Meski menjadi kecamatan dengan jumlah orang miskin terbanyak di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, warga Pracimantoro masih punya sikap dermawan. Kebaikan itu yang berkali-kali menyelamatkan hidup banyak orang.
***
Kecamatan Pracimantoro tak dikenal secara luas. Wajar saja, sebab daerah ini memang termasuk pelosok. Ia berada di ujung paling tenggara Kabupaten Wonogiri.
Saya lahir dan besar di sini. Dan jujur, tak banyak yang bisa dibanggakan dari kecamatan tempat saya lahir itu. Potensi wisata jarang, prestasi warganya pun juga minim. Kalaupun ada, pasti jauh dari sorotan.
Kalau saya memperkenalkan Pracimantoro kepada orang lain, paling mentok ada dua hal yang mereka identifikasi. Satu, jalan rusak. Dua, susah air. Memang, sebagai sebuah kecamatan, ada beberapa desa yang akses jalan dan air sudah memadai. Namun, secara umum, kondisinya ya memang miris adanya.
Bahkan, menurut data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) yang dikeluarkan Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Pracimantoro menjadi kecamatan dengan penduduk miskin terbanyak di Wonogiri. Jumlahnya mencapai 30 ribu jiwa yang terbagi di 8.747 keluarga.
Tragedi kehilangan uang puluhan juta di Pracimantoro
Meski hidup dalam keprihatinan, itu bukan menjadi alasan bagi masyarakat di Pracimantoro, Wonogiri, untuk tak berbuat baik. Salah satu yang merasakan kebaikan warga itu adalah Adin (27), lelaki asal Jogja yang kini bekerja di salah satu laboratorium sejarah di Indonesia.
Saya mengenalnya karena sebuah pekerjaan yang bersinggungan dengan kesejarahan. Ketika saya memperkenalkan diri sebagai orang yang berasal dari Pracimantoro, respons Adin beda dari kebanyakan orang. Kalau kebanyakan orang langsung mengernyitkan dahi, dia malah bercerita kalau warga di Pracimantoro itu baik-baik.
Ceritanya, sekitar 5 tahun lalu, sebelum pandemi, dia menemani saudaranya untuk menyelesaikan transaksi jual beli tanah di Gunungkidul. Transaksi itu melibatkan uang cash. Sehingga, dia dan saudaranya itu pulang dengan segepok uang.
“Jumlah pastinya nggak tahu. Puluhan juta yang jelas,” ungkapnya, bercerita kepada Mojok, yang ditemui Selasa (31/12/2024), saat malam pergantian tahun.
Setelah dari lokasi, sang saudara mengajaknya melawat ke Pracimantoro untuk menemui seorang teman. Di sana, mereka sekalian makan malam.
Sayangnya, kejadian naas pun terjadi. Setelah mereka sampai di Jogja, tas berisi bergepok-gepok uang senilai puluhan juta tadi tertinggal. Saudara Adin cuma ingat, terakhir kali dia menaruh uang dalam mobil saat mereka makan di sebuah warung.
“Pikiran liar muncul. Saya mikirnya uang dicuri, ada yang bobol mobil. Kalau saudara saya mikirnya diambil tuyul,” kisahnya.
Mereka pun panik setengah mati. Saat datang ke polisi, laporan cuma mentok di respons “akan kami tangani secepatnya”. Maka, di malam hari itu juga, kira-kira pukul 11 malam, mereka memutuskan kembali ke Pracimantoro.
Sekitar pukul 1.30 dini hari, warung tempat mereka makan sudah tutup. Kondisi pun amat sepi. Tak ada tanda-tanda uangnya ada di situ.
Adin bercerita, saudaranya menangis di tempat. Kakinya pun juga sudah lemas, tak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Kata pasrah pun pada akhirnya cuma mentok di ucapan, karena isi kepala sudah pusing setengah mampus.
Kebaikan warga bikin uang kembali
Beberapa warga yang lewat dia berhentikan, berharap ada yang bisa dimintai informasi. Sayangnya nihil. Sebab, ya, mereka cuma orang lewat, tidak tahu duduk persoalan.
Sampai akhirnya, seorang warga Pracimantoro menemui mereka. Memang dia tak bisa memberikan informasi. Tapi ada satu rekomendasi yang akhirnya menolongnya.
“Kami disuruh datang ke rumah Pak RT,” kata Adin. “Awalnya mikir, ‘wah gila juga, posisi udah mau jam 3, masa bertamu’. Tapi akhirnya kami lakukan karena berpikir tak ada salahnya.”
Pukul 3 pagi, mereka membangunkan Pak RT. Dengan ramah, tuan rumah yang masih terlihat mengantuk, mempersilakan masuk. Bahkan, aneka cemilan dan teh hangat pun juga disediakan.
“Setelah selesai menceritakan maksud kedatangan kami, Pak RT cuma bilang, ‘maaf, jumlah pastinya berapa? Dan, saudara saya pun langsung menjelaskan secara presisi,” ujarnya.
Tak lama, Pak RT langsung menyuruh anaknya untuk menjemput seseorang. Setelah 10 menit menunggu, anak tersebut datang bersama dua orang lainnya.
“Jadi, Mas, mereka berdua ini tadi siang menemukan tas njenengan warung makan. Mereka tak berani membuka, cuma mengintip sedikit dan setelah tahu isinya adalah uang, langsung melapor ke saya. Saya meminta mereka menyimpan, jangan disentuh, sampai ada yang kembali,” kata Adin, mengulang kalimat Pak RT.
Akhirnya, di ruangan tersebut: Adin, saudaranya, Pak RT, dan dua orang yang menemukan tas tadi menghitung jumlah uangnya. Ternyata, nominalnya sesuai dengan yang dibilang sang saudara. Akhirnya, Pak RT memastikan bahwa ini memang ini yang dicari dan saat itu juga mengembalikan ke mereka.
“Ada dua hal yang aku kagumi dari warga Pracimantoro. Pertama, bisa saja kan si orang random yang nemu itu nggak melapor, langsung dibawa kabur aja. Tapi mereka memilih melapor, bahkan tasnya itu dibuka aja tidak,” jelas Adin.
“Kedua, itu jam 3 pagi. Tapi mereka responsif banget. Bisa saja kan kami disuruh nunggu sampai pagi atau malah diusir?,” pungkasnya.
Para dermawan di dalam bus
Cerita yang dipaparkan Adin, memang tak banyak saya dengar. Tapi saya bangga, karena cerita itu kejadian di Pracimantoro, tempat yang selama ini mendapat label negatif.
Kalau boleh jujur–tapi bukan bermaksud mengglorifikasi–kedermawanan warga Pracimantoro sudah kerap saya saksikan. Terutama di dalam bus-bus antarkota.
Di bus jurusan Solo, dahulu saya kerap melihat siswa-siswa sekolah (SMP dan SMA) dibayari oleh penumpang lain.
“Bayarnya sekalian sama dua adek ini, Pak,” kata yang kerap saya dengar di dalam bus. Ini tak cuma sekali atau dua kali terjadi.
Saat berangkat ke Jogja menaiki Purwo Widodo pun, saya pernah mengalaminya sendiri. Hanya karena saya “mau diajak ngobrol” oleh seorang bapak-bapak, dia membayari kursi bus saya. Kalau itu, sekitar 2018, tarifnya Rp30 ribu. Uang yang cukup besar untuk orang yang tak dikenal.
Jujur, saya semakin jarang pulang kampung ke Pracimantoro. Namun, saya bangga karena ada banyak kebaikan warganya yang semakin sering didengar ketimbang label negatifnya yang terus melekat.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mendambakan Hidup di Menturo Sumobito, Desa Kecil nan Tenteram di Jombang yang Tak Diperhitungkan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan