Dengan pakaian lurik lengkap dengan blangkonnya, Falah Gibran Alamsyah (14) tampak dengan lugas membacakan geguritan (puisi bahasa Jawa) di panggung Kompetisi Bahasa dan Sastra 2025 di Taman Budaya Embung Giwangan, Kota Yogyakarta, Selasa (1/7/2025) siang WIB.
Gibran adalah remaja asal Umbulharjo, Kota Yogyakarta, yang menjadi salah satu finalis Kompetisi Bahasa dan Sastra 2025 antar kemantren di Kota Yogyakarta dari cabang lomba Maca Geguritan untuk kategori remaja.
Dalam membaca geguritan, Gibran tak hanya memainkan vokal dan intonasi semata, tapi juga ekspresi wajah dan gestur tubuh. Penampilan yang cukup menonjol.
Ternyata, di balik keluwesannya menguasai panggung, Gibran bisa dibilang agak pemalu.
“Saya tertarik geguritan sejak masuk MTs. Karena saya memang suka yang berbau kebudayaan Jawa,” ungkapnya malu-malu.
“Tantangan kalau membaca geguritan itu cara memainkan mimik wajah sama pelafalan kata per katanya,” sambungnya.

Panggung geguritan: menambah kepercayaan diri
Tampak luwes di panggung tapi ternyata pemalu ternyata juga Mojok temui dari diri Devina Azaria (13), remaja asal Gondokusuman, Kota Yogyakarta yang satu kategori dengan Gibran.
Di panggung, dia tampil meyakinkan melalui ekspresi, vokal, gestur tubuh, sekaligus penghayatan atas isi geguritan yang dia bacakan. “Tapi dulu anak ini pemalu, loh,” celetuk seseorang saat Mojok mengajak Devina berbincang, kalimat yang membuat Devina sempat tersipu.
“Tapi memang bisa menambah kepercayaan diri. Karena tampil di depan banyak orang, terus tekanannya kan kalau ada kosakata yang salah. Kalau ragu-ragu, minder, pasti nggak tampil luwes di panggung,” tutur Devina.

Ketertarikan Devina pada geguritan ternyata sudah lama, sejak dia masih duduk di bangku kelas 3 SD. Saat itu, awalnya dia hanya mencoba mencari kegiatan yang produktif.
Lalu bertemulah Devina dengan seni membaca puisi bahasa Jawa alias geguritan. Dari coba-coba, Devina justru menikmati proses berlatih membaca geguritan dan malah menekuninya dengan terlibat aktif dalam berbagai perlombaan.
“Kalau ada yang bilang ini seni kuno, nggak juga. Malah keren karena melestarikan budaya nenek moyang,” kata Devina.
Lebih-lebih, geguritan justru semakin menunjukkan kalau bahasa Jawa sangat kaya dengan kosakata-kosakata indah nan puitis. Dan Devina menyukainya, karena perbendaharaan katanya makin melimpah.
Kala bahasa daerah banyak yang punah
Dalam Kompetisi Bahasa dan Sastra 2025 itu, Devina didampingi oleh guru bahasa Jawa di sekolahnya, Yusuf.
Bagi Yusuf, geguritan adalah salah satu produk bahasa Jawa yang sudah sepatutnya dilestarikan. Mengingat, makin ke sini banyak daerah yang bahasa daerahnya terancam punah.
Merujuk data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa atau Badan Bahasa pada 2024, saat ini sudah ada 11 bahasa daerah yang punah di Indonesia. Lalu ada 25 bahasa daerah yang eksistensinya dalam status terancam.
Data tersebut menyebut, mayoritas bahasa yang punah ada di bagian timur Indonesia. Beberapa di antaranya adalah bahasa Tandia di Papua Barat, bahasa Mawes di Papua, bahasa Kajeli atau Kayeli Maluku, bahasa Piru Maluku, bahasa Moksela Maluku, dan lain-lain.
Oleh karena itu, Yusuf—sebagai guru bahasa Jawa—mengaku senang karena Pemerintah Kota Yogyakarta punya perhatian lebih untuk terus menghidupkan bahasa Jawa melalui berbagai kegiatan.
Ketika anak-anak lebih fasih bahasa asing
Yusuf tidak memungkiri, saat ini anak-anak memang lebih fasih melafalkan bahasa asing ketimbang bahasa Jawa. Bahkan, di titik tertentu, ada juga yang merasa lebih mudah mempelajari bahasa asing ketimbang bahasa Jawa.
Itulah tantangan yang dihadapi guru bahasa Jawa seperti Yusuf: bagaimana kemudian memberi kesan asyik dan mudah dalam mempelajari bahasa Jawa bagi anak-anak.
“Saya selalu berupaya memberikan suasana asyik, sehingga anak-anak suka kalau belajar. Kalau sudah suka, nanti yang rumit-rumitpun pasti akan masuk,” kata Yusuf.

