Agak susah jika mengaku berasal dari Rembang kala di perantauan. Sebab, kota di pesisir utara Jawa ini memang tidak begitu terkenal. Jika menjawab “Rembang” tiap kali ditanya “Asalnya dari mana?”, si penanya sering kali mengira Rembang adalah bagian dari Jepara. Padahal kedua kota ini berbeda sama sekali. Belum lagi salah kira-salah kira yang lain. Terasa sekali kesenjangan daerahnya.
Rembang dikira Jepara karena RA. Kartini
Kesenjangan daerah—tren media sosial yang sedang ramai belakangan—menyadarkan Firoh (22) pada fakta bahwa kota kelahirannya, Rembang, ternyata tidak sedikenal itu oleh orang luar. Kendati kota ini punya kaitannya dengan sejarah Indonesia.
Sebab, di kota inilah RA. Kartini menghabiskan hidup untuk memeras pikirannya dalam memperjuangkan hak perempuan. Di kota ini pulalah RA. Kartini disemayamkan di pembaringan terakhir.
“Aku kan kuliah di Malang. Sejak zaman maba (mahasiswa baru) sampai sekarang, orang pasti bingung kalau aku ngaku dari Rembang,” ujar Firoh, Sabtu (3/5/2025).
Respons yang Firoh terima unik-unik. Misalnya, ada yang meminta agar Firoh menyebutkan nama kabupatennya saja, karena mengira Rembang itu nama desa atau kecamatan. Sehingga tidak masuk dalam wawasan geografi umum orang lain.
“Loh itu kabupaten….” Pembelaan Firoh.
“Iya, ta? Di Jateng atau Jatim?”
Begitulah kira-kira percakapan yang bakal terjadi.
“Atau seringnya malah dikira Jepara. Karena setahu orang lain, RA. Kartini itu kan lahir di Jepara lalu dinikahi Bupati Rembang. Alhasil, mengiranya Rembang itu bagian dari Jepara,” sambung Firoh.
Kalau sudah begitu, Firoh biasanya akan menjelaskan bahwa setelah dinikahi Bupati Rembang, Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat, RA. Kartini lalu diboyong ke Rembang.
Bahkan dia juga dimakamkan di kota kecil di pantura itu. Namun, orang yang mendengarnya malah sangsi: Masa iya dimakamkan di Rembang? Kok nggak pernah dengar?
Sering dikira dekat dengan Semarang
Selain itu, Rembang sering kali dikira dekat dengan Semarang. Hanya karena menyebut Rembang bagian dari “Jawa Tengah”.
“Misalnya gini, ada teman yang pengin main ke rumahku. Terus requsest, ‘Nanti ajak jalan-jalan ke Semarang ya’,” tutur Firoh.
Tentu saja Firoh kebingungan. Yakin mau jalan-jalan dari Rembang ke Semarang? Karena perjalanan dari Malang ke Rembang saja sudah sangat menguras energi.
Ternyata, teman Firoh mengira kalau jarak Rembang dengan Semarang berdekatan. Hanya setengah jaman. Padahal, butuh waktu tempuh 3 jaman untuk sampai ke Ibu Kota Jawa Tengah itu.
Ditambah lagi, perjalanan ke Semarang terasa sangat menyiksa karena harus melewati aspal rusak dan tidak merata, berhadapan dengan bus dan truk-truk besar, serta panas pantura yang menyengat.
Kaget karena di Rembang tidak ada stasiun kereta api
Saya pun mengalami konteks kesenjangan daerah itu. Karena sialnya, Rembang tidak memiliki stasiun kereta api.
Semasa kuliah di Surabaya dulu, teman-teman saya begitu bersemangat untuk ikut saya pulang ke Rembang. Khususnya saat libur semester.
Pertama, saya kadung banyak bercerita bahwa kota ini punya banyak jejak sejarah yang tidak banyak dibahas dalam buku-buku. Sebagai mahasiswa Sejarah, tentu saja teman-teman saya semangat.
