Baru Juli saja, beberapa desa di Jawa Timur warganya sudah sangat sibuk mempersiapkan diri untuk karnaval sound horeg menyambut 17 Agustusan. Kini, memasuki Agustus, tentu akan lebih sibuk lagi.
Seperti diketahui, kendati banyak yang mengaku menikmati karnaval sound horeg, tapi ada banyak pula kelompok orang yang meresahkannya. Narasumber Mojok malah mengalami kondisi “unik”.
Sebab, keresahan perihal keberadaan sound horeg tidak lagi hanya karena persoalan suara menggelegar dan memekakkan telinga saja. Di desa narasumber Mojok, keresahan menjalar pada arogansi pegiatnya: karena melabrak bahkan mendenda orang yang tidak mau terlibat karnaval. Memaksa orang untuk menyukai suara pekak dari tumpukan sound system tersebut.
Tak mau konflik dengan pegiat karnaval sound horeg, pilih fokus kerja
Sama seperti narasumber-narasumber Mojok sebelumnya, Juwanda (27) menyebut kalau geliat sound horeg di desanya—sebuah desa di Jawa Timur—terjadi pasca pandemi Covid-19.
Hanya saja, waktu itu skalanya masih kecil. Sound horeg yang dimaksud adalah tumpukan sound system yang diarak dengan truk. Musik yang diputar adalah DJ jedag-jedug. Itulah yang dimaksud horeg-nya: karena dalam DJ jedag-jedug, biasanya ada sentuhan suara horeg atau bergetar. Sementara untuk volumenya masih bisa ditoleransi telinga.
Namun, makin ke sini, sound horeg benar-benar meng-horeg-kan sekitar. Sebab memakai volume tinggi yang bahkan bisa menggetarkan dinding rumah, memecahkan kaca, hingga membuat genteng-genteng berjatuhan.
“Lebih meresahkan lagi karena ada karnavalnya. Masalahnya, karnavalnya bukan karnaval unjuk kreativitas. Tapi unjuk pantat dan dada. Coba lihat saja di media sosial, kalau ada karnaval sound horeg, pasti ada pejoget yang seperti emak-emak birahi,” ungkap Juwanda, Jumat (1/8/2025).
Itulah yang membuat Juwanda tak begitu menyukai karnaval sound horeg, dan tak berminat untuk terlibat sama sekali. Sekalipun belakangan warga desanya sibuk latihan karnaval, dia memilih fokus kerja, sepulangnya ya kumpul dengan keluarga di rumah. Abai saja dengan sekitar yang sudah sangat keranjingan “kotak bergetar” itu.
Tetap kena labrak padahal tak menghujat
Mengkritik atau menghujat aktivitas warga desanya tentu saja “setor nyawa”. Oleh karena itu, Juwanda memilih tidak mencari gara-gara.
Kalau dia rasan-rasan soal karnaval sound horeg, hanya berhenti di dalam rumahnya saja. Bersama adik dan orangtuanya yang juga tidak menyukai horeg.
“Kadang di medsos lihat kan ada orang banyak yang menghujat. Aku nggak pernah ikut komentar. Cuma kupendem di hati saja. Ternyata yang nggak suka banyak juga, nggak cuma keluargaku. Ternyata nggak suka sound horeg itu bukan sesuatu yang nggak normal,” kata Juwanda dengan derai tawa.
Akan tetapi, berusaha menghindari konflik sekaligus upaya hidup damai di tengah hiruk-pikuk karnaval sound horeg di desanya tak serta-merta membuat Juwanda luput dari masalah. Peristiwa tak menyenangkan terjadi belum lama ini, di menjelang akhir Juli 2025 lalu.
Sepulang kerja menjelang Magrib pada Sabtu malam, saat memasuki jalanan desa dan melewati kerumunan warga yang latihan joget untuk karnaval, lirikan-lirikan sinis tertuju pada Juwanda. “Aku salah apa?” Begitu yang terlintas di kepalanya. Tapi sepersekian detik setelahnya, Juwanda memilih tak peduli. Wong ya dia merasa tidak berbuat salah atau hal-hal merugikan orang lain.
“Minggu paginya kan aku libur. Ada tiga warga, dua anak muda dan satu orang dewasa lah ke rumahku. Ternyata melabrak,” ucap Juwanda.