Misalnya persoalan kosakata kuno. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja kadang merasa ganjil dan asing ketika mendengar kosakata Jawa yang masuk kategori lawas.
“Saya mengajak memahami diksi atau kosakata kuno dengan cara, misalnya hari ini kita belajar beberapa kosakata, itu diartikan, dijelaskan cara penggunaannya,” sambung Yusuf.
Selebihnya, tinggal membiasakan anak-anak dalam penggunaan kosakata tersebut, baik dalam konteks membaca geguritan, teks bahasa Jawa, atau bahkan pelafalan sehari-hari.
Apalagi jika tahu bahwa beberapa kosakata Jawa kuno punya arti indah dan puitis, maka itu bisa memancing ketertarikan anak-anak.
Selain itu, Yusuf juga biasanya menggunakan lagu Jawa sebagai media ajar. Sebab, ada banyak lagu Jawa yang menggunakan kosakata-kosakata yang, barangkali, asing di telinga anak-anak. Dengan media lagu, suasana belajar mengajarpun menjadi lebih menyenangkan.
Yogyakarta tidak akan kehilangan identitas
Jika melihat antusiasme masyarakat terhadap Kompetisi Bahasa dan Sastra, rasa-rasanya Yogyakarta tidak akan kehilangan identitasnya, sebagai tanah yang sejak dahulu dikenal sebagai ruang hidup bagi berbagai karya sastra berbahasa Jawa, dari tangan sastrawan sepuh hingga pena anak muda.
Begitulah penuturan Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta, Yetti Martanti dalam sambutannya.
“Yogyakarta tidak akan kehilangan identitasnya selama warga masih menyebut nama kampungnya dengan benar, membaca tembang dengan bangga, dan menulis aksara leluhur dengan penuh hormat,” tutur Yetti.
“Di sini, tutur santun bukan basa-basi, tetapi cara hidup. Sastra bukan sekadar hiburan, tetapi cermin budi pekerti. Dan aksara Jawa bukan hanya ornamen, melainkan warisan estetika dan kebijaksanaan yang menyimpan makna filosofis,” imbuhnya.
Jika melihat data Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, jumlah peserta Kompetisi Bahasa dan Sastra selalu stabil dari tahun ke tahun sejak pertama kali digelar pada 2019 silam.
Tahun ini, agenda final diikuti 186 peserta terseleksi dari berbagai kategori usia, yakni anak, remaja, dewasa, dan umum. Para peserta berkompetisi dalam 15 cabang lomba, di antaranya macapat, maca geguritan, maca cekak, alih aksara, sesorah, mendongeng, dan pranatacara.
Kompetisi Bahasa dan Sastra Yogyakarta: ruang apresiasi dan regenerasi
Sementara itu, Kepala Seksi Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Ismawati Retno menyampaikan, kompetisi ini menjadi ruang penting bagi masyarakat untuk mengekspresikan kecintaan terhadap sastra Jawa sekaligus sarana belajar nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
“Kompetisi ini bukan hanya lomba, tapi ruang edukasi budaya yang terbuka. Kami ingin masyarakat tidak hanya melestarikan, tetapi juga mengaktualisasikan sastra Jawa sebagai media ekspresi yang hidup di ruang-ruang publik,” kata Ismawati.
Ia menambahkan, kompetisi tersebut juga menjadi bagian dari upaya pelestarian berkelanjutan. Sebab menjadi wadah untuk mempertemukan komunitas, akademisi, dan pelaku budaya.
“Dengan begitu, jejaring pelestarian sastra dan aksara di Yogyakarta bisa makin kuat dan nilai-nilai budaya tetap hidup di tengah masyarakat,” harap Ismawati.
Untuk menjaga antusiasme masyarakat terhadap kompetisi ini, Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta menyediakan apresiasi berupa uang dengan total Rp75 juta untuk setiap pemenang di setiap cabang dan ketegori.
Tak hanya itu, tiga pemenang terbaik dari masing-masing kategori nantinya juga bakal menjadi kontingen Kota Yogyakarta di ajang serupa di tingkat DIY pada September 2025 mendatang.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Keuntungan Jika Kamu Punya Pasangan dari Jurusan Sastra Jawa atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan