“Mahkotamu sedang transit DC Cakung King!”. Cakung, sebuah daerah di Jakarta Timur (Jaktim), kerap menjadi bahan meme dengan kalimat tersebut. Mengingat, di sana memang berdiri gudang sortir atau pusan transit milik perusahaan ekspedisi.
Namun, di balik meme tersebut, Cakung Jaktim menyimpan cerita-cerita perihal hari-hari melelahkan, tidak tenang, dan penuh ketidakpastian.
Polusi udara “maracuni” warga di Cakung Jakarta Timur (Jaktim)
Pada penghujung Maret 2025 lalu, belasan warga di Cakung Jaktim—termasuk anak-anak—mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Ada juga yang dilaporkan terkena peradagangan selaput mata.
Puskesmas Cakung pun sampai membuka posko kesehatan untuk pemeriksaan terkait dugaan ISPA tersebut.
Kondisi itu sebenarnya sempat diprediksi oleh Greenpeace Indonesia. Penyebabnya adalah penggunaan deodorizer (zat atau alat untuk penghilang bau) dalam operasi Refuse Derived Fuel (RDF) Plant di Rorotan, Jakarta Utara oleh Pemprov DKI Jakarta.
Dengan deodorizer, Pemprov DKI Jakarta berharap bisa mengatasi persoalan bau sampah agar tidak menguar dan mengganggu warga sekitar.
Persoalan bau barangkali memang tertangani. Namun, Leonard Simanjuntak selaku Kepala Greenpeace Indonesia menyebut, persoalan sampah tidak sesederhana itu. Apalagi, deodorizer kemudian nyata-nyata menimbulkan polusi udara yang berujung pada ISPA.
“Selain tidak menyelesaikan akar masalah, proses RDF juga menghasilkan polusi udara yang signifikan, yang semakin memperburuk kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat,” ungkapnya mengutip Tempo. Karena akar persoalan sampah ada pada proses pemilahan. Leonard bahkan menyebutnya sebagai solusi palsu.
Terpaksa bertahan di tengah kasarnya budaya kerja di Cakung Jakarta Timur (Jaktim)
Di atas adalah isu “kenyamanan” bagi orang-orang yang tinggal di Cakung Jaktim baru-baru ini, yang mungkin tidak banyak orang singgung karena tertutup meme “DC Cakung” tadi.
Isu lain yang membayangi Cakung adalah soal ketidakpastian hidup, sebagaimana yang diungkapkan oleh perantau asal Cirebon, Jawa Barat, yang meminta disembunyikan identitas aslinya. Panggil saja Windu. Perempuan 38-an tahun.
Windu merantau ke Cakung pada 2009. Waktu itu, Cakung terkenal sebagai pusat industri tekstil di Jakarta Timur (Jaktim).
“Suami kerja serabutan. Akhirnya minta izin merantau ke Cakung nyusul saudara yang sudah lebih dulu tinggal di sana, siapa tahu bisa kerja di garmen, bisa bantu-bantu suami,” ungkapnya, Rabu (9/4/2025).
Waktu itu, kehidupan berjalan seperti yang Windu bayangkan. Meski berat kerja di garmen—terutama harus kuat mental karena budaya kerja yang keras dan kasar, ditambah jam kerja yang sering melebihi batas lantaran lembur nyaris tiap hari—tapi Windu memilih bertahan.
Sebab, sudah untung dia bisa bekerja dengan upah yang lumayan untuk membantu keuangan keluarga: hampir menyentuh Rp5 juta, sebagaimana upah minimun setempat.
Dari harapan menjadi hari-hari penuh ketidakpastian
Sialnya, pasca pandemi Covid-19, banyak pabrik tekstil di Cakung bertumbangan. Terjadi PHK massal. Windu menjadi salah satu korbannya.
“Dulu Cakung kayak jadi harapan hidup. Tapi setelah PHK itu, hari-hari saya jadi nggak pasti,” ungkap Windu lesu.
Windu sempat bertahan beberapa saat di Cakung Jaktim. Sambil mencoba mencari peruntungan lain. Sayangnya, pasca pandemi, begitu susah mencari pekerjaan di Jakarta. Windu pun mau tidak mau pulang ke kampung halaman.
