Ada banyak bentuk diskriminasi dan ketidakadilan yang terjadi sepanjang Bulan Ramadan. Bagi warga Bantul, DIY, bentuk yang selalu terjadi dan paling menyebalkan, adalah ajakan buka bersama alias bukber di wilayah Sleman. Kenapa demikian?
**
Bagi Annisa Ramadhani (25), ajakan bukber selalu menjadi hal yang bikin dia deg degan. Namun, itu bukan karena ia malas ketemu teman-temannya. Bukber jadi ajang flexing, bukan juga jadi penyebabnya. Namun, perempuan yang tinggal di daerah Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul, ini punya alasan lain yang nyatanya jauh lebih kompleks.
Tempat tinggal Nisa, sapaan akrabnya, boleh kita bilang, berada di Jogja bagian selatan. Meski enggak selatan-selatan banget seperti Poncosari, Srandakan yang jaraknya sejengkal saja dari bibir pantai selatan.
Karena rumahnya berada di bagian selatan, tentu ada berbagai masalah ketika ia diharuskan buat menghadiri acara yang sebetulnya enggak terlalu penting, tapi tak bisa juga ia tolak. Seperti bukber, khususnya bukber yang diselenggarakan di daerah utara, yakni Sleman.
“Aku enggak masalah ya dengan bukbernya,” kata mahasiswa S2 salah satu PTN Jogja ini, saat Mojok hubungi via sambungan telepon, Kamis (14/3/2024) kemarin. “Masalahnya itu ya kalau bukbernya di Sleman,” ujarnya.
Dipaksa “mau” bukber di wilayah Sleman
Perkara perjalanan jauh dari selatan ke utara, sebenarnya sudah jadi makanan sehari-hari bagi Nisa. Bagaimana tidak, tiap harinya rata-rata ia menghabiskan waktu satu jam perjalanan dari rumah menuju kampusnya di Sleman. Artinya, jadi penglaju dari selatan ke utara sudah jadi jalan ninjanya selama menjadi mahasiswa.
“Udah lima tahun lebih aku jalani jadi penglaju selatan ke utara. Fine-fine aja,” kata warga Bantul ini.
Namun, bagi Nisa, persoalan bukber itu urusan lain. Kalau urusan kuliah, misalnya, ia rela menjadi penglaju karena itu sudah jadi kewajibannya. Tapi kalau bukber, sebenarnya itu persoalan antara penting dan enggak penting.
Disebut penting karena buat menjaga tali pertemanan. Belum lagi kalau teman-temannya adalah perantau, bisa jadi bukber jadi pertemuan terakhir mereka sebelum libur lebaran. Tapi bukber bisa juga jadi tak penting kalau agendanya itu-itu saja.
“Paling males kalau udah jauh-jauh datang, banyak teman yang sibuk main HP sendiri-sendiri. Ngumpul pas foto bareng aja,” keluh Nisa. Meski mengeluh, ia seolah tak bisa berkata tidak pada tiap ajakan bukber karena coba menghargai teman-temannya.
“Mau itu bukber alumni SMA, teman kuliah, kalau ada ajakan datang aja, sempetin. Enggak enak dan enggak bisa nolaknya. Kayak aku tuh udah dipaksa buat mau gitu.”
Dari selatan ke utara, energi habis di perjalanan
Salah satu hal yang selalu bikin warga Bantul ini mengeluh tiap menerima ajakan bukber di wilayah Sleman adalah “energinya yang kerap habis di perjajalanan”. Bagaimana tidak, rata-rata ia harus menempuh satu jam perjalanan untuk sampai ke lokasi.
Alhasil, buat memastikan datang tepat waktu, biasanya ngumpul sejak pukul setengah 5 sore, Nisa harus berangkat satu jam lebih awal. “Kalau yang tinggal di sekitaran lokasi bukber ‘kan enak. 10 menit, 15 menit sampai,” katanya. “Itupun belum termasuk persiapan lain. Apalagi kalau masih ada urusan di rumah. Ya minimal jam tiga itu udah kudu siap.”
Nisa juga mengaku, penderitaannya bisa dobel kalau bukber terselenggara di waktu weekday, hari-hari masuk kuliah. Kalau demikian, ia sudah seperti setrikaan, bolak-balik selatan ke utara seharian. Pagi ngampus, rada sorean pulang untuk mandi dan dandan, kemudian berangkat lagi untuk bukber.
“Makanya energi tuh sudah kerap habis di jalanan,” kata perempuan Bantul ini.
Melewati “lampu merah jahanam” demi bukber
Nisa ada benarnya juga. Kalaupun enggak terlalu lelah fisik, karena memang sudah biasa laju utara ke selatan, capek batin lah yang kerap ia rasakan.
Bayangkan saja, kalau dia hitung-hitung, jarak rumahnya ke tempat bukber rata-rata 40 kilometer jauhnya. Belum lagi kalau kesepakatan bukbernya ada di area Jalan Kaliurang. Udah jaraknya nambah jauh, masih harus nanjak pula.
Nisa sendiri mengaku masih bisa menoleransi satu jam perjalanan tersebut. Tapi yang bikin sebal, adalah hal-hal random yang sering ia alami di jalan.
Misalnya, buat ke lokasi bukber ada puluhan lampu merah yang harus ia lewati. Termasuk, jika ia lewat dalam kota, adalah Bangjo Concat dan Simpang Empat Pingit, dua lampu merah terlama dan terkenal paling menyebalkan di Jogja.
“Ada aja kejadian random. Dipisuhi pengendara lain lah, stres karena motor gak maju-maju lah. Rasanya ingin ikut misuh tapi ingat kalau lagi puasa,” kisahnya.
Buat hari-hari biasa, mungkin hal-hal seperti itu tak akan ia masukan hati. Namun, karena ini puasa, yang mana energinya sudah menipis dengan perut yang kosong, perasaan dongkol di jalanan tak bisa Nisa bendung.
Baca halaman selanjutnya…
Orang Sleman selalu bilang kalau ke Bantul itu jauh. Padahal,…