Selain terkenal sebagai Kota Pendidikan, Malang juga populer sebagai Kota Bunga dan Kota Wisata. Sayangnya, julukan tersebut perlahan-lahan memudar mengingat aktivitas warga Malang yang bikin resah wisatawan maupun perantau. Ia dianggap tak cocok sebagai tempat slow living.
Keindahan alam Kota Malang tak perlu dipertanyakan. Salah satu kota di Jawa Timur ini punya pemandangan alam lengkap, seperti pegunungan, perbukitan, laut, pantai, serta air terjun.
Objek wisata tersebut telah banyak didatangi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Namun akhir-akhir ini, wisatawan, perantau, bahkan akamsi alias anak kampung sini mengaku tak bisa menikmati kota itu lagi.
#1 Kota Malang darurat sampah
Sejak tahun 2019 lalu, Malang masuk sebagai salah satu kota darurat sampah. Wali Kota Malang Sutiaji mengatakan sampah yang sudah dipilah dan masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA) Supiturang dalam satu hari bisa mencapai 600 ton, di antaranya adalah sampah domestik maupun industri.
Sutiaji mengatakan masih kesulitan untuk mencari lahan baru guna mengatasi masalah tersebut, sebab beberapa di daerah Kota Malang menolak dijadikan TPA. Hal itu pun diakui oleh Novandya (30), seorang warga Malang yang memilih menjadi peternak maggot karena di daerah rumahnya warga kesulitan membuang sampah.
Kebanyakan dari mereka memilih membakar sampah yang menyebabkan polusi. Sementara menurut Novandya, budidaya maggot juga bisa menjadi solusi karena maggot dikenal sebagai dekomposer atau mengurai sampah organik.
“Salah satu motto hidupku adalah meninggalkan legasi baik untuk sekitarku dan masih bermanfaat di masa depan. Jadi semisal aku mati nih, aku terkenalnya bakal seperti apa? Aku ingin memberikan kontribusi terbaikku selama hidup.” Kata Novandya.
#2 Jalanan yang macet parah
Sejak merantau ke Kota Malang, Ines (24) menyadari kemacetannya tak terlalu berbeda dengan Surabaya, kota asalnya. Ines mewajari hal tersebut karena Kota Malang memiliki banyak universitas, sekolah, maupun lembaga bimbingan belajar yang membuatnya terkenal sebagai Kota Pendidikan.
“Otomatis, saat pagi hari terutama di antara jam 6.00 WIB hingga 07.00 WIB, volume kendaraan jadi naik karena aktivitas rutin orang berangkat ke sekolah dan kerja. Utamanya jalan menuju kampus,” ucap Ines.
Banyaknya mahasiswa yang merantau dan tinggal di Kota Malang seperti Ines, menghidupkan bisnis coffe shop di sana. Bahkan, kata Ines, tempat tersebut tak hanya dijadikan nongki sebab juga menyediakan ruang rapat atau ruang belajar.
#3 Tercemar karena sound horeg
Baru-baru ini, sejumlah pembisnis sound horeg mendeklarasikan perubahan nama menjadi sound karnaval Indonesia. Disinyalir, sound yang menghasilkan suara sangat keras ini berasal dari Jawa Timur, khususnya Malang.
Ines mengaku, fenomena sound horeg ini kebanyakan terjadi di Kabupaten Malang. Walaupun tidak terjadi di daerah kota, Ines mengaku masih terkena imbasnya. Mulai dari macet parah dan citra Kota Malang yang kian memudar.
“Dimana lagi aku harus mencari ketenangan?” ucap Ines yang memang berniat menetap di Kota Malang, karena dulu merasa tempatnya cocok untuk slow living.
Namun, kini ia hanya bisa menggerutu karena fenomena sound horeg itu. Begitu pula Danar, laki-laki asal Banyuwangi yang kini tinggal di Kota Malang itu hanya bisa pasrah.
“Aku sudah mulai menerima keadaan. Mau protes ya nggak guna,” ucapnya.
Baca Halaman Selanjutnya