Kedua, kota ini punya hasil laut melimpah. Apalagi simbah saya adalah spesialis penangkap rajungan. Sementara ibu saya kerja di pabrik pengolahan cumi-cumi. Mereka tergiur untuk menikmati masakan-masakan laut itu tanpa harus bayar mahal sebagaimana kalau makan di restoran seafood.
Mereka mengira, perjalanan ke kampung halaman saya akan mudah-mudah saja. Tinggal pesan tiket kereta, lalu perjalanan berlangsung mulus sampai tujuan. Tapi nyatanya tidak demikian.
Kota berjuluk Kota Dampo Awang ini memang sempat punya dua stasiun kereta api: Rembang dan Lasem, dengan rute terjauh hingga ke Jatirogo, Cepu, dan Semarang. Hanya saja, stasiun kereta api itu sudah berhenti beroperasi sejak 1980-an.
Alhasil, banyak teman saya yang kaget. Kok bisa ada kota yang tidak memiliki stasiun kereta api?
Mereka pada akhirnya mengikuti cara saya untuk sampai ke rumah: kalau tidak naik bus ya naik motor. Tentu saja, rata-rata merasa tersiksa dengan perjalanan sepanjang 5 jam melewati Gresik-Lamongan-Tuban tersebut.
Kini setelah saya pindah ke Jogja, ketiadaan stasiun kereta api di Rembang membuat perjalanan pulang saya makin terasa sangat melelahkan. Saya harus dua kali naik bus dengan total waktu tempuh 7-8 jam.
Klub bola tidak main di Liga 1
Dari persoalan stasiun kereta api, bercandaan pun mulai melebar ke persoalan klub sepakbola.
“Emang punya klub bola? Kok nggak pernah kelihatan di Liga 1?”
“Nama klub bolanya apa? Persere?”
“Eh ada stadion juga nggak sih? Stasiun aja nggak ada.”
Teman-teman. Rembang punya klub blola namanya PSIR. Punya stadion juga bernama Stadion Krida yang berlokasi di jantung kota.
Hanya saja, dua entitas sepakbola itu memang tidak semencolok klub-klub dari kota besar. Wong sama Persijap Jepara yang sama-sama kota kecil saja kalah terkenal kok.
PSIR masih jatuh bangun di kompetisi amatir. Sementara Stadion Krida kondisinya masih jauh dari standar liga profesional.
Mi Gacoan telat masuk
Sementara kesenjangan daerah yang Widi (25) rasakan adalah ketiadaan waralaba-waralaba terkenal, seperti Reecheese Factory, McD, KFC, atau waralaba kopi terkenal seperti Tomoro
“Kalau Mi Gacoan, sekarang udah ada, walaupun agak telat. Kalau sebelum-sebelum ini, kan ada temen mau main ke rumah terus kujawab di Rembang nggak ada hiburan menarik. Terus dia bilang, nggak apa-apa lah nanti nongkrong di Reechees aja atau nonton di bioskop. Dari situlah kekagetan bermula,” ungkap perempuan yang kini bekerja di Surabaya itu.
Setelah tahu di Rembang tidak ada Reecheese, pertanyaan langsung merembet pada keberadaan McD, KFC, hingga bioskop. Kalau sudah begitu, sebutan “kabupaten terpencil” pun akan Widi terima.
Catatan: Tren kesenjangan daerah ini pada dasarnya hanya untuk lucu-lucuan di media sosial, mengiringi viralnya tren kesenjangan sosial, untuk menggambarkan betapa senjangnya kondisi satu sama lain. Kesenjangan daerah pun muncul bukan atas intensi mengkerdilkan suatu daerah. Tapi menyajikan salah kira orang lain terhadapan daerah tertentu.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Jadi Buruh Pabrik di Rembang: Kerja Habis-habisan dari Pagi hingga Larut Malam, Masih Tak Dikasih Libur atau liputan Muchamad Aly Reza lainnya di rubrik Liputan