Beberapa orang merasa menemukan ketenangan di desa. Selain suasana serba hijau, di antara faktornya adalah lantaran budaya guyub rukun warganya. Namun, ada juga yang justru menganggap kerukunan tersebut hanya mitos belaka. Ada fakta-fakta pahit yang membuat berpikir, rasa-rasanya merantau ke kota jauh, hidup individualistik di perantauan jauh lebih baik.
***
Setiap pulang ke kampung halaman, beberapa teman dan saudara sering bertanya rencana saya di masa mendatang: Menua di perantauan atau pulang dan kembali hidup di desa?
Sialnya, saya belum punya gambaran jelas. Saya hanya mencoba menjalani apa yang bisa saya jalani hari ini. Rezeki saya saat ini lewat jalur merantau, ya sudah saya nikmati dulu.
Namun, saya tidak bisa menampik, di hati kecil saya terbersit keinginan untuk pulang ke desa suatu hari nanti. Menjalani hidup dengan lamban, sak madya, dan yang paling penting adalah tidak jauh-jauh dari keluarga.
Sementara beberapa teman berpikir sebaliknya: Mereka sangat ingin meninggalkan desa. Bukan semata karena kondisi ekonomi. Tapi karena fakta-fakta pahit tentang desa yang selama ini kerap tertutup oleh narasi “Betapa ayem hidup di desa”.
Lebih baik hidup individualistik daripada hidup sama tetangga dan saudara julid
“Kamu pengin hidup ayem di desa? Jangan harap. Kamu selama ini merasa ayem tiap pulang karena kamu di rumah hanya tiga hari. Kalau sudah bertahun-tahun, mentalmu pasti akan kacau,” ujar seorang teman saat berbincang di sela nonton pertandingan SEA Games 2025 antara timnas sepak bola putra Indonesia vs Filipina, Senin (8/12/2025) malam.
Hingga sekarang berumur 25 tahun, ia memang tidak pernah merantau ke kota jauh. Hanya nyantri lama di pondok pesantren di dalam kabupaten sendiri. Beda dengan saya yang lebih banyak menghabiskan waktu di kota orang.
Makin ke sini, teman saya itu berpikir untuk meninggalkan desa. Bekerja apa saja di luar kota. Kalau harus merantau ke luar negeri pun tak masalah. Mengingat, kebanyakan laki-laki desa kami memang merantau bekerja sebagai kuli bangunan di Malaysia.
“Pasti kamu akan bilang, hidup di perantauan, apalagi di kota besar seperti Surabaya atau bahkan Jakarta itu nggak enak. Sendirian, jauh dari keluarga, budayanya individualistik. Tapi mending hidup nafsi nafsi (sendiri-sendiri), tak ada gangguan dari orang lain,” katanya.
Di desa, lanjutnya, ia harus tahan-tahanan mental hidup dekat dengan tetangga dan saudara julid. Sedikit-sedikit dibandingkan-bandingkan. Sedikit-sedikit dijulidin. Umur segini belum nikah kena sindir. Umur segini belum jadi “orang”, kena cibir. Serba salah.
Mitos kerukunan dan keramahan warga desa: baik di depan, busuk di belakang
Berangkat dari keresahan teman saya sendiri, saya kemudian menemukan fakta-fakta lain perihal kehidupan di desa dari cerita tiga orang lain. Dua orang merupakan pemuda usia 29 tahun dan 33 tahun yang berasal dari desa yang sama di Jawa Tengah. Sementara satu narasumber lain adalah pemuda desa berumur 29 asal Jawa Timur.
Meraka merasa, kerukunan dan keramahan di desa sebenarnya hanya mitos belaka. Pasalnya, banyak orang yang mereka dapati bisa berwajah dua. Bisa tampak sangat baik di depan, tapi bisa menjadi sangat busuk di belakang. Kerukunan dan keramahan tidak lebih dari sekadar basa-basi amat basi.
Mereka menyaksikan, misalnya ada orang punya acara dan mengundang tetangga dan saudara. Di depan pemilik hajat, para tetangga dan saudara itu menunjukkan wajah antusias. Memberi kesan guyub satu sama lain.
