Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Ragam

Alkisah Suharto, Prabowo, dan Swasembada Pangan Ilusif yang Mengancam Petani

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
6 November 2024
A A
Alkisah Suharto, Prabowo, dan Swasembada Pangan Ilusif yang Mengancam Petani.MOJOK.CO

Ilustrasi - Alkisah Suharto, Prabowo, dan Swasembada Pangan Ilusif yang Mengancam Petani (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Suharto dan Prabowo memiliki kesamaan. Kedua figur ini sama-sama punya ambisi besar dalam mewujudkan swasembada pangan bagi Indonesia. Mertua dan menantu ini juga punya cara yang identik dalam mewujudkan proyek ambisius tersebut, yakni melalui jalan yang “merusak”.

***

Presiden RI Prabowo Subianto memasukkan swasembada pangan sebagai program prioritas dalam visi Asta Cita. Swasembada pangan Indonesia ditargetkan tercapai pada 2028 mendatang.

Target swasembada pangan mengandalkan program prioritas lumbung pangan food estate. Pada program ini, ditargetkan pengembangan sawah seluas 250 ribu hektar dan kawasan padi seluas 485 ribu hektar.

Ambisi mengenai swasembada pangan memang sudah seharusnya. Hampir tiap presiden yang menjabat menggelorakan swasembada pangan sebagai tujuan yang ingin dicapai. Masalahnya, cara untuk mencapainya dianggap bermasalah dan penuh tantangan.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Kementerian Pertanian RI (@kementerianpertanian)


Indonesia sendiri sempat mengalami swasembada pangan melalui swasembada beras pada 1984-1988 oleh Suharto. Prabowo pun berambisi untuk mengulangi capaian manis itu. Sayangnya, cara-cara merusak dan penuh kekerasan juga direplikasi.

Ambisi swasembada pangan ala Suharto muncul

Sejak mengambil alih kekuasaan melalui peristiwa gerpolek, Suharto mengawali era baru Indonesia via orde baru. Bagi rezim anyar, ambisi swasembada pangan melalui proyek lumbung pangan menggebu-gebu. Suharto ingin melanjutkan ambisi serupa yang gagal dijalankan Sukarno.

Dalam Celebrating Indonesia: Fifty Years with Ford Foundation 1953-2003 (2003), setidaknya ada dua alasan utama mengapa Suharto ngebet menggenjot proyek tersebut. Pertama, kelaparan yang meluas di penjuru negeri pada 1960-an. Kedua, karena kepincut teknologi yang dikembangkan Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) dari University of Philippines.

Kala itu, Suharto mengirim para ahlinya ke Filipina untuk mengembangkan varietas lokal yang banyak dikirim ke IRRI. Alhasil, dari hasil belajar di negeri orang ini, para ahli Suharto punya beberapa rekomendasi.

Alkisah Suharto, Prabowo, dan Swasembada Pangan Ilusif yang Mengancam Petani.MOJOK.CO
Potret Suharto dan John Bresner, sosok yang ‘mengenalkan’ Indonesia dengan IRRI (foto dalam Celebrating Indonesia: Fifty Years with Ford Foundation 1953-2003)

Misalnya, diawali pada 1966 saat IRRI merilis varietas pertamanya yang dinamai IR8, persilangan padi jenis Peta dari Indonesia dengan padi Dee Geo Woo Gen dari Taiwan. Pemerintah mengenalkannya ke petani Indonesia dengan nama PB8 atau “Peta Baru 8”

Sepaket dengan itu, Suharto juga mulai memperkenalkan pupuk dan pestisida. Berbekal bantuan dana ratusan juta dolar dari Bank Dunia, pemerintah mensubsidi pupuk dan pestisida hingga 80 persen. Sedangkan stok pestisida dipenuhi dua perusahaan asing, Mitsubishi dan CIBA, anak perusahaan raksasa penghasil obat-obatan kimia BASF.

Iklan

Atas rekomendasi IRRI juga, pemerintah mulai membatasi penggunaan padi varietas lokal yang sempat jadi primadona. Misalnya padi rojolele, ketan tawon, bengawan, cempolorejo, dan ketan ireng karena dianggap tak produktif. Program ini, belakangan dinamai dengan istilah Revolusi Hijau.

Jalan kekerasan dalam mewujudkan Revolusi Hijau

Nyatanya, program ini tak berjalan mulus-mulus amat. Di lapangan, banyak petani menganggap PB8 adalah produk buruk: rasanya nggak enak, harga jual juga rendah.

Namun, pemerintah menggunakan jalan kekerasan demi mencapai swasembada pangan. Mereka memaksa para petani untuk menanam bibit yang telah direkomendasi. Jika tidak, tanaman akan dicabuti aparat. Sementara yang tak mau pakai urea dan pestisida, jualan gabahnya bakal dipersulit.

Suharto juga menekan para gubernur. Jika target panen tahun tersebut gagal memenuhi target, mereka bakal diberhentikan. Makanya, mau tak mau gubernur makin menekan petani untuk manggut-manggut dengan program pemerintah.

Program ini pun akhirnya gatot alias gagal total. Bahkan, penggunaan pestisida yang berlebihan membuat berbagai jenis hama mengalami antibodi. Hasilnya, awal 1970-an, Indonesia mengalami bencana serangan hama wereng (Nilaparvata lugens).

