Seorang guru honorer Sidoarjo harus menjalani hari demi hari dengan kepala yang berisik dan penuh sesak. Banyak hal ia pikirkan. Perihal gaji, istri yang minggat, tiga anak yang harus ia urus, dan tentu masih banyak hal lain.
***
Setiap kali melihat Mukmin (38), bukan nama sebenarnya, di SMP tempat ia mengajar, matanya sering kali menatap langit dengan nanar.
Mukmin bisa menghabiskan berbatang-batang rokok dalam kesendiriannya di bawah pohon dekat gudang. Tempat favoritnya untuk merenung dan memikirkan banyak hal.
Meskipun tiap dalam keramaian ia selalu tampil sebagai sosok ceria, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan kegetiran yang tengah ia rasakan.
Saya sebenarnya tak terlalu kenal dengan Mukmin. Hanya sebatas saling sapa saja setiap kali saya main di sebuah SMP swasta di Sidoarjo, Jawa Timur yang teman saya kelola.
Dari teman saya itu pula saya akhirnya tahu, kalau Mukmin tengah menjalani hari-hari berat dalam hidupnya sebagai seorang guru honorer.
Bahtera rumah tangga yang rumit
Atas bantuan dari teman saya pula, saya akhirnya bisa mengobrol agak dalam dengan Mukmin pada kesempatan main ke tempatnya pada awal Februari 2024 lalu.
Seperti biasa, di hadapan orang, Mukmin selalu mencoba tampil seceria mungkin. Sesekali ia melempar guyonan yang sebenarnya agak ia paksakan.
“Anakku tiga. Masih kecil-kecil. (Saat ini) masih SD semua,” ucap guru honorer asal Madura itu memulai ceritanya. “Tapi beda ibu”.
Ternyata Mukmin sudah menikah dua kali. Dari istri yang pertama ia mendapat dua anak laki-laki.
Akan tetapi, istri pertamanya tersebut meminta cerai karena merasa gaji Mukmin sebagai guru honorer tidak bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga.
“Waktu itu gajiku masih Rp700 ribuan. Istri nggak mau bawa anak-anak, berarti ya sudah aku yang ngasuh,” ungkapnya.
Kasus serupa pun menimpa rumah tangganya dengan istri kedua. Namun untuk yang kedua, sakitnya lebih terasa karena, kalau meminjam istilah anak zaman sekarang, istri keduanya meng-ghosting Mukmin dengan meninggalkan satu orang anak perempuan yang masih kecil.
Istri minggat ke Arab karena tak tahan gaji guru honorer kecil
Hari-hari menjelang minggatnya sang istri keduanya itu, memang Mukmin dan istri keduanya sering terlibat adu mulut.
Alasannya ya apalagi kalau bukan persoalan ekonomi. Gaji Mukmin sebagai guru honorer, menurut yang sang istri kedua rasakan, mana cukup untuk menghidupi lima orang dalam satu rumah.
“Gajiku kan sudah lumayan naik, jadi Rp1,2 juta. Tapi memang nggak cukup. Utang numpuk di mana-mana,” beber Mukmin.
FYI, SMP swasta tempat Mukmin mengajar memang berada di bawah sebuah yayasan yang cukup lancar dalam pendanaan.
Sehingga, tak seperti kebanyakan guru honorer yang gajinya stuck di angka Rp300 ribu-Rp500 ribu, Mukmin dan rekan-rekannya sesama guru honorer di SMP itu mendapat gaji yang, paling tidak, sedikit lebih tinggi ketimbang guru-guru honorer pada umumnya.
Untuk membantu menambal kebutuhan hidup dan membayar utang-utang, istri kedua Mukmin pun sempat ikut bekerja di warung makan milik saudaranya.
Tapi mungkin karena sudah tak tahan hidup dalam kungkungan kemiskinan dan jeratan utang, istri kedua Mukmin memilih menjadi TKW di Arab.
“Minggat begitu saja. Tanpa pamit. Aku nggak tahu kapan perginya. Cuma ngasih uang saku ke anaknya, setelah itu minggat,” ujar Mukmin.
Dengan kata lain, sebenarnya hubungan antara Mukmin dan istri keduanya tersebut saat ini tak jelas. Cerai tak cerai.
Kalau dibilang cerai, tapi kok belum ada kata cerai dan ketok palu di Pengadilan Agama. Tapi kalau masih menjadi suami istri sah, tapi kok sudah tak pernah menjalin komunikasi lagi.
Istri masih peduli pada anak
Seturut pengakuan Mukmin, istri keduanya yang minggat ke Arab itu memang sudah sama sekali tak menghubunginya. Mukmin pun, meski awalnya merasa nyesek, tapi perlahan-lahan mencoba mengikhlaskan.
Namun, istri keduanya itu ternyata masih suka ngirim uang ke anak perempuannya yang ia tinggal bersama Mukmin.
“Ngirimnya lewat saudaranya. Aku tahu. Tapi itu sudah jadi hak anak. Aku nggak akan ambil,” ujar Mukmin.
Lebih dari itu, istri keduanya yang minggat ke Arab itu ternyata pun dari bulan ke bulan mulai mencicil utang-utang yang menumpuk selama ia masih tinggal dengan Mukmin.
Satu sisi Mukmin merasa tertampar. Karena sebagai suami, gajinya dari guru honorer nyatanya memang tak mampu menutup kebutuhan sehari-hari. Apalagi membayar utang.
Sisi lain ia merasa lega karena meskipun minggat, tapi istri keduanya tersebut tak lupa dan tak lepas kasih sayang begitu saja pada anak perempuannya.
Tak bisa kerja lain selain guru honorer
“Pernah kepikiran merantau juga ke luar negeri. Orang Madura kan banyak juga yang di Malaysia?” tanya saya.
“Kalau aku merantau ke luar negeri, anak-anak siapa yang urus?” jawab Mukmin dengan pertanyaan retoris.
Namun sebenarnya, itu pun bukan jawaban yang sebenarnya.
Sejak dulu Mukmin memang bercita-cita menjadi guru. Itulah kenapa ia kemudian mengambil jurusan Matematika saat kuliah. Ia ingin menjadi guru Matematika.
Hanya saja, ia tak menyangka kalau ternyata menjadi guru tak serta merta mendapat gaji layak. Meski tanggung jawabnya sangat besar: mencerdaskan anak bangsa.
“Sudah berkali-kali ikut CPNS. Nggak lolos,” tutur Mukmin.
Di satu sisi Mukmin mumet karena gajinya sebagai guru honorer nggak cucuk. Tapi di sisi lain, ia sendiri sebenarnya nyaman dengan profesi yang ia tekuni itu.
Bahkan, ia juga masih punya bayangan sampai akhir hayat pun ia akan tetap menjadi seorang guru.
“Kalau jajannya ank-anak, kadang mbah-mbah dan saudaraku ngasih uang. Toh ibunya anakku yang perempuan juga masih sering kirim (ke anak perempuannya),” terang Mukmin.
Maka, Mukmin harus pintar-pintar mengelola gajinya dari guru honorer untuk meng-cover kebutuhan-kebutuhan yang vital.
Belakangan ini Mukmin berniat untuk mencari sumber pemasukan lain. Tapi memang masih belum ia putuskan usaha apa yang akan ia jajal.
“Anak-anak terus tumbuh. Nanti harus sekolah dari SMP sampai SMA. Kebutuhan pun pasti akan lebih banyak. Aku belum tahu nanti bagaimana. Gelap. Mumet,” tutup Mukmin dengan tawa sumir.
Sebenarnya, Mukmin sempat di fase sangat hancur dan putus asa atas apa yang telah terjadi di hidupnya.
Ia sempat membayangkan opsi kematian: bunuh diri untuk mengakhiri penderitaan dan rasa sakit yang ia rasakan.
Hanya saja, bayangan anak-anaknya yang masih membutuhkannya membuat Mukmin bertahan dan bahkan bertekad hidup lebih lama lagi.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel lainnya di Google News