Fenomena anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah alias fatherless menjadi konsentrasi Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN saat ini. Namun, fenomena ini tak datang tiba-tiba. Pakar menyebut ada “struktur sosial” yang terpaksa membentuknya.
Fatherless: Tumbuh tanpa kehadiran ayah
Saat usia 6 tahun, Alfian harus terbiasa mandiri berangkat dari rumah, naik angkot, lalu jalan kaki, untuk sampai ke sekolah. Ibunya sibuk bekerja sejak pagi, sementara ayahnya sudah tidak tinggal di rumah.
Dulu, sebelum kedua orang tuanya berpisah, Alfian masih sering diantar pergi ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Jadi, ia sudah sedikit hafal jalanan dari rumahnya. Kini, dengan penglihatannya yang terbatas, Alfian harus berani berangkat sendiri.
“Waktu SD aku jalan kaki buat berhentiin angkot di sekitar Jalan Tidar. Kira-kira perjalanan hampir satu kilometer terus aku turun dari angkot. Lalu, jalan kaki lagi sekitar 400 meter buat sampai ke sekolah,” ucap Alfian kepada Mojok, Selasa (15/7/2025).
Pulangnya, ia masih menggunakan angkot. Hanya saja, tempat pemberhentian angkot yang ia pilih untuk pulang lebih jauh. Ia harus jalan kaki lewat pasar dan makam supaya rute perjalanannya lebih dekat dengan rumah.
“Awalnya ya nggak mudah. Kadang-kadang aku jatuh atau ketabrak karena penglihatanku yang kurang. Tapi, instingku semakin tajam karena harus begitu sampai SMP. Jadinya sekarang hafal setiap sudut jalan,” kata Alfian.
Dari sana, Alfian berpikir, begitulah cara ibunya mendidik dan membesarkannya tanpa kehadiran seorang ayah. Tanpa membeda-bedakan dirinya yang seorang difabel. Ibunya selalu menasihati dan banting tulang sendirian demi mencukupi kebutuhan keluarga.
“Dari kecil Mama selalu bilang, ‘kamu harus buktikan ke orang lain bahwa kamu tetap bisa jadi orang yang berguna dan berdaya meski nggak bisa lihat’,” ucap Alfian.
Ayah antar anak di hari pertama sekolah
Kejadian yang dialami Alfian boleh jadi hanya secuil cerita dari sekian banyak anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah (fatherless). Menurut data dari UNICEF di tahun 2021, sebanyak 20,9 persen anak di Indonesia tumbuh tanpa memiliki figur ayah akibat perceraian, kematian, atau pekerjaan ayah yang jauh dari keluarga.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2021 mencatat hanya 37,17 persen anak usia 0 hingga 5 tahun yang diasuh langsung oleh kedua orang tua kandungnya secara bersamaan.
Adanya fenomena tersebut, membuat Menteri Kemendukbangga/Kepala BKKBN Wihaji gusar. Ia mengingatkan pentingnya peran pengasuhan ayah terhadap anak guna mengatasi krisis fatherless.
Sebab, dampak dari fenomena fatherless bisa menyebabkan masalah emosional, perilaku, sosial, dan perkembangan kognitif. Seiring dengan data di atas, masalah mental di Indonesia juga semakin memprihatinkan.
Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022 mencatat 33 persen remaja mengalami masalah kesehatan mental, tapi hanya 4,3 persen orang tua yang mampu mendeteksi anaknya memerlukan bantuan.
Guna mengatasi (sebagian kecil) masalah di atas, pemerintah mendorong Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) di mana para ayah harus mengantar anak di hari pertama mereka sekolah. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran Kemendukbangga/Kepala BKKBN Nomor 7 Tahun 2025.
“Gerakan ini juga menjadi simbol perubahan budaya pengasuhan di Indonesia. Dari yang semula terpusat pada peran ibu, menjadi lebih kolaboratif dan setara,” kata dia, Senin (14/7/2025) dikutip dari Antara.
Baca Halaman Selanjutnya
Ada struktur kerja yang maskulin