Alkisah Suharto, Prabowo, dan Swasembada Pangan Ilusif yang Mengancam Petani.MOJOK.CO
Hama wereng yang menyerang petani Indonesia di masa Revolusi Hijau (dok. Kementan)

Lambat laun, petani kehilangan kepercayaan pada Suharto. Sebab, menanam benih sesuai anjuran pemerintah sama dengan bunuh diri. Namun, mereka tak bisa berbuat banyak. Sebab kalau mau balik menanam padi varietas lokal, timbunan zat kimia telah membuat tanah jenuh dan tak lagi cocok ditanami.

Swasembada pangan yang harus dibayar mahal

Dengan berbagai dinamika dan aksi represi ke petani yang makin eskalatif, Suharto berhasil mewujudkan swasemdada beras pada 1984. Tak ada lagi impor beras, sampai-sampai Suharto mendapatkan penghargaan dari FAO atas capaian ini.

Namun, penelitian Hikmah Rafika Mufti berjudul “Kebijakan Pangan Pemerintah Orde Baru dan Nasib Kaum Petani Produsen Beras Tahun 1966-1988” menjelaskan, kalau capaian ini sebenarnya ilusif. Alias, ia tak benar-benar menyelesaikan masalah pangan di Indonesia.

Alasannya, sejak swasembada pangan, produksi beras Indonesia sebenarnya mengalami penurunan sejak 1985. Alhasil, Suharto pun gagal mempertahankan swasembada sehingga memilih mengalihkan fokusnya. 

“Pada tahun 1988 fokus kebijakan pemerintah tidak lagi pada intensifikasi dan perluasan lahan, melainkan diversifikasi yang menggabungkan pertanian dan teknologi,” tulis Hikmah.

Lebih dari itu, para petani pun akhirnya juga kehilangan khazanah benih lokal hasil daya cipta sendiri. Sebelum Revolusi Hijau, petani menciptakan ribuan varietas. Namun, gara-gara program ambisius Suharto itu, banyak varietas kini punah.

Serupa mertua, serupa menantu

Banyak yang beranggapan, bahwa ambisi swasembada pangan yang digelorakan Prabowo punya risiko yang sama dengan yang pernah dicapai mertuanya, Suharto. Apalagi, proyek yang memakan anggaran Rp124 triliun ini ditarget tercapai via food estate, program yang banyak analisis menyebut “gagal total”.

Alkisah Suharto, Prabowo, dan Swasembada Pangan Ilusif yang Mengancam Petani.MOJOK.CO
Ekosistem di Kalimantan tak cocok untuk ditanami varietas pangan (dok. Pantau Gambut)

Puluhan laporan yang disusun berbagai lembaga, mulai dari Environmental Paper Network, Pusaka, GRAIN, Walhi Papua, Greenpeace, Global Forest Coalition, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Biofuel Watch, Rainforest Rescue, Walhi Kalimantan, Serikat Petani, hingga FIAN Indonesia, kompak menyuarakan bahwa food estate itu merusak.

Di Papua, misalnya, food estate telah “menyingkirkan” masyarakat adat. Di sana, program ini juga mengikis komoditas pangan lokal karena berkurangnya lahan untuk menanam tanaman pangan tradisional masyarakat setempat. Food estate hanya mengizinkan konversi ke perkebunan industri, bukan untuk petani lokal.

Adapun di Kalimantan, food estate terbukti sia-sia karena lahan gambut tak cocok ditanami tanaman pangan. Bukti empiris menunjukkan, kondisi lahan rawa dan asam, yang mendominasi lahan food estate di Kalimantan, membuat varietas pangan gagal beradaptasi.

Swasembada pangan memang ambisi tiap pemimpin, termasuk Prabowo hari ini. Namun, sejarah juga membuktikan, cara yang keliru untuk mencapainya hanya menimbulkan mudharat yang lebih besar. Apalagi, peneliti senior Charles Darwin University, Jonatan A. Lassa pernah mencatat, “swasembada pangan tidak sama dengan ketahanan pangan”.

Bagi Lassa, ketahanan pangan bukan persoalan produksi semata. Akan tetapi, ia lebih soal manajemen investasi pada sektor-sektor non pangan dan non-pertanian, yang harus dilihat sebagai bagian integral dari pencapaian ketahanan pangan.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA Petani Indonesia Belum Merdeka, Di Hari Kemerdekaan RI ke 79 Petani Malah Nelangsa

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Terakhir diperbarui pada 6 November 2024 oleh

Tags: food estateOrde BaruprabowoSuhartoswasembada berasswasembada pangan
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO
Esai

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Suara Marsinah dari Dalam Kubur: 'Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku'.MOJOK.CO
Ragam

Suara Marsinah dari Dalam Kubur: ‘Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku’

10 November 2025
Alasan Soeharto tak layak dapat gelar pahlawan, referensi dari buku Mereka Hilang Tak Kembali. MOJOK.CO
Aktual

Buku “Mereka Hilang Tak Kembali”, Menyegarkan Ingatan bahwa Soeharto Tak Pantas Dapat Gelar Pahlawan, tapi Harus Diadili Mantan Menantunya

1 November 2025
Rahasia di Balik “Chindo Pelit” Sebagai Kecerdasan Finansial MOJOK.CO
Esai

Membongkar Stigma “Chindo Pelit” yang Sebetulnya Berbahaya dan Menimbulkan Prasangka

29 Oktober 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.