Sikap driver Grab Jogja membuat saya sempat mengalami culture shock. Pasalnya, sikap yang mereka tunjukkan pada penumpang—termasuk pada saya—belum pernah saya dapatkan dari driver Grab Surabaya.
***
Sebagai orang baru di Jogja yang masih buta dengan seluk-beluknya, saya lebih sering menggunakan jasa Grab untuk bepergian ke titik-titik tertentu. Biar lebih mudah.
Termasuk yang paling baru adalah akhir pekan lalu, Jumat, (9/2/2024)-Minggu, (11/2/2024), saat saya harus pergi-pulang dari kos teman saya di Nologaten ke Terminal Giwangan.
Pengalaman menggunakan jasa Grab Jogja benar-benar menyenangkan. Sepanjang perjalanan, driver Grab Jogja, menurut penilaian saya pribadi, sangat-sangat ramah. Kami berbincang tak habis-habis. Dari hal remeh hingga isu-isu serius.
Dan yang menjadi catatan saya adalah, perbincangan itu terjadi karena driver Grab Jogja yang memulai. Kalau obrolan terhenti sejenak, justru ia lah yang terkesan berupaya untuk mencari-cari bahan obrolan baru.
Bahkan, ketika titik penjemputan yang saya kirimkan kurang presisi. Driver Grab Jogja tampak tak menunjukkan kekesalan.
“Loh nggak apa-apa, Mas. Santai mawon,” ujarnya saat saya berulang-ulang bilang “Ngapunten, Pak (Mohon maaf, Pak)”.
Sementara dengan Grab Surabaya, duh, beberapa kali saya memiliki pengalaman tak menyenangkan.
Jawaban sengak padahal sudah minta maaf dan tanya baik-baik
Selama enam tahun di Surabaya, saya memang hanya beberapa kali saja pakai jasa Grab Surabaya. Namun, hanya dari beberapa kali itu saja, saya sudah mendapat pengalaman yang luar biasa menjengkelkan.
Salah satu yang paling saya ingat adalah pada Juli 2019 silam.
Saya baru saja mengikuti kegiatan Kemah Budaya Kaum Muda di Prambanan, Jogja. Lalu kembali ke Surabaya naik kereta dari Stasiun Tugu, Jogja turun di Stasiun Gubeng, Surabaya.
Meski lama di Surabaya, saya sebenarnya cukup asing dengan Stasiun Gubeng. Karena saya lebih sering bepergian dari dan ke Stasiun Wonokromo.
Maka, saat memesan Grab Surabaya, titik penjemputan yang saya kirim agak kurang presisi. Alhasil, ketika si driver sudah menemukan titik saya, saya langsung mendapat jawaban-jawaban luar biasa sengak.
“Pak Anu (saya lupa namanya)?,” tanya saya, tentu dengan nada sehalus mungkin.
“Ya kamu lihat, dong, sama nggak dengan di aplikasi? Masih nanya,” jawab driver Grab Surabaya itu sengak.
“Mohon maaf nggeh, Pak,” ucap saya memohon maaf atas kekeliruan yang saya buat.
“Iya,” jawabnya ketus.
Waktu itu, saya mencoba memahami bahwa saya memang salah. Lebih-lebih, momen itu terjadi jam satu dini hari. Pastilah si driver Grab Surabaya itu sedang capek dan ngantuk-ngantuknya. Tapi harus tetap narik demi keluarga.
Namun, pengalaman tak menyenangkan itu ternyata masih berlanjut dalam beberapa kali saya pakai Grab Surabaya berikutnya.
Grab Surabaya tak bisa diajak ngobrol
Sebelum menulis tulisan ini, saya sempat merenung, apakah cuma saya saja yang punya persepsi demikian pada Grab Surabaya; yang memang tak seramah driver Grab Joga.
Lalu, satu nama muncul di kepala saya, Emma (25), kenalan saya di sebuah komunitas di Surabaya.
Kami memang jarang berkirim pesan di WhatsApp. Namun, dari story-story-nya, entah di WA atau di Instagram, saya tahu kalau Emma cukup sering gabut-gabut tiba-tiba sudah ada di Jogja. Untuk healing.
Saya pun lantas menghubunginya untuk mencari tahu, apakah ia punya perbandingan seperti saya soal driver Grab Surabaya dengan Grab Jogja.
“Nah, iya, aku kok pernah punya pikiran kayak gitu,” ujar Emma saat mendengar perbandingan dari saya seperti yang telah saya tulis di sub bab sebelumnya.
Setiap hendak ke Stasiun Wonokromo untuk bepergian ke luar kota, Emma memang lebih sering pakai jasa Grab. Begitu pun nanti jika ia akan balik dari stasiun ke kos.
“Sulit menebak driver Grab Surabaya. Kadang nemu yang asyik, enak diajak ngobrol. Tapi lebih sering yang tanya cuma pas mau naik, ‘Atas nama Mbak Emma? Ke Stasiun Wonokromo ya, Mbak?’. Udah gitu saja. Sepanjang jalan diem-dieman,” lanjutnya.
Kadang kala Emma mengambil inisiatif untuk mengajak ngobrol duluan. Akan tetapi, obrolan tetap tak mengalir karena si driver Grab Surabaya hanya menjawab sekadarnya, tak memberi respon balik. Sehingga, obrolan mati, hanya satu arah.
Sementara sepengalamannya beberapa kali naik Grab Jogja, baru saja naik, si driver langsung mengajaknya berbincang ngalor-ngidul. Dan itu, menurut Emma, sangat menyenangkan. Keramahan yang sangat mahal.
Dirver muda Grab Surabaya asyiknya cuma ke cewek good looking
Emma menyebut, tidak semua driver Grab Surabaya tak asyik untuk diajak ngobrol. Kalau yang bapak-bapak, Emma maklum. Karena mungkin di sepanjang jalan, pikiran bapak-bapak Grab tersebut tengah melayang ke mana-mana; memikirkan nasib diri dan keluarga.
Sementera kalau driver muda, biasanya dari kalangan mahasiswa, menurut Emma umumnya asyik-asyik dan interaktif.
“Cuma, ini menurutku dan temen-temenku aja loh, ya, asyiknya cuma ke yang good looking,” ungkap Emma.
Kesimpulan itu Emma dapat setelah saling curhat dengan teman-teman tongkrongannya.
Emma bercerita, ia pernah mendapat driver mas-mas mahasiswa. Di sepanjang jalan antusias banget untuk ngajak Emma ngobrol.
Bahkan, saat menurunkan Emma pun, si mas-mas driver itu masih sempat-sempatnya minta akun IG dan bilang “Semoga ketemu lagi”, “Hati-hati, Mbak” sambil tersenyum yang dimanis-mansikan.
“Kalau temenku, karena ngerasa nggak good looking, meskipun dapet driver mas-mas ya tetap saja dianggurin, nggak ada obrolan,” kata Emma.
Atas testimoni-testimoni tersebut, ah saya merasa perlu untuk mengonfirmasi langsung ke driver Grab atau ojek online dari aplikasi lain di Surabaya.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Ojol Jogja Iri dengan Ojol Surabaya, Meski Dimusuhi Ojek Pengkolan tapi Aturan Lebih Menguntungkan
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News