Nama perkumpulan kecil itu adalah Cerita Damai. Sebuah inisiatif di Jogja yang mengajak banyak orang untuk berlatih membangun budaya hidup damai.
Orang mungkin hanya akan melihatnya sebagai perkumpulan kecil. Namun, Cerita Damai seperti punya magnet yang menarik orang-orang untuk datang kepadanya. Bahkan saat hujan lebat turun tanpa jeda pada Sabtu (28/12/2024) sore WIB.
Teman-teman Cerita Damai membuat “pelatihan damai” di Akademi Bahagia, Ngaglik, Sleman. Cukup jauh dari jarak tinggal peserta: kebanyakan dari arah Kota Yogyakarta. Menerabas hujan nyatanya tidak jadi soal. Bahkan ada salah seorang peserta yang sampai basah kuyup demi menjangkau lokasi pelatihan.
Rela kehujanan demi Cerita Damai Jogja
“Apa yang perkumpulan kecil ini tawarkan pada mereka?” Itu pertanyaan yang langsung melintas di kepala saya. Maka, saya memutuskan untuk naik ke ruang perpustakaan Akademi Bahagia. Turut menjadi peserta.
Total ada 12 orang—termasuk saya—yang berkumpul di ruang perpustakaan itu. Tiga di antaranya berposisi sebagai fasilitator: Jati, Ista Widhi, lalu ada Apriyani Indramayu.
Kertas-kertas ditempel dengan pola melingkar di beberapa sudut perpustakaan Akademi Bahagia. Berisi panduan dan tahap demi tahap yang akan dijalani peserta selama pelatihan berlangsung.
Tahap pertama, stopping. Apriyani Indramayu atau yang akrab dengan sapaan Ayu, mengajak kami untuk berhenti sejenak. Duduk saja. Tidak melakukan apa-apa. Singkirkan ponsel dari genggaman.
“Dengarkan suara-suara di sekitar. Rasakan angin yang berembus,” begitu Ayu memberi arahan. Kami mengikuti. Lalu tiba-tiba lega. Setelah momen itu, tahapan-tahapan pelatihan baru bisa dimulai.
Ibu yang memaafkan pembunuh anaknya
Pada musim gugur 1980, Aba Gayle (perempuan asal USA) mendapati putrinya, Catherine Blount (19 tahun) tewas dalam kondisi mengenaskan. Beberapa bekas tikaman pisau memenuhi tubuhnya.
Tak butuh waktu lama, si pembunuh tertangkap. Namanya Douglas Mickey. Motifnya membunuh Catherine tidak jelas. Namun, atas perbuatannya itu, dia divonis hukuman mati.
“Orang-orang berkata begitu penjahat ini dieksekusi, saya akan sehat kembali. Saya tidak tahu, dan lebih baik saya percaya mereka. Jadi, saya menunggu, dan saya benci itu,” ungkap Aba Gayle.
Sialnya, delapan tahun berlalu, tapi eksekusi mati Douglas belum terjadi. Delapan tahun yang menyiksa bagi Aba Gayle. Hidup dalam kesedihan, amarah, dan dendam.
Aba Gayle lalu memutuskan mencari-cari cara agar hatinya bisa lekas damai. Singkat cerita, dia menemukan wawancara seorang penyintas Holocaust yang memutuskan memaafkan orang Jerman dan seseorang yang membantai keluarganya. Lalu penyintas itu hidup damai.
Aba Gayle, meski awalnya menolak, tapi akhirnya melakukannya juga. Dia memutuskan mengirimkan surat pada Douglas di penjara. Isinya: Aba Gayle “mengampuni” si pembunuh.
“Semua amarah, kegusaran, dan nafsu balas dendam sirna begitu saja. Sebaliknya adalah perasaan gembira dan damai yang paling indah,” ujar Abay Gayle.
Berbagi cerita di Cerita Damai Jogja: memaafkan diri sendiri
Kisah Aba Gayle adalah satu dari kisah nyata dari berbagai dunia yang kerap dibacakan dalam beberapa pelatihan Cerita Damai. Cerita Aba Gayle bisa dibaca lengkap di laman resmi Friends Peace Teams.
Melalui cerita-cerita “pengampunan” tersebut, perkumpulan kecil asal Jogja itu ingin memberitahu bahwa memaafkan ternyata menjadi salah satu jalan berdamai. Bukan hanya soal memaafkan orang lain. Tapi juga juga memaafkan diri sendiri.
Saya tidak bisa merunut tahapan-tahapan acara Cerita Damai di Jogja sore itu. Tapi ada beberapa bagian yang akhirnya berdampak besar bagi peserta. Yakni ketika 12 peserta dibagi ke dalam empat kelompok: masing-masing kelompok berisi tiga orang.
Mulanya hanya diskusi merespons cerita Aba Gayle. Kemudian, semua saling berbagi perihal bagaimana upaya teman-teman mencari jalan damai untuk hidupnya masing-masing. Salah satunya dengan memaafkan dan mengapresiasi diri sendiri.
“Aku bisa belajar mengobati tanpa mengorek luka lama,” begitu kata Cantika, perempuan muda yang satu kelompok dengan saya. Dia asal Makassar dan sudah lama merantau di Jogja.
“Aku juga belajar, semua orang berhak mencoba banyak cara untuk mencari kedamaian untuk dirinya sendiri. Nggak perlu terdistraksi kalau ada yang menyebut toxic positivity,” sambungnya.
