas dari peran orang-orang Tionghoa di Jakarta.
Menurut Eddy, sejak 1970-an ada warga Wonogiri bernama Pak Sirat yang bekerja di warung mie milik orang Tionghoa. Kemudian, Pak Sirat memberanikan diri membuka usaha mie ayam kecil-kecilan yang dijual melalui gerobak dorong. Langkah ini diikuti ayah Eddy, yakni Keman Sucipto, yang membuka bisnis serupa pada awal 1980-an setelah belajar bikin mie dari Pak Sirat.
“Setelah itu ayah mengajak orang Wonogiri lain untuk ke Jakarta jualan mie ayam,” kata pengusaha yang sudah menjual mie ayam sejak 1988 ini, Senin (30/10/2023).
“Ayah saya adalah salah satu orang yang membuka jalan bagi warga Wonogiri berjualan mie ayam di Jakarta,” sambung Eddy.
Penjual lain yang menimba ilmu dari orang-orang Tionghoa di Jakarta
Hal serupa juga Sumarno ungkapkan, pemilik Mie Ayam dan Es Asem di Wonogiri ini adalah salah satu warung mie ayam paling legendaris di Wonogiri. Meskipun tak pernah berjualan mie ayam di Jakarta, tapi tetap ada peran orang-orang Tionghoa di ibu kota dalam bisnisnya itu.
Sumarno mengaku, pada 1980-an ia sudah di Jakarta untuk berjualan es campur. Tak lama di Jakarta, ia kemudian pulang ke Wonogiri dan memutuskan berjualan es asem karena sedang banyak peminatnya.
Kala itu, Sumarno berjualan es asem dekat warung mie ayam milik temannya, Pak Sabar dan Pak Jangkung. Dua orang inilah, seperti Sumarno ungkap, adalah guru yang mengajarkannya membuat mie ayam.
“Pak Sabar dan Pak Jangkung ini yang dulu belajar mie ayam saat bekerja di warung milik orang Cina di Jakarta,” kata Sumarno, Selasa (31/10/2023).
Bahkan, penjelasan serupa juga kami dapatkan dari Kepala Dusun Kutukan, Bubakan, Girimarto, Wonogiri, Kasno. Desa ini belakangan menjadi viral lantaran banyak penduduknya yang merantau ke Jakarta untuk berjualan mie ayam dan bakso.
Kebanyakan dari bahkan berhasil mencapai kesuksesan; terlihat dari rumah megah yang berhasil mereka bangun.
Kata Kasno, 60 persen penduduk Dusun Kutukan pergi merantau ke luar daerah. Dari jumlah tersebut, lebih dari separuhnya berjualan mie ayam ke Jakarta.
“Sebenarnya tidak hanya mie ayam, ya. Mereka pada dasarnya berjualan bakso, mie ayam, buat para suami. Sementara para istri menjual jamu,” kata Kasno, yang Mojok temui di rumahnya, Selasa (31/10/2023).
Kasno menuturkan, bahwa para perantau yang menjual mie ayam tersebut pada awalnya bekerja di warung mie milik orang Tionghoa. Selepas memiliki kemampuan membuat mie, mereka akhirnya memberanikan diri membuka usaha sendiri.
“Gethok tular istilahnya, karena satu sukses yang lain mengikuti sehingga makin banyak warga yang merantau ke Jakarta jual bakso dan mie ayam. Sekarang ada yang sampai Sumatera dan Papua,” jelas Kasno.
Mie ayam itu sudah teruji zaman dan merakyat
Baik Eddy Santoso, Sumarno, dan Kasno, sepakat bahwa bisnis jualan mie ayam belum menjadi primadona pada 1990-an. Pada saat itu, penjual mie ayam di Wonogiri malah bisa dihitung jari.
Warga Wonogiri mulai banyak membuka warung mie ayam di kota asalnya pada akhir 1998. Ini setelah krisis moneter memaksa mereka pulang dari Jakarta.
Bahkan, sebagaimana Eddy ungkapkan, pada awal 2000-an pun masih banyak warga Solo dan sekitarnya yang kurang familiar dengan mie ayam. Bahkan ada ketakutan kalau mie ayam itu mengandung babi.
Namun, karena semakin banyaknya orang berjualan, mie ayam pun lantas segera jadi primadona.
Heri Priyatmoko menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan mengapa mie ayam eksistensinya bertahan hingga sekarang. Katanya, kalau dari sisi penjual terus mereka pertahankan karena sudah teruji zaman.
Pendeknya, sejak masa kolonial hingga sekarang, mie selalu cocok di lidah pembeli. Tinggal sesuaikan saja dengan market dan selera masyarakat tempat menjual mie ayam .
“Itulah mengapa di Yogyakarta dominan manis karena itu selera warganya, sementara di Solo dan sekitarnya terasa lebih gurih-asin,” kata Heri.
Mie ayam akan selalu laku sepanjang masa
Sementara dari sisi pembeli, menurut Heri, orang-orang akan terus makan mie ayam karena merupakan hidangan yang merakyat; bisa dinikmati semua kalangan dan harganya murah. Selain itu, makanan ini juga cocok disantap di berbagai kondisi.
“Makan saat panas, ya oke. Pas dingin juga makin segar,” jelasnya.
Kini, mie ayam telah menjadi primadona. Para perantau alias kaum boro Wonogiri punya peran penting dalam menyebarkan makanan ini ke hampir seluruh kota di Indonesia. Namun, yang perlu saya sampaikan, meski ada banyak warung mie ayam di tiap gang dan jalan kecil di Wonogiri, karakter mereka tidak tunggal. Meski sama-sama punya tajuk “mie ayam wonogiri”, mereka punya keberagaman rasa dan ciri khas.
Reporter: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Tulisan ini merupakan bagian dari Ekspedisi Mie Ayam Wonogiri