Betapa jahatnya keluarga bapak. Bukan hanya bikin merasa fatherless, tapi juga membenci rumah dan seremoni-seremoni kumpul keluarga. Mereka selalu bersikap jahat kepada keluarga ibu bahkan keluarga sendiri. Tapi bapak selalu tak berdaya dan cenderung membela keluarganya setengah mati.
***
Suasana berkabung masih menyergap seisi rumah Fauzi (25), bukan nama sebenarnya. Bapak Fauzi masih kerap melamun sendiri di terasa rumah, sembari menghabiskan berbatang-batang kretek tangan.
Bapak Fauzi masih di luar Jawa ketika kabar duka itu tersiar melalui sambungan telepon: Sang Ibu (nenek Fauzi) meninggal. Sayangnya, karena perjalanan yang cukup jauh, Bapak Fauzi tak sampai bisa menatap wajah ibunya sebelum dimakamkan.
Bedebahnya, belum genap tujuh hari sejak meninggalnya Nenek Fauzi, keluarga dari sang Bapak kerap datang di sore hari menjelang Magrib. Ada paman dan anaknya. Mereka datang bukan untuk saling meluruhkan duka, tapi menagih harta warisan.
Perkara warisan, keluarga bapak sampai tebar fitnah ke tetangga
“Ibu berkali-kali bilang ke bapak agar menjelaskan ke keluarga dia, warisan berupa tanah itu sudah bapak jual atas persetujuan nenek. Karena waktu itu, nenek sendiri yang bilang, ada sisa tanah bisa dijual buat merawat nenek sampai akhir hayat,” kata Fauzi, Minggu (5/10/2025).
Paman Fauzi pun sebenarnya juga ada di momen tersebut. Tak pelak Fauzi dan bapaknya kaget: Kok bisa-bisanya keluarga bapak menuntut warisan. Tuntutannya: Kalau tidak berupa tanah, ya berarti hitungan tanah itu kejual berapa, itu yang dibagi dua.
Masalahnya, uang hasil jual tanah itu memang sudah benar-benar habis untuk merawat nenek Fauzi di masa hidup hingga akhir hayatnya. Dari berkali-kali masuk-keluar rumah sakit hingga biaya pulasara.
Nyatanya Bapak Fauzi tak bisa menyangkal. Katanya, Bapak Fauzi tidak mau ribut sesama keluarga. Jadi dia mengalah, memikirkan caranya mengumpulkan uang sebagai ganti warisan.
“Karena jahat sekali. Keluarga bapak sampai tebar fitnah ke tetangga-tetangga, bilang Bapak jual tanah itu buat uangnya dibagi-bagi ke keluarga ibu. Jahat sekali. Keluarga ibu sampai menangis mendengar itu,” ucap Fauzi.
Tak mau ikut susah, giliran yang enak-enak rebutan
Fauzi kadang muntab dan terdorong untuk melabrak pamannya. Namun, ibunya melarang. Sebab, jika sang Bapak tahu, pasti malah keluarga ibunya yang bakal kena lagi. Di titik inilah Fauzi amat menyayangkan sang Bapak yang teramat lunak terhadap kejahatan keluarganya, tapi rela kalau istri dan anaknya disudutkan.
“Sejak kejadian itu aku memang memilih nggak mau lagi berhubungan dengan keluarga bapak. Mereka cuma nongol saat butuh Bapak. Tapi pas Bapak yang butuh, boro-boro nongol,” gerutu Fauzi.
Fauzi ingat betul. Sebelum neneknya meminta tanahnya dijual, Bapak dan Ibu Fauzi harus utang sana-sini untuk biaya berobat Nenek Fauzi. Kalau Bapak Fauzi minta tolong keluarganya, mereka acuh. Seakan tak peduli.
Bahkan sesepele diminta bergantian menjaga di rumah sakit saja mereka beralasan sibuk. Tapi giliran mereka butuh Bapak, misalnya sang Paman yang ngutang buat biaya kuliah anaknya, mereka menjilatnya bukan main. Sampai bikin risih sendiri.
Tak di pihak istri dan anak sendiri, bikin fatherless-membenci rumah dan kumpul keluarga
Sementara di ingatan Riris (26), bukan nama asli, adalah momen ketika dia hendak dan lulus kuliah.
Ibu Riris sempat meminta agar Bapak Riris menjual sebagian tanahnya untuk biaya awal kuliah Riris. Namun, atas bisikan dari keluarga (paman Riris dan lain-lain), Bapak Riris menolak.
“Jadi yang jual tanah itu ibuku. Dia jual tanah yang dulu dibelikan simban,” kata Riris.