Lebih lanjut, kata Cantika, saatnya menyudahi perasaan hancur atau overthinking saat sedang diremehkan atau dibenci orang lain. Harus menyadari, bahwa masih ada orang-orang baik yang sayang dan peduli pada kita. Fokuslah ke situ. Abaikan mereka yang membenci dan meremahkan.
Saya belajar pula dari mereka, perihal bagaimana menyalurkan dendam. Silakan menyimpan dendam. Bukan dendam untuk menjatuhkan atau berbuat buruk pada orang lain. Melainkan dendam untuk menunjukkan bahwa kita bisa lebih baik dan berharga dari apa yang mereka sangkakan.
Membawanya pulang ke Flores
Dimulai pukul 16.30 WIB, pelatihan baru berakhir pada pukul 20.00 WIB. Saya berkesempatan berbincang dengan Apriyani Indramayu alias Ayu (24) selaku fasilitator.
Ayu berasal dari Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Merantau ke Jogja pada 2018, 2024 ini dia baru saja merampungkan studinya di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.
“Saya gabung ke Cerita Damai tahun 2022. Awalnya gabut. Tapi ternyata inisiatif ini punya hal konkret dari visi misi organisasiku sebelumnya,” ujarnya.
Ayu kemudian rutin mengikuti pelatihan hingga akhirnya direkrut menjadi fasilitator. Ayu merasa punya kedekatakan dengan Cerita Damai.
Cerita Damai sendiri menjadi bagian dari Friends Peace Teams. Sebuah inisiatif internsional yang punya concern pada penanggulangan pasca trauma, terutama akibat kekerasan.
“Apalagi saya dari Timur. Sejak kecil harus berhadapan dengan kekerasan. Karena pola parentingnya begitu. Dan itu memberi dampak traumatis yang membentuk diri kita di hari-hari setelahnhya,” ungkap Ayu.
Sebagai fasilitator, Ayu mengaku beberapa kali mendengar cerita perihal mereka yang trauma akibat kekerasan di keluarganya.
“Metode yang saya pakai (untuk katakanlah konseling) itu stopping lalu journaling. Bentuk journaling-nya itu melukis nurani. Hanya mewarna-warnai saja sesuai keinginan hati,” jelas Ayu.
Cerita Damai sendiri, mengadopsi dari Friends Peace Teams, punya sejumlah metode untuk penanggulangan pasca trauma. Bagi Ayu, itu lebih efektif terutama bagi orang-orang kecil yang punya keterbatasan biaya untuk ke Psikolog atau Psikiater.
Karena sudah rampung studi, Ayu berencana meninggalkan Jogja, kembali ke Flores. Dia ingin membangun lembaga pemberdayaan anak muda dan perempuan di kampung halamannya.
“Permasalahan terbesar di sana kan human trafficking dan pernikahan diri. Saya merasa perlu memberdayakan agar hal itu tidak berlarut-larut,” kata Ayu.
Seorang pria asal Pati
Friends Peace Teams sendiri diinisiasi pada 1993 di Amerika, sebagai respons atas krisis Bosnia (perang etnis antara Bosnia vs Serbia yang berlangsung sejak 1992). Orang-orang yang terlibat dalam prosesnya antara lain, David Hartsough dari Pacific Yearly Meeting, Mary Arnett dari Philadelphia Yearly Meeting, dan Val Liveoak dari South Central Yearly Meeting.
Seiring waktu, inisiatif tersebut terus berkembang hingga mengirim delegasi-delegasi internasional. Salah satunya di Aceh pada 2005 untuk menanggulangi trauma pasca tsunami dan konflik bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia.
Seorang pria asal Pati, Jawa Tengah, ikut andil dalam momen tersebut. Namanya Petrus (kelahiran 1968). Saat itu dia bekerja di bawah Yayasan SHEEP Indonesia (yayasan kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan perdamaian) yang berkantor di Jogja.
Di Aceh, Petrus bertemu dengan Nadine Hoover, donatur Yayasan SHEEP Indonesia. Dari Nadine pula Petrus belajar secara langsung metode mengembangkan hati nurani melalui lokakarya Alternatives to Violence Project.
“Saya merasa bahwa pengembangan hati nurani dibutuhkan oleh semua orang, bukan hanya orang Aceh yang telah mengalami perang secara langsung, tetapi di Jawa ada banyak masalah ketika orang menggunakan kata-kata dengan cara yang kasar,” ujar Petrus usai menerima metode tersebut, seperti termuat dalam laman resmi Friends Peace Teams.
Dari pati lalu Jogja
Pada Oktober 2008, Petrus lalu membuat pelatihan untuk pertama kalinya di Pati. Pada April 2011, dia membangun rumah joglo yang dia namai “Peace Place”. Rumah itu jadi tempat bagi Petrus untuk melakukan pelatihan-pelatihan dengan metode pengembangan hati nurani.
“Saya yakin apa yang telah kami kembangkan selama ini akan sangat bermanfaat dan mampu memberi makna bagi keluarga saya dan lingkungan di sekitar kami. Hal ini sudah dibuktikan dan diakui oleh banyak orang yang telah mengikuti pelatihan,” kata Peturs.
“Hati nurani mengatakan bahwa ini adalah metode baru, yang membuat seseorang menjadi lebih percaya diri, lebih terbuka, lebih peka terhadap diri sendiri, melepaskan trauma, dan lebih memahami makna hidup,” tegasnya.
Dari Pati, metode Friends Peace Teams yang Petrus kembangkan lalu disebarluaskan. Salah satunya oleh Cerita Damai di Jogja.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.