“Di rumah bikin usaha jahit kecil-kecilan. Tapi ya nggak bisa buat pegangan, Mas. Larisnya cuma waktu penerimaan siswa baru sama kalau mau lebaran. Untung-untungan biasanya kalau ada orang bikin seragam keluarga atau lembaga,” tutur Windu.
Sisanya, paling tetangga-tetangga yang minta bantuan untuk membenarkan hal-hal kecil. Seperti memasangkan kembali resleting copot. Memasangkan kancing. Atau menjahit/menambal sobekan kecil di baju.
Untuk hal itu, sering kali Windu tidak menarik uang. Karena dirasa hanya masalah kecil, Windu menganggapnya sebagai bentuk saling bantu antar-tetangga saja.
“Ada beberapa teman perempuan yang masih bertahan di sana. Ada yang memang warga asli Jakarta, ada juga yang perantau. Nah, ada yang jadi ojol perempuan,” ungkap Windu.
Windu mengaku masih sering berkontak dengan salah satu temannya eks karyawan garmen yang kini menjadi ojol. Kata Windu, kehidupan mereka pun serba tidak pasti. Persaingan ojol begitu ketat. Harus benar-benar memeras energi untuk mendapat uang banyak dari profesi itu: berangkat pagi-pagi sekali, pulang larut malam.
Realita tak selucu meme
Realita di balik meme “DC Cakung” pun sama kerasnya. Seperti yang diceritakan oleh Dudi (25), pemuda yang bekerja sebagai kurir paket.
Ratusan paket harus Dudi antar setiap harinya demi mengejar gaji dan bonus. Jadi di balik meme “DC Cakung”, ada para kurir yang bekerja ekstra keras setiap hari seperti Dudi. Dari pagi sampai malam menyusuri gang demi gang, alamat demi alamat rumah.
“Aku cuma lulusan SMA. Dulu kebayang, kalau lulus SMA, ya kerja apa aja aku lakukan. Kuliah udah nggak mungkin. Nggak ada biaya,” katanya.
Apalagi Dudi adalah anak Yatim. Ibunya membuka warung kopi kecil-kecilan. Sementara dia masih punya dua adik yang biaya hidup dan sekolahnya harus terpenuhi.
Dulu, kata Dudi, garmen memang jadi primadona anak-anak muda lulusan SMA di sana. Bayangan mereka setelah lulus SMA, apa lagi kalau tidak bekerja di sana. Namun, garmen di Cakung Jaktim kian terpuruk. Pilihan pekerjaan informal bagi anak-anak lulusan SMA makin menipis.
“Larinya kalau nggak jadi kurir ya minimarket. Ada juga yang jualan online. Banyak juga yang larinya ke pusat (Jakarta Pusat) atau selatan (Jaksel), cari-cari kerja apa saja di sana, sekalipun jadi waiters kelab malam, restoran, atau kafe,” beber Dudi.
Marabahaya yang mengintai
Dudi mengaku belum pernah—dan semoga tidak akan pernah—menjadi korban begal. Namun, sudah bertahun-tahun, begal menjadi marabahaya yang mengintai di sejumlah titik di Cakung Jakarta Timur (Jaktim).
Dudi merasa bersyukur selalu diberi nasib baik—setidaknya untuk urusan ini. Sebab, tidak jarang dia mendengar cerita dan pemberitaan perihal kasus begal di Cakung. Ironisnya, pelaku yang tertangkap polisi sering kali adalah kelompok remaja.
“Aku nggak tahu apa faktornya (kenapa pelakunya remaja). Tapi kondisi ekonomi yang serba sulit di sini bisa jadi salah satunya. Berangkat dari keluarga pas-pasan. Mau minta apa nggak keturutan. Akhirnya begal. Apalagi nyari keja sendiri juga nggak gampang,” beber Dudi.
“Belum lagi banjir yang bikin waswas kalau musim hujan,” sambungnya. Terutama di wilayah Rawa Terate yang nyaris setiap musim hujan jadi langganan banjir, sebagai wilayah dataran rendah yang dikelilingi rawa dan persawahan. Begitulah Cakung Jakarta Timur.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Modal Ijazah SMA Merantau ke Jakarta demi Hidup Lebih Baik Malah Bernasib Sial, Pindah ke Jogja Makin Ngoyo Hidupnya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan















