Di atas panggung Kompetisi Bahasa dan Sastra 2025 di Taman Budaya Embung Giwangan, Kota Yogyakarta, bocah laki-laki 10 tahun itu tampak lanyah membacakan crita cekak (cerita pendek bahasa Jawa). Lewat crita cekak berjudul Bal Tènes ing Bathukku, Ale tampil penuh percaya diri. Wicara (artikulasi) jelas, wirasa (penghayatan) terjaga, wirama (intonasi) teratur, dan wiraga (gestur) selaras. Setiap unsur penampilan seolah saling melengkapi, membuat cerita makin hidup di atas panggung.
Bocah 10 tahun itu bernama Aleser Gahizar Althaf, asal Umbulharjo, Kota Yogyakarta.
Maca Cerkak merupakan salah satu cabang lomba di Kompetisi Bahasa dan Sastra 2025 dengan beberapa kategori usia. Ale–sapaan akrabnya–masuk dalam kategori anak.
Dari rasa penasaran hingga mencintai Bahasa Jawa
Sejak usia 6 tahun, Ale memang suka bertutur. Segala hal selalu dia ceritakan, baik ke teman-temannya, orang tua, bahkan guru-gurunya. Dari sana, guru Ale mendorongnya untuk ikut lomba public speaking seperti mendongeng hingga dai cilik.
“Kami mulai melatih Mas Ale sejak kelas 2 SD untuk ikut program sekolah seperti literasi,” ujar Panji, guru Ale, saat ditemui Mojok di area Taman Budaya Embung Giwangan, Kota Yogyakarta pada Kamis (3/7/2025).
Kata Panji, kebanyakan lomba yang Ale ikuti pada mulanya lebih banyak Bahasa Indonesia. Bakat komunikasinya pun kian terasah. Seiring waktu, Ale lalu menaruh minat untuk mendalami sastra Jawa, termasuk maca cerkak.
“Aku suka sekali sama Bahasa Jawa. Tiap aku tahu kata-kata baru terus langsung paham, aku jadi senang dan keterusan,” kata Ale.

Hingga akhirnya, sang guru mengikutsertakan Ale dalam kompetisi Bahasa dan Sastra 2025.
Saking sukanya dengan Bahasa Jawa, Ale mewakili Kemantren Umbulharjo untuk mengikuti berbagai macam lomba. Mulai dari geguritan (puisi), alih aksara Jawa (transliterasi dari aksara latin ke aksara Jawa), sesorah (pidato), dan maca cerkak (cerita pendek).
Dengan kepercayaan diri dan kemampuannya dalam bertutur bahasa Jawa, dalam Maca Cerkak itu Ale berhasil menyabet juara pertama kategori anak. Adapun di lomba maca Geguritan, Ale juga berhasil menyabet juara kedua. Selanjutnya Ale akan menjadi bagian kontingen Kota Yogyakarta dalam ajang Kompetisi Bahasa dan Sastra tingkat DIY pada September mendatang.
“Lomba maca cerkak ini dapat meningkatkan kompetensi, mendekatkan anak dengan akar tradisinya, serta memupuk kecintaan kita terhadap budaya Jawa,” ucap Anis, ibu Ale yang ikut bangga dan selalu mendampingi anaknya saat kompetisi.
Cerkak: imajinasi dan representasi realitas
Margaret Widhy Pratiwi, salah satu juri Maca Cerkak kompetisi Bahasa dan Sastra Kota 2025 menuturkan, cerkak merupakan representasi realitas melalui bahasa sastra.
Artinya, kata dia, cerkak ada sebagai wujud budaya hidup. Bukan benda mati. Di mana, cerkak menjadi salah satu identitas budaya Jawa yang hidup dalam bentuk naratif. Utamanya dalam bentuk ringkas (cekak) tapi dalam Bahasa Jawa.
“Dikarenakan cerkak memuat makna hidup dalam Bahasa Jawa, melestarikan cerkak berarti melestarikan salah satu identitas kebudayaan Jawa,” jelas Widhy.

Senada dengan Widhy, Laga Adhi Dharma yang juga merupakan juri Maca Cerkak kategori anak berujar, penulisan cerkak harus selalu dilestarikan seperti halnya karya sastra lain.
“Selain sebagai bentuk apresiasi terhadap karya sastra Jawa, sekaligus juga dapat membangun serta memperluas imajinasi tentang budaya Jawa yang diangkat dan direpresentasikan di dalam cerkak. Baik untuk pembaca maupun pendengarnya,” ujar Adhi.
Bahasa Jawa: sungai yang mengalirkan pesan leluhur
Sebelumnya, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, melalui sambutannya di hari pertama Kompetisi Bahasa dan Sastra 2025, Selasa (1/7/2025) mengatakan bahwa bahasa, sastra, dan aksara merupakan tiga suluh utama peradaban yang harus terus dirawat keberadaannya.
“Bahasa itu ibarat sungai yang mengalirkan pesan leluhur, sastra adalah angin yang membawa hikmah dari generasi ke generasi, dan aksara adalah jejak yang ditinggalkan masa lampau agar kita tidak lupa dari mana kita berasal,” ujar Yetti.
Ia menambahkan, di Yogyakarta, pelestarian ketiganya bukan sekadar kewajiban moral, tetapi juga strategi kebudayaan untuk menjaga jati diri di tengah arus global.

“Di sini, tutur santun bukan basa-basi, tetapi cara hidup. Sastra bukan hanya hiburan, tetapi cermin budi pekerti. Dan aksara Jawa bukan sekadar ornamen, melainkan warisan estetika dan kebijaksanaan yang harus terus diwariskan,” katanya.
Yogyakarta: Ruang edukasi budaya yang terbuka
Seirama dengan semangat pelestarian dari Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta tersebut, tak ayal jika Kompetisi Bahasa dan Sastra menjadi ajang yang konsisten digelar sejak 2019.
Apalagi antusiasme masyarakat begitu besar. Terbukti dari banyaknya jumlah peserta yang selalu stabil dari tahun ke tahun.
Kepala Seksi Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Ismawati Retno menyampaikan, kompetisi ini menjadi ruang penting bagi masyarakat untuk mengekspresikan kecintaan terhadap sastra Jawa sekaligus sarana belajar nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
“Kompetisi ini bukan hanya lomba, tapi ruang edukasi budaya yang terbuka. Kami ingin masyarakat tidak hanya melestarikan, tetapi juga mengaktualisasikan sastra Jawa sebagai media ekspresi yang hidup di ruang-ruang publik,” kata Ismawati.
Ia menambahkan, kompetisi tersebut juga menjadi bagian dari upaya pelestarian berkelanjutan. Tiga pemenang terbaik dari masing-masing kategori akan menjadi kontingen Kota Yogyakarta di ajang serupa di tingkat DIY pada September 2025, sekaligus berkesempatan mengikuti berbagai program kebudayaan kota.
“Kami berharap kegiatan ini terus menjadi wadah yang mempertemukan komunitas, akademisi, dan pelaku budaya. Dengan begitu, jejaring pelestarian sastra dan aksara di Yogyakarta bisa makin kuat dan nilai-nilai budaya tetap hidup di tengah masyarakat,” tegas Ismawati.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Melestarikan Aksara Jawa Ala Yogyakarta, Bukan Sekadar Nguri-uri tapi Juga Ngurip-urip atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.