Namun, di belakangnya, oknum tetangga dan saudara itu bisa nyinyir habis-habisan misalnya hanya karena acara yang digelar terlampau sederhana.
Jika bertemu di jalan, di masjid, atau di mana pun, antar-warga bisa tampak saling peduli dan saling mendukung. Tapi kalau sudah di belakang, yang terjadi bisa saling menjatuhkan dan menjelakkan-jelekkan. Tiga narasumber say aitu sampai menyebut, “Wajah asli desa itu bukan kerukunan, tapi saling makan bangkai sesama.”
Tak ada gotong royong atau saling tolong secara cuma-cuma di desa
Satu hal yang saya sukai setiap pulang dari perantauan adalah: Melihat bagaimana warga desa bisa saling gotong royong atau saling tolong.
Di desa saya ada istilah “sambatan”. Yakni ketika tetangga akan membantu memberikan waktu dan tenaga untuk hajat tertentu. Misalnya, saya baru saja menyembelih kambing untuk akikah anak pertama saya. Tanpa diminta, tetangga-tetangga dekat ikut turun membantu.
Tapi tiga narasumber saya memberi pengakuan berbeda. Dalam kasus di desa mereka, sejatinya tidak ada saling tolong yang diberikan secara cuma-cuma. Ada tuntutan untuk membalas dengan sepadan.
Misalnya, jika Si A membantu Si B hari ini, maka kelak Si B harus membantu balik. Kalau suatu saat ternyata Si B absen membantu karena situasi tertentu, Si B bisa habis jadi omongan di belakang.
Dalam tradisi “buwuh/buwoh/bowoh” (Menyumbang orang menikah, kematian, kelahiran bayi, khitanan, dan hajatan-hajatan lain) lebih ngeri. Jika Si A menyumbang uang Rp100 ribu dan beras Rp3 kilogram, itu harus Si B catat untuk dikembalikan dengan angka yang sama ketika Si A giliran menggelar acara.
Kalau tidak sama, bahkan jika sumbangan beras yang diberikan Si B kualitasnya berbeda dengan yang pernah Si A kasih, benih-benih permusuhan bisa lahir dari sini. Tak ada pemberian cuma-cuma, yang berlaku adalah utang-piutang.
Padahal, bagi tiga narasumber saya, harusnya membalas bantuan atau sumbangan orang lain harusnya tidak perlu sepadan. Semampunya saja. Bahkan jika tidak membalas bantuan harusnya tak jadi soal.
Perkara warisan bisa jadi fitnah brutal
Tiga narasumber saya menyaksikan sendiri, baik di keluarga mereka maupun warga desa lain, betapa perkara warisan bisa menjadi fitnah yang begitu mengerikan.
Kata mereka, tak terhitung berapa hubungan kekeluargaan putus begitu saja gara-gara berebut warisan. Warisan dari orang tua sudah coba dibagi seadil-adilnya sesuai syariat. Namun, ada saja yang tidak puas: Berhasrat mendapat jatah lebih banyak.
Saling fitnah pun tak terhindarkan. Pihak Si A membuka aib-aib Si B kepada warga lain. Pihak Si B menebar fitnah brutal tentang Si A: Menuding Si A punya pasangan simpanan, Si A suka menilap uang keluarga, tak pernah salat, dan seterusnya.
Bahkan, ada juga kakak-beradik yang sudah mengavling warisan masing-masing. Bapak mereka memang sudah tua, tapi sebenarnya masih sangat bugar. Akan tetapi, di hadapan sang bapak, kakak-beradik itu saling gontok-gontokan untuk membagi jatah warisan masing-masing. Mengerikan sekali.
***
“Yakin suatu saat kamu akan pulang ke desa, meninggalkan perantauan?” Pertanyaan itu ditujukan kepada saya. Saya masih belum bisa menjawab.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pertama Kali Punya Mobil Pribadi buat Pamer ke Tetangga, Malah Berujung Repot Sendiri hingga Dijual Lagi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












