Selama ini, Riksa* (22) hanya menyaksikan karnaval sound horeg melalui media sosial dan pemberitaan media massa. Itu saja sudah membuatnya kesal dan heran. Kesal, karena kok bisa ada orang yang denial setengah mampus saat dibilang bahwa sound horeg meresahkan. Heran karena kok bisa ada orang yang menikmatinya. Sampai akhirnya, Riksa harus KKN di sebuah desa yang mayoritas warganya menggandrungi sound horeg.
Syok lihat warga giat latihan untuk karnaval sound horeg
Riksa merupakan mahasiswa di salah satu kampus di Surabaya yang saat ini menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN). Sebagai pengalaman pertama, ia sudah membayangkan bakal ditempatkan di sebuah desa pelosok yang memiliki keterbatasan infrastruktur maupun sumber daya.
Dengan begitu, mahasiswa KKN dapat bersama-sama membantu warga–paling tidak–membuka mata untuk berinovasi, itu sekurang-kurangnya jika tidak benar-benar bisa disebut memberi solusi atau memecahkan persoalan.
Namun nyatanya, Riksa dan kesepuluh anggota KKN-nya hanya ditempatkan di sebuah desa di Jawa Timur yang tidak terlalu pelosok. Jika dilihat dari segi infrastruktur, desa tersebut masih memiliki akses jalan yang mudah, warganya pun tidak terlalu tertinggal.
“Jujur itu memudahkan kami. Karena kami tinggal menyerap aspirasi perihal apa yang sebenarnya warga butuhkan. Jika kami bisa bantu, ya kami usahakan,” ujar Riksa saat dihubungi Mojok, Kamis (24/7/2025) siang melalui pesan aplikasi pesan singkat.
Riksa mengaku keberadaannya bersama mahasiswa KKN disambut baik oleh warga di sana. Lambat laun mereka jadi bisa berbaur. Sampai akhirnya, Riksa syok saat mengetahui salah satu kegemaran warga, yakni menggandrungi sound horeg sampai membuat karnaval.
“Asli, akhirnya aku dengar dan lihat langsung tumpukan sound dengan suara menggelegar itu,” kata Riksa.
Saban sore, Riksa dan teman-temannya harus terbiasa melihat pemandangan warga yang sibuk latihan joget-joget pargoy. Belum lagi, dentuman sound horeg yang bisa terdengar sampai malam. Warga memang rutin latihan untuk lomba battle sound horeg di karnaval tingkat kecamatan saat 17 Agustus nanti.
“Pagi-pagi pun, suara sound jedag-jedug jadi suara yang akhirnya harus biasa kami dengar. Bukan horeg, sih. Tapi kayaknya warga setempat emang suka nyetel musik jedag-jedug lewat sound. Lalu suaranya dikencengin,” kata Riksa.
Ikut karnaval sound horeg jadi program prioritas
Sebetulnya, Riksa dan teman-temannya sudah menyiapkan kegiatan lomba untuk acara 17 Agustus. Semacam lomba-lomba anti mainstream. Saat menyampaikan ide tersebut ke karang taruna, mereka bilang oke-oke saja.
“Silakan dijalankan, akan dibantu. Asal nggak nabrak sama jadwal karnaval sound horeg,” katanya.
Malahan, warga juga mengajak mahasiswa KKN untuk ikut acara karnaval nanti. Mau tidak mau, mereka pun harus ikut karena takut menolak. Alhasil, beberapa anggota Riksa pun ikut latihan joget pargoy untuk karnaval di 17 Agustus.
“Yang lain milih jadi content creator-nya saja. Bikin konten video buat dokumentasi desa. Absurd banget,” kata Riksa.
Baca Halaman Selanjutnya
Mahasiswa KKN benci dengan sound horeg