Warga mempertanyakan pilihan sikap Juwanda yang cuek dan enggan terlibat karnaval sound horeg. Dia dituding menganggu kerukunan warga. Hanya karena warga lain kompak ikut menyemerakkan karnaval, sementara Juwanda hanya acuh.
Hari-hari didiamkan
Sempat terjadi perdebatan di depan rumah Juwanda. Tapi untungnya tak sampai konfrontatif hingga menyebabkan adu pukul.
Apakah itu lantas membuat Juwanda mau tak mau harus ikut meramaikan karnaval sound horeg? Jawabannya: tidak! (dengan tanda seru).
“Maksudku itu kan selera. Kalau aku nggak suka, kenapa harus dipaksa? Toh aku juga nggak merecoki. Jadi aku nggak ambil pusing, walaupun ada beberapa warga yang mendiamkan keluargaku, kami bodo amat,” tegas Juwanda.
Sampai hari ini, dia masih menjalani hari sebagaimana biasanya. Kerja. Pulangnya kumpul keluarga. Kalau butuh keluar dari desa yang terkontaminasi “kotak geter” itu dia memilih ngopi di luar. Begitu lebih damai.
Tak ikut karnaval sound horeg eh didenda
Saat surat pemberitahuan masuk ke rumah Aini (25), dia kaget bukan main. Pasalnya, surat tersebut sangat instruktif: Ketua RT meminta setiap rumah mewakilkan perempuan—baik yang muda maupun ibu-ibu—untuk ikut sebagai peserta karnaval.
Masalahnya, para perempuan itu nantinya diminta untuk jadi pengiring sound horeg, sebagai pejoget. Aini dan keluarganya tentu saja emoh.
“Apa faedahnya buat kami? Kalau karnaval yang kreatif-kreatif oke lah. Tapi kamu tahu kan joget-joget di karnaval sound horeg itu seperti apa? Joget-joget binal. Masa aku atau ibuku misalnya disuruh joget binal. Kami nggak mau. Apalagi sudah diharamkan MUI,” ungkap perempuan yang juga berasal dari sebuah desa peranjing “kotak geter” tersebut.
Sound horeg di desa Aini merebak baru pada awal 2025 lalu, setelah karnavalnya menjadi tren di beberapa daerah lain di Jawa Timur. Barangkali warga desanya tak mau ketinggalan tren, sehingga ikut keranjingan juga.
Aini, meski kadang merasa resah atas penampilan pejoget dan getaran suara sound horeg, tapi dia mengaku tak berani menyenggol-nyenggol. Urusan masing-masing kok.
“Tapi kalau yang ini kan aneh. Masa diwajibkan ikut terlibat karnaval?” Keluh Aini.
Singkat cerita, karena menolak terlibat, keluarga Aini dikenai denda sebesar Rp50 ribu. Katanya sebagai ganti partisipasi.
Kata Aini lagi, ternyata dia tidak sendiri. Ada beberapa tetangganya yang menolak ikut. Alhasil mereka juga dikenai denda.
Lebih baik didenda daripada jatuhkan martabat
Aini dan keluarganya lebih memilih didenda. Walaupun beberapa tetangganya akhirnya memutuskan untuk ikut berpartisipasi daripada keluar uang Rp50 ribu.
Bagi Aini, martabat diri jauh lebih mahal dari sekadar uang Rp50 ribu. Oleh karena itu, dia memilih untuk membayar saja.
“Tapi konsekusinya sebenarnya nggak cuma itu. Ada konsekuensi sosial, yaitu kami dianggap sebagai warga yang nggak kompak dan nggak guyub. Tapi itu bukan masalah besar bagiku,” kata Aini.
Agustus 2025 sudah mulai jalan. Latihan-latihan karnaval sound horeg makin intens. Tak hanya anak muda, emak-emak tampak sangat enjoy berjoget di tengah alunan musik jedag-jedug.
Ah, Aini tidak bisa membayangkan, kalau ibunya ikut seperti itu, betapa malunya dia sebagai anak. Untungnya, kata Aini, ibunya masih sangat waras untuk tidak ikut arus.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Derita Mahasiswa KKN di Desa Sound Horeg: “Dipaksa Jadi Jamet” buat Karnaval, Kalau Nolak Bisa Diusir atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












