Kuliah di Jurusan Pariwisata sering dianggap santai. Sialnya, anggapan itu tidak sepenuhnya benar.
Memang ada beberapa aspek yang mungkin terlihat lebih fleksibel atau menyenangkan kalau dibandingkan jurusan lain. Namun, kenyataannya, jurusan ini menuntut kerja keras, profesionalisme tinggi, serta kesinambungan antara teori dan praktik.
Mojok pun menggali realitas di balik anggapan “santai” ini, langsung dari mereka yang menjalaninya.
Kuliah di Jurusan Pariwisata, niat santai, malah terbantai
Di Indonesia sendiri, Jurusan Pariwisata telah berkembang pesat. Hal ini seiring dengan fokus pengembangan pariwisata dalam negeri yang terus digenjot. Sehingga, pengembangan sumber daya manusia untuk menunjangnya pun terus diupayakan.
Alhasil, banyak perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, menawarkan program studi di bidang ini. Mulai dari tingkat diploma, bahkan pascasarjana.
Sebut saja kampus-kampus besar seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Udayana, Universitas Brawijaya (UB), hingga Politeknik Pariwisata NHI Bandung dan Institut Pariwisata Trisakti.
Semua kampus ini aktif mencetak tenaga profesional pariwisata, menunjukkan betapa seriusnya komitmen negara dalam mengembangkan sektor pariwisata.
“Dulu sih mikirnya ini jurusan santai, biar bisa jalan-jalan gratis. Seru-seruan,” ucap Arya, seorang mahasiswa semester enam Jurusan Pariwisata dari salah satu PTS di Jogja, kepada Mojok, Kamis (3/7/2025) pagi.
“Tapi ternyata, beban akademik sama praktikumnya itu gila-gilaan, Mas. Niat santai malah terbantai.”
Teori bikin pusing, praktiknya lebih njelimet
Ketika memutuskan untuk kuliah di Jurusan Pariwisata, awalnya Arya mengira akan banyak bergelut dengan praktik. Baginya ini bakal menyenangkan, karena ia tipikal orang yang lebih senang “learning by doing”.
Sialnya, sebelum terjun untuk praktik langsung, ia sudah dijejali banyak teori. Seabrek. Kudu ia hafal dan pahami semua.
“Jadi di semester-semester awal, isinya teori semua. Banyak banget yang nggak cuma kita harus hafalin, tapi juga pahami,” ujarnya.
“Misalnya, di mata kuliah hotel operations, selain belajar struktur organisasi hotel, kita kudu mecahin case sulit. Kayak kalau ada tamu nakal pura-pura barangnya ketinggalan, kita harus mikir cepat gimana nanganinnya tanpa bikin dia marah, tapi hotel juga nggak rugi. Pusing nggak tuh?”
Selesai bergelut dengan teori-teori yang bikin pusing, Arya masih dituntut buat mengimplementasikannya secara presisi di lapangan. Baginya, praktik lapangan ini bikin lebih berkeringat dingin lagi.
“Kalau pas teori terus kita salah, paling akibatnya nggak fatal-fatal banget. Tapi pas praktik terus kita bikin kesalahan, karier taruhannya, Bro.”
Salah sebut nama candi, bikin malu
Soal bikin kesalahan saat praktik, mahasiswa Jurusan Pariwisata ini jadi teringat ketika ia menjalani simulasi tour guiding ke sebuah candi. Meski namanya simulasi, tapi klien yang dia hadapi adalah turis beneran.
“Nah, kita tuh awalnya disuruh belajar dulu soal sejarah destinasinya, budaya lokal, sampai mitos-mitos yang ada. Terus, harus bisa bikin narasi yang menarik biar wisatawan nggak bosan,” ungkap Arya.
“Gara-gara aku nggak menguasai materi, jadi penjelasannya rada ngawur. Bahkan, itu candi kana namanya kedengaran jorok. Jadi pas aku jelasin mereka ketawa, aku ikut ketawa. Yang ada bukan menjelaskan budayanya, malah yang ada lempar-lemparan jokes seksis.”
Setelah praktik itu, Arya disemprot habis-habisan oleh dosennya. Ia dibilang kalau caranya nge-guide tidak etis. Bayangkan, kalau itu terjadi di dunia kerja sungguhan, pasti dirinya sudah kena pecat.
“Jadi di Jurusan Pariwisata, istilah ‘mulutmu harimaumu’ itu nyata adanya. Salah ngomong, kelar itu karier.”
Waktu nongkrong mahasiswa Jurusan Pariwisata habis buat magang
Arya menambahkan, porsi terbesar yang menguras tenaga, waktu, dan bahkan waktu nongkrong mahasiswa Jurusan Pariwisata adalah program magang. Ini bukan magang biasa yang cuma sebulan dua bulan untuk memenuhi syarat kelulusan.
Di banyak Jurusan Pariwisata, magang adalah bagian integral dari kurikulum yang berlangsung dalam durasi panjang; seringkali enam bulan penuh. Dan, tak jarang dilakukan di luar kota atau luar pulau.
“Magang itu wajib dan durasinya lama banget. Ada yang sampai enam bulan penuh, bahkan lebih. Dan lokasinya itu nggak bisa milih sembarangan, bisa di mana aja tergantung penempatan,” cerita Arya.
“Aku sendiri magang di Bali. Jangan bayangin itu asyik karena bisa jalan-jalan. Nggak banget! Waktu kita abis buat kerja,” kata dia.
Pengalaman Arya dibenarkan oleh Kartika (30), alumni Jurusan Pariwisata yang kini berprofesi sebagai event manager sebuah EO. Baginya, magang di hotel semasa kuliah adalah “reality check” pertama sebelum akhirnya benar-benar terjun ke dunia kerja.
“Dengan magang kita jadi sadar, kalau industri pariwisata nggak kenal tanggal merah, harus siap di mana saja dan kapan saja. Itu yang kalau nggak kuat, bikin mental ambruk,” kenang Kartika, Kamis (3/7/2025) siang.
“Ingat banget waktu magang, harus siap-siap beres-beres ballroom sampai jam 2 pagi setelah acara selesai. Kaki pegal, mata perih, tapi nggak boleh kelihatan capek.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kuliah di Jurusan “Kebal Pengangguran”, Begitu Lulus Malah Susah Cari Kerja karena Ijazahnya Dianggap Tak Laku atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.