Iming-iming jam kerja fleksibel jadi salah satu daya tarik yang ditawarkan platform ojek online (ojol) dalam mencari driver. Tak dapat dielak, itu memang tawaran menarik, utamanya bagi mahasiswa yang perlu pemasukan namun tak bisa terikat waktu kerja secara penuh. Di Surabaya, saya punya banyak teman dari kalangan mahasiswa yang punya rencana menjajal profesi ini sebagai profesi alternatif.
Misalnya lagi dari kalangan orang yan sudah tidak punya pekerjaan tetap di pabrik atau perusahaan. Entah karena resign atau karena PHK. Maka untuk menyambung hidup, ojol lah profesi yang mereka pilih.
Dalam beberapa waktu terakhir, saya mencoba mengajak berbincang para driver ojol di Jogja. Saya ingin tahu sudut pandang mereka, agar punya gambaran perihal profesi sebagai driver ojol yang memang jadi pilihan alternatif banyak orang.
#1 Jadi driver ojol kalau kecelakaan tanggung sendiri!
“Ojol itu sistemnya mitra, ya, Mas?” tanya saya membuka obrolan dengan ojol pertama saya, Kamis, (8/8/2024). Sebut saja Adi. Kami berbincang dalam perjalanan pendek dari Tegal Mindi menuju halte Wedangan Kampoeng yang terletak di tepi Jalan Kaliurang km 12,5.
“Betul, Mbak. Jadi, ya, sebenarnya saya tidak diakui sebagai pegawai,” jawabnya.
Laki-laki sekitar umur 30 tahun itu sudah menjadi driver ojol sejak 2019. Ia mengeluhkan sistem kemitraan yang membuatnya tak terlindungi jaminan kesehatan, jaminan minimal gaji, upah lembur dan pesangon, hingga hak cuti.
“Ya, (soal keamanan) pada akhirnya driver sendiri yang nyiapin, Mbak. Jadi misalkan, amit-amit kecelakaan, ya kita yang mesti nanggung sendiri,” ucap Adi dengan tawa kecut.
#2 Jadi driver ojol kerap nombok
Karena tak ada jaminan gaji, pendapatan ojol bergantung sepenuhnya pada jumlah orderan yang masuk ke mereka hari itu. Driver kedua saya, sebut saja Eka, berbagi cerita soal ini. Ia mengantar saya dari Pasar Beringharjo menuju Ngaglik. Kami berbincang cukup panjang dalam kesempatan tersebut.
Sebelum bekerja sebagai ojol, ia adalah seorang penyedia jasa antar di sebuah lembaga laboratorium di Jogja. Ia bekerja dalam sistem outsourcing.
“Tapi waktu itu, saya nggak bisa diangkat jadi pekerja tetap karena minimal harus D3 dulu. Rombongan yang lain diangkat jadi pekerja tetap, padahal saya yang lebih dulu bekerja di situ,” ceritanya. Karena merasa tidak fair, ia dan sekelompok pekerja lain memutuskan keluar.
“Saya memutuskan pindah jadi ojol aja, Mbak. Toh kerjanya sama-sama di jalan, kan,” tambah Eka. Ia pun menggeluti ojol sebagai profesi utama sejak 2018.
Ia menjelaskan pada saya, bahwa nominal yang masuk dalam kantongnya hanya 80% per-orderan. Sedangkan 20% sisanya masuk ke aplikasi.
Sebab bersistem prosentase, makin jauh jarak tempuh maka potongan uang yang diterimanya juga makin besar. Pendapatan yang telah terpotong itu pun mesti dipangkas lagi dengan biaya makan dan bensin yang tak turut ditanggung perusahaan. Bener-bener apes!
“Saya kalau sehari dapet Rp150 ribu, itu yang Rp50 ribu buat makan dan bensin. Kalau sehari dapet Rp100 ribu, wah, rugi banget saya,” keluhnya.
Pada hari-hari ketika orderan sepi, mau tak mau ia harus memanjangkan waktu kerjanya demi menutup target pendapatan hari itu.
“Kemarin sebelum ospek, Mbak, kan mahasiswa lagi pada libur semester. Itu orderan saya sepi. Saya jadi narik sampai Subuh. Padahal Jogja lagi dingin-dinginnya,” keluh Eka lagi.
Selain sulit cari untung, driver ojol makin buntung sebab kerap kali nombok. Di awal narik, ia ditodong mesti beli atribut jaket dan helm seharga Rp280 ribu. Nominal yang tak kecil baginya.
Meski pembelian lewat aplikasi tak memintanya membayar kontan, tapi saldonya dipotong secara berkala oleh aplikasi sebagai biaya cicil. Mendengar cerita Eka soal ini, saya cukup terkejut. Sebab, pikir saya jaket dan helm adalah hak driver yang seharusnya diberikan secara gratis.
Biaya parkir juga jadi momok “tombok” yang lain.
“Mungkin banyak driver lain yang minta ke costumer buat mengganti uang parkir, ya, Mbak. Tapi kalau saya nggak tegelan (tegaan) orangnya. Meskipun seribu dua ribu, saya nggak pernah minta ganti,” ungkap Eka.
Mendengar itu, kepala saya pusing membayangkan pengurangan demi pengurangan yang Eka terima; potongan untuk aplikasi senilai 20%, biaya makan, biaya bensin, biaya parkir, juga tanggungan cicilan bila ada–quintuple kill!!
Baca halaman selanjutnya…
Driver ojek online: korban akal-akalan dan rawan perseteruan