Beberapa tahun ke belakang, kuliner di tempat wisata Jogja tengah disorot. Alasannya, banyak pedagang yang dianggap mematok harga sangat tinggi alias nuthuk untuk makanan yang biasa-biasa saja.
Retno (25), salah satu wisatawan yang berkunjung ke Jogja pada akhir Januari 2024 lalu, adalah salah satunya. Guru salah satu SD di Wonogiri ini bercerita, pengalaman tak mengenakkan itu terjadi di sekitaran Tugu Jogja.
“Itu pertama kali aku wisata kuliner di Jogja, soalnya tiap ke Jogja paling jalan-jalan aja atau belanja outfit,” katanya, bercerita kepada Mojok, Selasa (9/7/2024).
“Tapi karena aku bawa keluarga, rasanya pengen sekali-sekali nyobain makan deket-deket Malioboro atau Tugu,” sambungnya.
Niat hati ingin menyenangkan keluarga, malah rasa kesal yang dia dapat. Retno bercerita, ia harus menunggu hampir dua jam untuk pesanannya siap.
Sudah dibikin dongkol karena menunggu lama, kekesalannya pun ditambah karena penjual malah melayani pembeli yang baru datang.
Saat pesanan datang pun, menurutnya, rasa makanannya hambar. Ia pikir hanya dia yang merasakan, ternyata yang lain juga sama.
“Nunggu lama, makanan hambar, pas bayar masa satu orang habis hampir 50 ribuan. Gila banget padahal kita makan 6 orang, tinggal dikalikan aja,” jelasnya.
“Kalau enak dan pelayanan oke, harga mahal masih worth it. Lah, ini enggak.”
Pengalaman makan sate penuh belatung
Pengalaman tak mengenakkan soal kuliner di tempat wisata Jogja juga pernah dialami Fransiska (25). Sekitar tahun 2018, perempuan asal Klaten ini merupakan mahasiswa baru di Jogja. Kendati jarak rumahnya ke Jogja hanya 2 jam perjalanan, ia mengaku jarang liburan ke sini. Kalau ingin jalan-jalan atau nge-mall, ia dan teman-temannya memilih pergi ke Solo.
Mengingat itu adalah kali pertama dia menetap di Jogja, sama seperti teman-temannya yang lain, belum lengkap rasanya kalau belum jalan-jalan ke Malioboro.
Sebelum jalan-jalan, teman-temannya sudah memperingatkannya untuk tidak makan di tempat wisata itu karena harganya pasti mahal. Kalaupun jajan, usahakan tawar menawar pakai bahasa Jawa, karena “katanya” bakal dikasih harga murah.
“Itu udah jadi rahasia umum, sih. Katanya kalau beli tapi kita ngomong pakai bahasa Indonesia, dikasihnya lebih mahal,” jelasnya, Selasa (9/7/2024).
Sayangnya, pengalaman pahitnya hari itu tidak bersinggungan dengan masalah harga, tapi soal kebersihan makanan. Fransiska, pada sore itu, memutuskan untuk membeli seporsi sate ayam seharga Rp20 ribu.
Terdengar mahal memang. Namun, harga segitu untuk seporsi berisi delapan tusuk sate, lontong, di tempat wisata pula, sepertinya sudah jadi harga yang wajar.
“Tapi ternyata satenya ada belatung, ada yang gerak-gerak ada juga yang nggak gerak. Ngumpul di sambelnya gitu, dan ada juga di ayam-ayamnya,” Fransiska mengingat kejadian tersebut sambil mengekspresikan rasa mual.
Masalahnya, itu baru ia sadari setelah memakan beberapa tusuk sate. Fransiska juga tak peduli apakah belatungnya sudah mati atau belum, karena yang namanya uget-uget ya tetap menjijikkan.
“Sejak saat itu aku kapok makan di Malioboro,” tegasnya, mengaku kapok dengan kuliner di Jogja. “Aku nggak mau nyebut kalau pedagang di sana kayak gitu semua. Aku percaya itu hanya oknum. Tapi, ya, namanya trauma, sampai sekarang aku tetap takut makan di sana.”
Pedagang berniat amanah, malah dijauhi pedagang lain
Fransiska percaya di tempat-tempat wisata Jogja masih banyak pedagang yang amanah. Selain pasang harga sewajarnya, yang mereka juga aware soal kebersihannya. Kasus belatung dalam sate yang ia alami, menurutnya, “memang lagi apes aja”.
Pada Kamis (11/7/2024), saya menyusuri tempat-tempat para narasumber pernah mengalami kejadian tak mengenakkan soal kuliner Jogja. Khususnya, di sekitaran Tugu, Malioboro, sampai ke selatan ke arah Alun-Alun Utara dan Tamansari. Tujuan saya, salah satunya, sekadar ingin membuktikan klaim Fransiska kalau sate penuh belatung tadi memang lagi apes aja.
Kebetulan, di sekitaran Tugu, saya bertemu Marni*, seorang pedagang sate yang sudah 20 tahun lebih berjualan di Malioboro dan sekitarnya. Sambil memesan seporsi sate seharga Rp20 ribu, saya menembak pertanyaan sensitif kepadanya, “pernah nggak mendengar kasus sate yang penuh belatung di Malioboro”.
Awalnya, Marni terdiam sebentar. Dan, di luar dugaan saya, ia dengan sabar menjawab: “Dulu sering, Mas, yang kayak begitu”, katanya.
“Sate kan daging yo, Mas, barang basah, cepat basi kalau nggak habis. Beda sama jajanan kering lain. Kalau sisa jualan hari ini dijual lagi besok, tentu bakal ada yang basi, Mas.”
Soal komplain sate dengan ayam basi, ternyata saya bukan orang pertama yang menanyakan kepadanya. Menurut Marni, hal yang dialami Fransiska tadi memang sudah kerap terjadi.
Marni bahkan pernah mengobrolkan hal ini dengan teman seprofesinya. Tapi mereka malah tersinggung dan menjauhinya.
“Saya tahu, Mas, mereka ini sangat nggak mungkin kan naruh belatung dengan sengaja di dagangannya. Tapi ya itu bisa dihindari, kalau ayamnya sudah nggak fresh ya jangan nekat dijual lagi,” ujarnya, menjelaskan.
“Kalau saya fresh kok, Mas. Kalau hari ini nggak habis ya malamnya diolah jadi makanan lain biar kemakan,” imbuhnya, sambil sibuk mengipas-ngipas daging di atas arangnya.
Kuliner di Jogja mahal itu sudah menjadi kesepakatan bersama
Soal harga nuthuk, Marni juga menjelaskan kalau itu sudah kesepakatan bersama. Di tempat-tempat wisata, seperti Tugu dan Malioboro, tiap pedagang punya paguyubannya sendiri. Di paguyuban itulah mereka menyepakati harga produk yang dijual.
“Jadi kalau disepakati 20 ribu, ya harus segitu, Mas. Kalau kita ngasih lebih murah, ngebunuh pasar. Kasihan pedagang yang lain,” jelas pelaku kuliner Jogja ini.
Selain itu, ternyata sewa lapak di tempat wisata Jogja memang mahal. Saya jadi teringat obrolan saya dengan Rusli, eks pegawai kuliner lesehan di Malioboro 2021 silam. Menurut cerita Rusli, untuk menyewa lapak seluas 3×4 meter, bosnya kudu membayar Rp40 jutaan per tahun.
Maka, untuk mendapatkan untung, ya, memasang tarif mahal pada makanan adalah jalan ninjanya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News