Alasan keluarga sang Bapak berbuat demikian: Pertama, kuliah itu ibarat investasi bodong. Keluar biaya besar tapi belum tentu balik modal.
Kedua, tanah tersebut memang dikelola pamannya. Dari situlah Pamannya mendapat cuan dari hasil bumi. Sehingga kalau dijual, sang Paman akan kehilangan salah satu sumber pemasukan.
“Aku lulus pun begitu. Sempat kan beberapa bulan nganggur. Itu Bapak karena bisikan keluarganya sampai gerutu, kuliah mahal-mahal nyatanya nganggur,” ungkap Riris dengan suara bergetar.
Ibu Riris bukannya tanpa tindakan. Ibu Riris kelewat sering mengingatkan Bapak kalau dia sedang dimanfaatkan oleh keluarganya. Karena banyak aset sang Bapak yang dikelola mereka. Bahkan sertifikatnya pun dipegang oleh salah satu paman Riris.
Tapi yang terjadi, Bapak Riris malah kerap mendamprat Ibu Riris dengan kalimat-kalimat kasar. Menyebut Ibu Riris sebagai perempuan penghasut.
Bapak Riris seperti lebih peduli dengan keluarganya, tapi tidak dengan istri dan anaknya. Alhasil, Riris pun merasa fatherless. Dia juga merasa benci dengan rumah. Bapaknya ada di sana, keluarganya utuh, tapi tak terasa seperti keluarga.
Lihai-berganti-ganti wajah
Dari kecil, Riris merasa keluarga Bapak adalah jujukan keduanya. Sebab, setiap kali ada kumpul keluarga (misalnya lebaran), Riris melihat betul betapa keluarga sang Bapak selalu bermanis tutur. Tampak grapyak dan penyayang.
Namun, makin dewasa, Riris akhirnya bisa melihat betapa lihainya keluarga sang Bapak berganti-ganti wajah. Manis di depan, baik di satu waktu, tapi bisa jadi busuk di belakang dan momen yang lain.
“Contoh sederhana begini, setiap kumpul keluarga lebaran, aku itu kayak disambut. Tapi di luar itu, misalnya ketemu di jalan saja, mereka nggak nyapa. Ini kan aneh. Jadi akrabnya cuma formalitas saja,” ungkap Riris.
“Setelah besar, sering jadi teman curhat ibu, akhirnya aku tahu, ternyata baik-baiknya keluarga Bapak itu hanya kepura-puraan. Di belakang, mereka ibarat memakan bangkai saudaranya sendiri,” sambungnya.
Hubungan Riris dan sang Bapak memang terus mendingin. Sepanjang sang Bapak tetap memilih di pihak keluarganya daripada istri dan anaknya. Karena ada banyak persoalan yang ujung-ujungnya begitu, yang tidak bisa Riris ungkapkan lebih banyak di sini.
“Aku juga kerap meminta ibu pisah dari Bapak. Aku sudah kerja. Gaji lumayan. Aku bisa menghidupi Ibu. Tapi bagi ibu, pisah juga bukan perkara mudah,” tutupnya.
Ribuan orang rasakan jahatnya keluarga bapak dan fatherless
Ada ribuan orang mengaku fatherless dan memiliki konflik keluarga cukup kompleks akibat jahatnya keluarga bapak. Setidaknya begitu yang Mojok dapati dari konten Instagram @adsfort.
Lihat postingan ini di Instagram
“Di keluarga bapak, nggak bakal dianggap kalau miskin. Di keluarga ibu, gimanapun jalanmu kamu tetep keluarga,” tulis @er_mayy.
“Gimana gak sakit hati si, bapak gua malah dikenalin perempuan lain sama adek kandungnya biar bisa kawin lagi. Dengan alasan gak pernah setuju sama pernikahan bapak sama ibu gue. Kenapa gak dari awal gitu lho jauhin emak gue. Ini gue udah gede, udah tau mana salah mana bener. Kesel bgt,” tulis @l_01080108
“Jahat memang keluarga bapak. Dulu bapak tahan banting tulang buat biayain anak-anak adeknya sampai kuliah, sampai anak-anknya manfaatin bapak minta duit buat ini itu,” tulis @lina.febriana.
Fatherless pun kini menjadi isu yang tengah menjadi sorotan. Bapak, bagaimanapun memegang peran penting dalam keluarga. Saat dia hanya sekadar ada tapi tidak sepenuhnya hadir, yang terjadi adalah kekosongan peran yang menimbulkan dampak-dampak psikologis bagi keluarga, terutama anak.
Apakah kamu (para pembaca Mojok) juga merasa serupa?
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Duka Setelah Merantau: Ketika Rumah Menjadi Tempat yang Asing untuk Pulang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












