Selama ini orang memandang Kali Jagir Wonokromo, Surabaya sebagai tempat yang penuh dengan mitos dan mistis. Maka saya mencoba melihatnya dari sisi lain. Bagi saya, Kali Jagir Wonokromo, Surabaya adalah tempat orang-orang miskin putus asa menghibur diri.
***
Sejak tahun 80-an Kali Jagir Wonokromo, Surabaya sudah terkenal dengan mitos adanya buaya putih gaib yang senantiasa mencari tumbal. Tidak sedikit orang Surabaya mempercayai mitos tersebut lantaran banyaknya korban berjatuhan di salah satu aliran sungai terbesar di Surabaya tersebut: dari tahun ke tahun pasti ada saja berita orang tenggelam.
Awal tahun 2024 ini pun sudah ramai berita orang tenggelam. Melansir dari berbagai sumber, seorang pria usia 40-an tahun ditemukan tewas usai tercebur saat memancing di Kali Jagir Wonokromo, Surabaya. Alhasil, mitos mengenai buaya putih pun masih terus berbiak di kalangan masyarakat setempat.
Meski begitu, Kali Jagir Wonokromo, Surabaya masih terus menjadi jujukan para pemancing. Karena beberapa di antara pemancing itu sebenarnya mancing pun bukan karena hobi. Tapi lebih karena ingin lari sejenak dari masalah hidup yang tengah mereka hadapi.
Meratapi kemiskinan di Kali Jagir Wonokromo Surabaya
Beberapa orang tampak duduk melamun di beberapa titik teduh di dekat pintu air Kali Jagir Wonokromo, Surabaya. Tangannya memegang pancing. Matanya hanya menatap kosong aliran sungai yang cukup deras. Wajah mereka tampak sendu.
Saya sengaja tak langsung mendekat ke satu dari mereka. Saya memilih berjalan dulu ke area pintu air, untuk mendapat potret Kali Jagir yang lebih utuh dari kamera ponsel.
“Ada air?” tanya seorang pemulung, mungkin berusia 60-an yang tengah duduk lesu di dekat pintu masuk pintu air Kali Jagir Wonokromo. Pemulung yang kemudian saya tahu bernama Warno. Tubuhnya kurus. Di sisinya adalah karung berisi botol-botol plastik hasilnya memulung setengah harian itu, Sabtu (20/4/2024).
Saya lantas menyodorkan botol air yang saya beli sebelum jalan ke Kali Jagir. Isinya tinggal setengah. Tapi airnya masih agak dingin, cukup lah untuk menyegarkan tenggorokan yang kering lantaran matahari Surabaya yang sangat menyengat jelang jam 12 siang itu. Botol air yang langsung Warno terima dengan wajah datar.
Warno mengaku di masa mudanya bekerja serabutan. Tapi makin tua ia hanya bisa memulung untuk menyambung hidup bersama istri.
“Jadi orang miskin di kota (sebesar) Surabaya ya harus sengsara kalau mau bertahan hidup. Memangnya mau minta tolong siapa?” ucap Warno dengan nada agak ketus.
Saat saya tanya apakah Warno punya anak dan di mana anak-anaknya, ia diam saja. Ia justru memalingkan wajah. Lalu terdengar hembusan nafas berat dari pria kurus tersebut.
Tak lama kemudian, Warno pamit merebahkan badan. Panas Surabaya di jam-jam 12 siang memang sangat menyiksa. Warno mengaku butuh waktu tidur sejenak untuk kemudian lanjut memulung lagi. Ia lantas menutup wajahnya dengan topi kusam miliknya. Saya pun beranjak pergi.
Seorang bapak yang bingung bayar utang
Saya kemudian mendekati sorang bapak-bapak yang sedang berteduh di bawah rindang pohon mangga. Namanya Giman (50-an tahun), ia tidak sedang memancing meski di sebelahnya tergeletak alat pancing. Ia hanya melamun saja menatap aliran air Kali Jagir Wonokromo, Surabaya.
“Kalau sedang banyak pikiran, hiburannya ya ke sini. Nggak mungkin lah kalau ke mal,” ujar Giman dengan tawa yang agak dipaksakan.
Semasa mudanya dulu Giman bekerja sebagai buruh pabrik di beberapa pabrik di Jawa Timur. Namun setelah menginjak usia 40-an, ia kena PHK. Sehingga ia harus balik ke Surabaya dengan kebingungan mau bekerja apa.
“Akhirnya ya nguli. Tapi penghasilan nggak tentu karena nggak setiap ada proyek saya ikut,” tutur Giman.
Sejak PHK dari pabrik terakhirnya di Sidoarjo, sang istri kemudian berinisiatif jualan jajajan anak-anak. Tapi hasilnya tak terlalu besar. Sehingga ketika ada kebutuhan mendesak yang membutuhkan uang besar, mau tak mau ia harus utang.
Giman mengaku utangnya makin hari makin menumpuk. Ia mulai bingung harus cari uang dengan cara apa untuk melunasi utang-utangnya tersebut. Sementara yang ia lakukan saat ini adalah gali lubang tutup lubang. Bagi Giman, cara tersebut alih-alih merampungkan masalah, justru menciptakan masalah baru. Tapi mau bagaimana lagi?
“Anak dua. Yang satu sudah kerja sendiri. Yang satu masih SMK. Aku merasa bersalah sama yang anak pertama. Dulu sempat punya bayangan mau kuliah, tapi orang tuanya nggak ada biaya. Jadi dia milih lulus SMK langsung kerja di Gresik,” kata pria asli Surabaya tersebut.
Putus asa dan bunuh diri di Kali Jagir Wonokromo Surabaya
Tentu tak semua orang yang ada di Kali Jagir Wonokromo, Surabaya adalah orang-orang miskin yang putus asa dengan nasibnya. Ada juga orang seperti Riyadi (37), yang ke Kali Jagir Wonokromo murni untuk urusan menyalurkan hobi memancing.
Siang itu ia ditemani dengan sang anak. Keduanya tampak membawa peralatan mancing cukup lengkap.
“Niatnya ya buat nyenengin anak. Kalau libur sekolah memang suka ngajak mancing. Urusan dapat atau nggak itu belakangan. Yang penting berangkat mancing dulu sudah seneng,” beber pria yang sehari-hari bekerja sebagai driver ojek online tersebut.
Kami lalu berbincang perihal mitos buaya putih di Kali Jagir Wonokromo, Surabaya. Riyadi sendiri sudah sejak lama mendengar mitos tersebut. Namun ia mengaku setengah percaya setengah tidak.
Tiap ada berita orang tenggelam, ia menyebut itu murni kecelakaan, tidak ada kaitannya dengan buaya putih cari tumbal. Karena memang sering kali orang yang mancing di Kali Jagir memilih melampar kail di tembok miring pembatas sungai. Tentu potensi kepelesetnya besar.
“Dugaanku, ada juga yang memang sengaja bunuh diri karena sudah putus asa sama hidupnya. Hidup di Surabaya bagi orang-orang miskin memang bikin pengin cepet-cepet mati,” ujar pria asal Lamongan yang sudah menetap di Surabaya sejak 2016 itu.
Sebagai dirver ojek online, penghasilan Riyadi pun sebenarnya tak tentu. Tapi ia memang mencoba mensyukuri rezeki yang ia dapat. Karena bagi Riyadi, kalau terlalu dipikir maka berujung sumpek. Kalau sudah sangat putus asa, nanti ujung-ujungnya bisa sampai bunuh diri.
“Wah itu apa nggak bahaya ya Cak?” tanya saya pada Riyadi saat melihat sekelompok anak kecil yang bermain-main di tembok miring pembatas Kali Jagir Wonokromo, Surabaya.
Kata Riyadi, tentu sangat berbahaya. Kalau meleng sedikit anak-anak itu bisa terpeleset dan hanyut. Tapi kalau dilarang, anak-anak yang rumahnya di sekitar Kali Jagir Wonokromo itu tentu malah akan ngeyel. Sebab, hanya itulah hiburan terbaik yang mereka punya sebagai anak-anak yang terlahir di rumah-rumah kumuh nan pengap di sekitaran Kali Jagir.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News