Aktris Prilly Latuconsina barangkali khawatir jika banyaknya perempuan independen di Indonesia sulit mencari pasangan atau laki-laki mapan, mengingat tren pernikahan di Indonesia terus menurun.
Alih-alih didukung, banyak netizen tak sepakat karena setiap orang punya standar yang berbeda untuk memilih pasangan, entah sebagai pacar, pasangan hidup, atau hubungan tanpa status. Terlebih, memadukan dua kata sifat itu dianggap kurang tepat.
***
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan. BPS mencatat sebanyak 1.577.255 pasangan yang menikah di tahun 2023. Angkanya mengalami penurunan sebesar 128 ribu jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Fenomena itu kemudian dihubungkan dengan meningkatnya jumlah perempuan independen. Sementara jumlah laki-laki mapan justru menurun. Menurut Prilly Latuconsina, banyak laki-laki yang tidak percaya diri untuk mendekati perempuan independen, sehingga memilih mundur duluan.
“Kalau sekarang misalnya ada cewek kariernya dan uangnya lebih banyak, cowok insecure juga. Cowok tetep pengen bayarin juga,” ucap Prilly dikutip dari Youtube Bloom Media, Kamis (12/12/2024).
Mencari pasangan untuk tumbuh bersama
Menurut Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, Naufal (23), mapan tidak bisa diartikan dari segi materi saja, tapi juga usia maupun kondisi psikologis. Sementara independen baginya harus dimiliki oleh semua orang.
“Mapan secara garis besar kan untuk menjelaskan level seseorang, nah mapan versiku bisa jadi berbeda dengan orang lain,” ucap Naufal saat dihubungi Mojok, Rabu (11/12/2024).
Oleh karena itu, diusianya yang sekarang dia masih meningkatkan level dirinya di setiap aspek, sehingga tidak malu dengan pasangannya nanti. Sebab, kata dia, sepanjang manusia hidup, dia akan terus bertumbuh.
“Perjalan hidup kan dinamis. Aku nggak bisa memastikan terus up, barangkali ada down-nya juga. Nah pas lagi down itu. Barulah aku sama pasanganku bergerak dan bangkit bersama,” ucapnya.
Perempuan independen berarti menolak patriarki
Tak jauh berbeda dengan Naufal, Mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM), Antonella mendukung bahwa setiap orang idealnya harus bisa independen, bukan untuk orang lain tapi untuk dirinya sendiri.
“Independen justru berarti merdeka dari stigma: harus ini harus itu, termasuk harus punya pasangan dengan kriteria XYZ,” ucap Notella yang juga aktif menyuarakan isu soal kesetaraan gender.
Justru ketika perempuan hanya mengikuti standar sosial, di mana perempuan independen harus dengan pria mapan, itu berarti mereka masih terjebak dalam budaya patriarki.
“Karena paham seperti inilah, perempuan seringkali terjebak pada situasi di mana mereka menambah kualitas diri hanya semata-mata untuk mendapatkan pasangan yang (dianggap) lebih berkelas,” ujarnya.
Antonella menegaskan, sejatinya, perempuan ingin mandiri karena dia tidak ingin terkungkung dalam batas norma yang dilanggengkan oleh struktur sosial di sekitarnya.
Alasan menjadi perempuan independen
Antonella tak menampik setiap orang tentu memiliki standar dalam menentukan pasangan. Dia sendiri ingin laki-laki yang bisa saling menghargai, tidak menuntut pasangannya, dan memperlakukan mereka secara setara.
Menurut dia, standar laki-laki mapan, jelek, atau tampan, tidak akan menentukan hubungan itu sehat atau tidak. Pada akhrinya, laki-laki yang tidak patriarki dan misoginislah yang dapat memberikan keadilan untuk perempuan.
Maka dari itu, terlepas dari siapapun pasangan mereka, perempuan harus bisa meningkatkan harga dirinya, demi memiliki kemandirian dan kepercayaan diri.
“Agar pada akhirnya tidak bergantung pada laki-laki,” ujar Antonella.
Salah kaprah soal definisi independen dan mapan
Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari menjelaskan perempuan yang sudah berkeluarga masuk kategori independen. Dengan kata lain, perempuan independen di Indonesia tidak hanya terbatas pada mereka yang belum menikah.
Masalahnya, independen sering kali disalah artikan sebagai kebebasan ekonomi semata. Padahal, orang yang independen berarti punya kemampuan berdaya, mandiri, dan memiliki prinsip hidup yang kokoh.
“Independensi juga mencakup kemampuan berpikir rasional dan bijak dalam menghadapi berbagai tantangan hidup,” ujar Luluk dikutip dari laman resmi UMM, Kamis (12/12/2024).
Sementara itu, seseorang bisa dianggap mapan ketika dia mantap secara pribadi, bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dan mampu memberikan kontribusi untuk orang lain, seperti keluarga.
Mengapa jumlah laki-laki mapan turun?
Di sisi lain, Luluk menyebut pandemi Covid-19 memengaruhi dinamika sosial-ekonomi, sehingga banyak pria mapan yang turun kelas sosialnya. Bisa jadi karena mereka mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau kebangkrutan usaha.
“Tapi kita harus melihatnya dari perspektif yang lebih luas. Kemapanan tidak hanya tentang finansial, tetapi juga tentang kemampuan untuk bertahan dan bangkit,” ujar Luluk.
Selain itu, Luluk tidak sepakat dengan Prilly Latuconsina, jika jumlah perempuan independen yang meningkat justru mengurangi peluang pria menjadi mapan. Pernyataan itu sering kali dilihat dari pandangan yang sempit atau pada kasus tertentu, sehingga tidak mewakili mayoritas.
Dia menegaskan independen bukan berarti bebas tanpa batas, melainkan prinsip yang harus dihormati. Begitupun dengan mapan. Oleh karena itu, dia berharap masyarakat terutama generasi muda lebih mengharagai kedua konsep tersebut dengan positif.
“Kita harus menghindari generalisasi yang dapat menimbulkan kebencian antar-gender,” ucapnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Sampai Nanti, Hanna!: Ketika Perempuan “Dipaksa” Memilih Hubungan Toksik
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News